Senja sudah berganti rembulan. Ditemani ribuan bintang-bintang berkedip bergantian.
Aku dan Rahma duduk berhadapan menatap Seorang ibu paruh baya yang masih koma. Malam sudah kembali datang tapi Emak belum juga siuman. Padahal siang tadi tangannya sudah ada pergerakan makanya gak jadi dirujuk ke rumah sakit.
"De Deket sini gak ada konter ya. Takut Mas Devan khawatir karena gak bisa hubungin Teteh."
"Kayak nya gak ada deh. Ada juga jauh banget Teh."
Handphone ku rusak dari kemarin. Untung sebelumnya aku udah kasih kabar ke Sylvia kalau tidak pasti dia ribut sana sini. Aku bahkan belum tau kabar Mas Devan sudah kerja atau belum di Jakarta.
"Eteh besok masuk kerja. Kamu gak papa kan sendirian jagain Emak?"
"Gak papa aku libur juga sekolahnya masih penenangan. Minggu depan ujian Nasional."
"Kalau gitu besok aja Eteh beli handphone nya sekalian berangkat kerja aja."
Aku merasa ada mata yang sedang mengawasi ku di balik jendela. Sepertinya dia sedang mendengarkan pembicaraan ku dan Rahma. Tapi saat aku sadar dan melihat ke jendela tidak ada satu orang pun disana.
Karna rasa penasaran aku pun keluar.
"Kenapa Teh?"
"Eteh merasa kayak ada yang perhatiin kita dari tadi tapi gak ada orang."
"Ah mungkin cuma perasaan aja Teh. Laper nih cari makan gih."
"Ya udah keluar dulu ya."
Aku keluar dari kamar. Berjalan keluar klinik untuk mencari makan. Ternyata banyak penjual kaki lima. Kemarin gak terpikirkan akan lapar jadi gak tau sama sekali kalau malam akan seramai ini.
Cukup lama ku berjalan dan melihat-lihat belum ada yang selera. Aku ingat kalau Rahma suka nasi goreng kambing. Ahirnya menu itu yang aku beli.
Lumayan mengantri untuk pesan dua porsi nasi goreng. Mungkin Rahma sudah benar-benar kelaparan sekarang.
Dua puluh menit sudah aku menunggu ahirnya dua bungkus nasi goreng sudah ditangan. Aku kembali masuk ke Klinik Pak Anton. Berjalan melewati beberapa orang yang sedang menunggu keluarga nya yang sedang dirawat juga.
"Salsa tunggu." Lagi-lagi suara laki-laki itu. Tentu saja Dokter Firman. Siapa lagi yang mengenal ku disini selain dia. Dan dia pun menghampiri ku dengan berlari kecil.
"Ada apa Dok buru-buru sekali." Jawab ku agak sinis.
"Jalan kamu cepet amat sih Sa. Udah aku panggil sejak di gerbang klinik depan Lo kamu gak nengok-nengok hahaha." Dokter Firman berbicara sambil mengatur nafas.
"Memangnya ada apa Dok kok ngejar aku."
"Ini buat kamu. Jangan ditolak tolong. Karna ini juga salah ku. Maaf tadi aku gak sengaja denger obrolan kamu dengan adik mu. Bukanya nanti aja ya aku mau langsung pulang ada urusan mendadak dirumah." Dokter Firman memberikan sebuah goody bag kecil. Entah apa isinya. Tapi begitu aku menerimanya dia langsung pergi tanpa memberi ku kesempatan untuk berterima kasih.
Sampai ku di kamar benar saja kalau Rahma sudah sangat kelaparan. Sambil tertawa aku menggoda nya.
"Maaf ya cantik tadi ngantri sekali." Ku colek pipinya yang sedang cemberut.
"Lagian beli makan aja udah kayak beli baju lama banget. Terus itu Eteh beli apa lagi.?" Matanya tertuju pada sebuah goody bag yang diberikan Dokter Firman tadi.
"Oh ini tadi Dokter Firman yang kasih. Belum tau juga apa isinya." Ku jelaskan pada Rahma Sambil ku angkat goody bag nya. Tapi Rahma langsung mengambil dan langsung membukanya.
"Sini Rahma yang buka. Jangan-jangan lama karna ngobrol sama Dokter ganteng berlesung pipi itu kan?" Rahma mengomel sambil membuka isi dari sebuah kotak yang dibungkus kertas kado.
"Enggalah tadi Dokter Firman langsung pergi begitu saja tanpa memberi kesempatan berterima kasih."
"Wah Hp nih Teh. Gila teh ini keluaran terbaru OPPO A74 udah 5G lagi Teh." Rahma langsung membuka segel kotak HP tersebut.
"Aduh kamu gimana sih kok main buka aja. Ini pasti mahal kalau udah dibuka gini gimana balikin nya." Ku ambil kotak handphone itu dan memeriksanya ternyata memang bener-bener udah gak bisa diperbaiki segelnya. Aku tak bisa menerima hadiah ini. Memang kemarin Dokter Firman bilang mau ganti HP ku tapi ini terlalu mahal untuk ku.
"Ya ampun Teh ini udah rejeki. Jangan ditolak pasti pak Dokter nanti sedih."
"Kalau diterima nanti dia mikir aneh-aneh lagi."
"Dia kan udah baik hati beliin pasti gak mikir aneh-aneh lah bukannya HP Eteh kemarin rusak karna bertabrakan sama tu Dokter."
"Tapi ini mahal Rahma."
"Kalau gak mau buat aku aja sini." Rahma mengambil HP yang ku pegang.
"Eh enak aja bawa sini. Kan yang dibeliin bukan kamu." Ku rebut lagi HP nya dari tangan Rahma.
"Ahirnya mau juga kan cie...ciee...!" Rahma menggoda ku.
"Sudah ayo makan dulu nasi gorengnya keburu dingin gak enak nanti." Aku membuka bungkusan dua nasi goreng kambing. Baunya langsung menyebar sampai membuat perut kami keroncongan.
"Wah tau aja nih selera ku." Kata Rahma begitu senang dan langsung menyantap makanan nya.
"Oiya Teh aku udah daftar beasiswa jurusan kedokteran di Jakarta. Dan sudah lulus tes gelombang pertama. Ada 3 gelombang tes nantinya."
"Apa? Yang bener? Alhamdulillah. Belajar yang baik ya. Kalau Emak udah sadar pasti seneng banget dengan kabar ini."
"Iya Teh. Semoga Emak cepet sadar."
Tiba-tiba ibu ku menggerakkan ke lima jarinya. Tapi matanya masih tertutup. Sepertinya ibu ku mendengar percakapan ku dengan Rahma.
"Masyaallah Mak denger percakapan kita ya. Alhamdulillah segera sadar ya." Aku mencium kening ibu ku dengan tetesan air mata.
.
.
Rahma sudah tidur. Aku ingat handphone pemberian Dokter Firman. Ahirnya aku membukanya. Memasang SIM card dan mengunduh beberapa aplikasi yang aku butuhkan.Saat WhatsApp sudah ku unduh dan ku buka benar saja banyak sekali pesan yang masuk. Ku scroll satu persatu dan ada pesan dari Mas Devan.
//Dek kok gak bisa dihubungi. Apa terjadi sesuatu. Tidak biasanya hp nya gak bisa dihubungi begini.//
Ingin ku balas segera pesan dari Mas Devan. Tapi ini sudah pukul 11 pm. Sebaiknya besok aku telpon saja suami ku.
Aku terhenti di nama Mas Herman. Wajar saja dia WhatsApp aku karna gak masuk kerja tanpa memberitahu dia pasti dia tanya dari Sylvia saja.
//Kamu jangan mikirin ayahmu Sa. Jangan sampai kesehatan mu terganggu gara-gara ayahmu. Semoga ibu lekas sembuh dan kamu segera masuk kerja ya.//
'Padahal aku belum cerita ke siapa pun tentang ayahku. Bahkan Sylvia. Tapi Mas Herman tau dari mana masalah ayah?' gumam ku.
Aku pun sudah terlalu mengantuk untuk meneruskan membaca beberapa pesan yang masuk. Ahirnya aku tertidur.
*****
Terimakasih yang setia membaca novel ini.
Maafkan yang masih remahan ini update nya kurang rajin 😁🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Nafkah atau Musibah
RomanceSEDANG REVISI 🙏 Salsa seorang sarjana pendidikan, memilih menikah dengan laki-laki yang pendidikannya hanya sampai sekolah menengah pertama. Namun Salsa cukup bahagia dengan pernikahannya. Suatu hari, suaminya Devan diajak merantau ke Jakarta untuk...