"Bangunlah, tak baik wanita cantik menangis sendiri disini." suara itu seperti tak asing bagi ku. Ku usap air mata yang membasahi pipi ini. Ku berdiri sesuai tangan yang memegang bahu ku.
Ku menepuk rok plisket ku yang kotor. Lalu Berbalik badan dan melihat siapa yang menghampiri ku.
"Hah? Sejak kapan Pak Dokter ada disini?"
"Sejak kamu bertengkar dengan Ayah mu."
"Jadi Dokter menguping pembicaraan saya dengan Ayah saya?"
"Aku tidak menguping aku tak sengaja mendengar saja."
"Itu namanya nguping." Ku hentakan sebelah kaki ku lalu meninggalkan dokter Firman.
Tanpa menoleh ke belakang ku tinggalkan sosok tampan berjas putih dengan stetoskop melingkar di lehernya. Untuk ke dua kalinya aku bertemu dengannya. Atau jangan-jangan aku akan sering bertemu dengannya karna ibu masih dirawat di klinik ini.
Ku berjalan menuju ruang ICU tempat ibu ku berbaring. Semoga ibu sudah sadar.
"Rahma apa ibu belum ada perubahan sama sekali?"
"Belum Teh kenapa Emak sampai pagi ini belum juga sadar Teh. Hiks hiks....!" Rahma menangis dipelukan ku.
"Kita harus sabar ya. Apa belum ada Dokter yang memeriksa pagi ini?"
"Belum Teh mungkin sebentar lagi."
"Tadi Abah menemui Eteh ditaman belakang."
"Apa? Terus bilang apa Teh?"
Tiba-tiba segerombolan jas putih masuk ke kamar.
"Bagaimana apakah pasien sudah mengalami pergerakan?" Tanya salah satu dari ke tujuh Dokter yang mendatangi emak. Tunggu tentu saja suara itu sangat tidak asing.
"Nanti Eteh ceritakan ya." Bisik ku pada Rahma.
"Belum Pak Dokter. Sama sekali belum ada pergerakan atau perubahan." Jelas ku pada Dokter Firman.
"Saya periksa dulu pasien nya ya."
Dokter Firman memeriksa Ibu ku. Membuka kedua mata Ibu lalu di sorot lampu, memeriksa dadanya dengan stetoskop nya. Dan berbincang dengan Dokter lainnya seperti sedang berdiskusi.
"Baik kita tunggu sampai 2 jam kedepannya. Kalau belum ada pergerakan juga akan kita rujuk ke rumah sakit di Bandar Lampung. Kalau begitu kami permisi dulu tolong dijaga dengan baik dan laporakan jika ada pergerakan sedikit pun." Jelas Dokter Firman lalu pergi bersama Dokter yang lain.
Aneh sekali sikap dia. Seperti tak mengenal ku. Begitu profesional dia sebagai Dokter hingga wibawa nya sangat terlihat jelas.
Dipertemukan ketiga ku dengan Dokter Firman lagi-lagi aku memujinya. Entah apa yang sedang Salsa pikirkan. Ku tepuk kepala ku agar aku tersadar dari lamunan Dokter Firman.
"Kenapa Teh?" Tanya Rahma heran karna aku memukul kepala ku sendiri.
"Eh itu bukan apa-apa." Rasanya begitu malu menjadi salah tingkah dihadapan Rahma.
"Eteh cari sarapan dulu ya. Kamu mau makan apa biar Eteh belikan?"
"Rahma mau nasi Padang aja Teh, sama teh anget ya. Perut Rahma agak kurang enak juga ini butuh yang anget-anget." Rahma mengelus-elus perutnya. Sedari kemarin seperti nya dia belum makan. Aku sendiri bahkan lupa sudah makan atau belum.
Ku tinggalkan Rahma dengan Ibu ku yang masih terbaring tak sadarkan diri. Ku tanya arah untuk mencari makanan pada beberapa perawatan. Karna aku belum paham betul daerah sini. Ini hanya sebuah Klinik tapi tak kalah dengan rumah sakit. Halaman besar dan luas. Ada banyak kamar juga. Setelah berjalan keluar dari klinik Ahirnya aku tiba di sebuah rumah makan yang hanya butuh waktu 2 menit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nafkah atau Musibah
RomanceSEDANG REVISI 🙏 Salsa seorang sarjana pendidikan, memilih menikah dengan laki-laki yang pendidikannya hanya sampai sekolah menengah pertama. Namun Salsa cukup bahagia dengan pernikahannya. Suatu hari, suaminya Devan diajak merantau ke Jakarta untuk...