5. Hampa

84 5 0
                                    

*kriiiingggg...kring...kringgg!*

Alarm ku berbunyi. Dan aku sangat malas untuk bangun. Untung ini adalah hari Sabtu. Jadi aku mau santai. Ku angkat tangan ku, ku arahkan ke kanan dan kiri lalu Memutar leher. Badan ini terasa sangat capek.

Sudah pukul 05.00 am tapi belum ada yang bangun. Tidak seperti biasanya.

Rasanya aku pun begitu tak berdaya mau beraktifitas. Jiwa rebahan ini meronta-ronta.

*Huuaammm....*
Benar-benar masih ngantuk. Perlahan ku berjalan ke kamar mandi mengambil air wudhu.

Selesai ibadah aku tak langsung keluar kamar. Ku rapihkan kamar ku dan terdengar suara dari luar, sepertinya mertua ku sudah pada bangun. Ku duduk di depan kaca make up. Mata ku sedikit bengkak karna menangis semalam.

Ku mainkan HP ku. Liat gosip dan berita. Buka galery foto. Scroll sampai album selesai. Senyum-senyum sendiri melihat banyak foto lucu Mas Devan saat masih awalan kita kenal dan pacaran.

Ah iya btw Mas Devan belum aku bangunin. Udahlah bodo' amat. Pasti Mamak bangunin Mas Devan karna biasanya Mamak matiin lampu depan.

Mas Devan memang orang yang gampang sekali tertidur. Padahal ada sisa kamar kosong tapi dia suka tidur di ruang tamu. Itu yang dia ceritakan sebelumnya.

Belum selesai aku bergunam, pintu kamar ku terbuka.

"Dek udah bangun? Udah sholat?"

"Dah!" Singkat ku.

"Kamu masih marah dek?"

"Gak."

"Ayolah jangan gitu tolong, Mas juga pengen kita bahagia kedepannya. Mas cuma mau merubah nasib biar Mas juga bisa memberikan apa pun suatu saat nanti."

"Masak? Kalau Mas emang mentingin kebahagiaan kita kenapa Mas ngambil keputusan tanpa aku?" Ku tatap mata Mas Devan yang malah balik marah.

"Mas tau kerjaan Mas disini gak bisa diharapkan. Kamu kan tau harga getah karet naik turun. Kamu juga jangan egois dan jangan mentang-mentang kamu punya gaji besar sedangkan aku cuma serabutan begini terus kamu ngelarang aku ini dan itu. Yang harusnya nurut itu kan kamu. Nurut itu kewajiban istri."

"Hah? Ngelarang Bagaimana Mas?terus kewajiban mas sebagai suami apa? Kita juga udah sepakat sebelum menikah gak akan bahas soal ini kan Mas? Aku menerima berapa pun yang Mas Devan kasih. Dan lagi Mas mengambil keputusan atas maunya Mamak juga bukan atas ijin dari ku. Bahkan aku pun tak melarang Mas buat merantau, tapi ini kesepakatan kita sebelum menikah. Aku ini istri mu Mas, setiap tindakan yang ada jika itu menyangkut rumah tangga kita aku berhak untuk iya dan tidak bukan orang tua kita. Salah ku dimana Mas?"

"Kamu kok jadi begini sih Dek. Mas kira kamu wanita yang menerima apa adanya. Tapi ternyata Mas salah menilai kamu. Kamu terlalu banyak maunya"

"Hah? Kok malah bahas hal lain. Maksudnya gimana? Emangnya aku mau apa? Rumah mewah? Perhiasan? Mobil? Engga kan? Astaghfirullah" emosi ku meluap-luap padahal tak pernah aku begini sebelumnya.

"Udahlah keputusan Mas buat ke Jakarta sudah bulat. Tidak bisa dibatalkan hanya karna kamu yang begitu egois. Mas mau nderes dulu. Assalamu'alaikum" Mas Devan pergi tanpa menyelesaikan pembicaraan kita.

Apa aku egois kata dia?
Gak salah?
Dan lagi dia kenapa begitu dingin. Bahkan bukan seperti Mas Devan yang aku kenal.

Tak ada pelukan hangat dan kecupan saat itu. Dia pergi begitu saja dengan menyisakan sejuta amarah seolah-olah aku yang salah.

***

Sarapan siap, pekerjaan rumah sudah beres orang rumah blm ada yang pulang.
Rasanya pengen pulang ke rumah Emak pengen peluk pengen curhat pengen semuanya yang sedang aku alami ini ku muntahkan.

Tapi apalah sosok Mas Devan adalah pilihan ku. Sempat ditentang keluarga ku tapi aku kekeh dengannya.

Saptu Minggu berjalan dengan kehampaan. Suami ku masih tetep dingin bicara hanya seperlunya. Bahkan kita tidak tidur bersama.

Mertua ku pun begitu. Tidak ada sepatah kata pun padahal kita serumah.

Mungkin aku memang butuh adaptasi extra di keluarga ini. Ataukah aku terlalu baper? Ahh sudahlah.

Besok sudah Senin. Ku siapkan berkas kerja ku untuk besok. Sepertinya besok akan ada pekerjaan ekstra karna big bos akan berkunjung ke kantor.

Aku harus terlihat tak terjadi apa pun. Kalau tidak Sylvia bisa heboh. Bisa kepo dan khawatir.

"Dek, Mas mau ke rumah Edi sebentar."

"Iya."

"Bapak Mamak pengajian jadi dirumah aja Mas cuma sebenarnya aja. Mau dibeliin martabak depan gak?"

"Boleh."

"Okey Mas jalan dulu. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Heii.... Dia kenapa jadi baik sampai nawarin martabak? Seolah tak terjadi apa-apa loh.
Begitu cepat dia merubah suasana hatinya. Kemaren begitu penuh amarah hingga menyiksa ku. Dan tiba-tiba memutuskan pergi merantau tanpa aku.

Padahal memang meredam amarah wanita itu sangat mudah, cukup tawarin makanan kesukaan dia udah kelar masalah. Tapi entahlah bisa saja nanti dia berbeda lagi.

***

Pamitnya cuma sebentar tapi udah 1 jam berlalu dan Mas Devan belum juga pulang.

"Assalamu'alaikum. Dek Mas pulang."

"Wa'alaikumsalam!"

Segera aku berlari keluar kamar dan membukakan pintu karna ku kunci semua pintu.

"Lamanya katanya cuma sebentar, mana martabaknya?"

"Aduhh... Mas lupa Dek."

Sambil menepuk jidatnya dia tersenyum-senyum.

Seperti yang aku pikir kan?

"Mas balik lagi aja deh.!"

"Udah biarin udah malem juga ngapain bulak balik."

"Iya maaf ya Dek."

"Iya Mas gak papa."

"Tidur yuk!"

Tiba-tiba dia mengangkat badan ku dan membawa ku ke tempat tidur.

Mas Devan mulai membuka jilbab dan kancing baju ku. Menggigit bibir ku. Menjelajahi leher ku. Ku terjatuh di kasur.

Dia pun memulai cumbuan kasarnya. Dia begitu terburu-buru memasukan pen*s nya. Hingga menyisakan rasa sakit. Entah kenapa dia mencoba berbagai banyak gaya bercinta hingga aku kewalahan.

Setelah menyelesaikan nafsu nya yang menyiksa ku Mas Devan menghela nafas panjang.

"Kamu kenapa sih dek gak memuaskan. Begitu pasrah aku apa-apa kan udah kayak orang diperkos* aja."

"Mas apa semua ini karna adegan porn* yang sering Mas Devan tonton?"

"Hah...! Maksud kamu apa?"

"Dimalam pertama kita saja Mas Devan gak seperti ini. Mas begitu lembut dan bukan tipe yang tergesa-gesa. Tapi kali ini Mas keterlaluan. Bagaimana aku tidak Seperti orang yang diperkos* cara Mas bermain seperti orang kesurupan."

Kutarik selimut ku menutupi semua badan ku.
Mas Devan memakai bajunya kembali lalu keluar kamar.
Tak bisa ku tahan air mata ini.
Ku paksakan untuk terpejam.

Tidak, tidak bisa begini. Kami ini suami istri tidak seharusnya Mas Devan berprilaku seperti itu kan?.
Sudahlah aku harus sabar.

*****

Nafkah atau MusibahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang