Qadarullah 2

100 6 5
                                    

Bismillahirrahmanirrahim

jika dengan cara menangis bisa mengurangi kesedihan, lantas kenapa setiap kali air mataku luruh hanya memperburuk sakit yang kurasa? 

lima menit telah berlalu saat Ayah memintaku bicara empat mata dengannya, tiada kalimat mengawali pembicaraan ayah dan anak. Kecanggungan menjalar memenuhi ruang makan akibat terlalu lama tak bersua. aku dan ayah seperti orang asing yang baru bertemu.

"Bagaimana kabarmu Qais?" kalimat ayah terdengar kaku di pendengaranku.

"Baik ayah. Ayah sehat?" sekilas mataku mencuri pandang pada wajah ayah.

Ayah mengangguk pelan menyahut pertanyaanku.

"Qais- "

Suara ayah seakan berat melanjutkan kalimatnya.

"Iya,ayah.."

Ayah memandangku dalam-dalam. sorot matanya, terlihat ragu-ragu. 

"Selama Qais di sini, ayah harap jangan membuat keributan dengan ibu tirimu ya.."

Aku terpaku!

 
Hampir aku melupakan keberadaan ibuk Sukma, istri kedua ayah yang kehadirannya tiada kuinginkan di keluarga ini.

Ayah menyadarkan aku pada kenyataan sebenarnya.

"Iya, Ayah."

"Apa pun kelakuan dari Ibumu nanti diamkan saja. Karena ayah sudah bahagia bersamanya. Ayah tidak mau kehadiranmu di rumah ini kembali merusak kebahagiaan ayah bersama ibuk tirimu." lanjut ayah lagi.

perutku mules. dadaku sesak.

nyatanya, kehadiranku tak pernah diharapkan oleh ayahku.

Senyum getir terukir di bibirku saat ayah mengutarakan kalimat itu padaku. Ayah berhasil memercikkan cuka pada luka di hatiku. Sesak! Aku tak kuasa menahan perih hingga mataku berkaca-kaca.

"Apakah ayah tidak tidak senang melihatku disini?" pancaran mataku menusuk wajah ayah yang masih diam memandangku. 

ruah sudah air mataku. kuusap kasar air mata yang telah kurang ajar mengalir tanpa bisa kutahan.

"maksud ayah, bukan-" diam. ayah lagi-lagi mendeja kalimatnya. dan itu semakin memperburuk hatiku. "ayah cuma tida-"

"Sudahlah Ayah,  jangan dilanjutkan lagi. Qais mengerti maksud ayah. Semua sangat jelas." selorohku beranjak pergi. semua sudah jelas, ayah memang tidak pernah mengharapkan kehadiranku di rumah ini.

Aku menyeret kaki yang terasa sangat berat menuju kekamar. Namun mendadak terjeda oleh seseorang berdiri tidak jauh dariku. Sorot pandangnya mampu membakar diriku hidup-hidup.  Bibirnya terkatup rapat menyimpan seribu umpatan padaku.

Ibu Sukma berjalan mendekatiku. Rasa takut menjalar menjelajahi aliran nadiku. Sekelebat ingatan tiga tahun lalu menyeruak saat tangan itu mengenai wajah mbak Alin. Mungkinkah sekarang giliranku?

Bu Sukma makin dekat dan semakin dekat.

kupejamkan mataku, takut-takut ia hendak menamparku. Namun seperkian detik raut wajahnya berubah menatapku ramah. Jujur itu membuat bulu kudukku meremang. Semudah itukah ekspresi seseorang berubah begitu murahnya?

"Sudah pulang kamu, Qais?" titahnya memamerkan senyum padaku.

"Sudah buk, baru saja."

"Kamu pasti capek, istirahatlah dulu. Ibuk mau kebelakang sebentar." ulasnya beranjak mendahului meninggalkanku masih dengan raut heran.

QadarullahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang