Bab 1

1K 126 12
                                    

Seorang pemuda mematut diri di depan cermin, kemeja batik yang dikenakannya tampak pas ditubuhnya yang ringkih. Dipadukan dengan celana kain hitam, membuatnya cukup menawan hari itu. Pemuda itu adalah Aidan, sulung sekaligus tulang punggung di keluarga Dhiaurrahman.

Di rumah sederhana peninggalan almarhum ayahnya, Aidan tinggal bersama ibu dan adik laki-lakinya. Meskipun rumah itu hanya berdinding bambu yang telah usang, tetapi setidaknya masih bisa melindungi dari hujan dan terik matahari. Begitu saja, sudah cukup membuatnya bersyukur karena tak harus tinggal di jalanan.

"Ki, udah siap belum? Berangkat sekarang aja, takutnya telat sampai sekolahmu," ucap Aidan di depan  kamar sang adik.

Dari balik gorden maron lusuh itu, seorang remaja keluar dengan mengenakan busana jawa lengkap dengan blangkon menghias kepala. Tak lupa sandal selop membalut kaki besarnya. Busana jawa itu milik sang ayah ketika menikah puluhan tahun silam yang memang masih disimpan dengan baik oleh sang ibu sebagai kenang-kenangan. 

"Makin ganteng aja adiknya Mas Aidan ini. Bajunya pas banget melekat di tubuhmu," goda Aidan sembari mengamati Riski dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Hari ini merupakan acara pengumuman kelulusan sekaligus perpisahan SMK Dharma Bakti, sekolah tempat Riski menuntut ilmu selama tiga tahun terakhir. Alasan mengapa remaja itu mengenakan busana adat jawa.

"Adiknya Mas Aidan gitu, pasti ganteng dong. Iya kan, Bu?" Riski melirik Risna yang duduk tak jauh dari mereka.

Risna mengangguk sembari tersenyum sendu, melihat putra bungsunya mengenakan pakaian almarhum suaminya. Wajah dan postur Riski memang tak jauh beda dari sang ayah. Jadi, melihat remaja itu seakan melihat Artur ketika muda dulu. Wanita itu mendekat dan memeluk kedua putranya, tak lupa kecupan ia daratkan di kening keduanya.

"Anak-anak Ibu pasti ganteng, sama seperti ayah kalian," ucap Risna serak.

Mendengar nada serak dari bibir sang ibu, Aidan segera mengalihkan perhatian dengan berpamitan. Tak ingin membuat wanita yang melahirkannya itu kembali berduka atas apa yang telah terjadi. Lagi pula jam di pergelangan tangan kirinya sudah menunjukkan jam enam pagi, dan acara pengumuman akan berlangsung satu setengah jam lagi.

Sementara, mereka hanya datang  dengan mengendarai sepeda tua peninggalan sang ayah. Perjalanan yang dibutuhkan untuk sampai ke sekolah Riski sekitar satu jam lebih. Jadi, mereka sengaja berangkat awal agar tak terlambat.

Ketika mereka tiba di SMK Dharma Bakti, aula yang digunakan sebagai tempat acara telah ramai. Barisan kursi yang disediakan telah terisi, hanya menyisakan beberapa yang masih kosong. Aidan segera duduk di antara wali yang lain, sedangkan Riski duduk di barisan siswa tepat di depan panggung. 

Rincian acara telah terlaksana sesuai urutan. Kini, telah tiba di acara puncak—acara pengumuman yang dinantikan. Semua siswa dinyatakan lulus, tanpa terkecuali. Acara berikutnya merupakan pengumumam peraih nilai tertinggi dalam Ujian Nasional.

"Saya akan mengumumkan tentang  tiga siswa peraih nilai tertinggi selama UN yang telah kita selenggarakan bersama. Juara ketiga dengan nilai 38,80 diraih oleh Riski Nabhan Dhiaurrahman. Juara Kedua dengan nilai 39,40 diraih oleh Priscilia Agni Mahendra. Terakhir, juara pertama dengan nilai 39,75 diraih oleh Muhammad Raska Albiansyah."

Riski mengusap wajahnya dengan tangan, ia menoleh ke arah Aidan yang tampak tersenyum dari tempatnya. Ia bahagia bisa menjadi salah satu yang terbaik, meskipun hanya masuk tiga besar. Perjuangannya selama ini seolah terbayarkan. Hal itu tentu semakin membuatnya dekat dengan tujuan berikutnya, yaitu masuk perguruan tinggi dengan jalur beasiswa.

"Kepada para juara dipersilakan naik ke atas panggung untuk menerima piala penghargaan."

Ketiga remaja itu naik ke panggung, senyum lebar menghias di bibir. Rasa bangga sekaligus haru bercampur menjadi satu di benak mereka. Menjadi peraih nilai tertinggi tentu menjadi pencapaian luar biasa sepanjang perjalanan mereka di sekolah. Usai menerima piala, ketiganya langsung menghampiri orang tuanya masing-masing.

"Mas, Riski berhasil. Semua berkat doa Mas Aidan dan Ibu." Riski menghambur ke pelukan sang kakak.

Pemuda itu mengucap syukur dalam hati menyaksikan kesuksesan sang adik hari ini. Ia cukup tahu bagaimana perjuangan Riski sehingga bisa berada di posisi sekarang.

"Mas Aidan tahu kamu bisa berhasil, kami bangga dengan pencapaianmu hari ini. Almarhum Ayah pasti juga bangga menyaksikan keberhasilanmu dari atas sana." Aidan balas memeluk sang adik.

Riski melepaskan pelukannya, kemudian kembali ke tempat duduknya. Menyaksikan acara pentas seni dari kelas XII pun adik kelasnya. Acara hari itu berjalan dengan lancar tanpa kekurangan apa pun. Tepat jam dua siang acara telah berakhir, sebagian siswa telah meninggalkan area sekolah.

Namun, sebagian lainnya masih tampak sibuk berfoto ria bersama teman-temannya sebagai kenangan terakhir sebelum berpisah. Begitu pula dengan Riski yang tampak masih asyik berfoto bersama teman sekelasnya di panggung bersama sang wali kelas. 

Aidan menunggu sang adik selesai berfoto di depan panggung. Usai sang adik turun, ia segera menghampiri.

"Ki, udah mau pulang belum?"

"Mas Aidan pulang duluan saja, Kiki masih mau bareng teman-teman yang lain. Nanti pulangnya biar naik angkot atau minta antar teman."

"Mas Aidan pulang duluan, kamu hati-hati aja. Pulangnya jangan larut juga jangan ikut konvoi di jalanan apalagi sampai ikut coret-coret seragam."

"Tenang aja, Riski nggak akan melakukan itu kok. Seragam ini dibeli dengan susah payah, mana mungkin aku hancurkan demi kesenangan semata. Lebih baik kalau bisa disumbangkan untuk orang yang membutuhkan." Riski tersenyum lebar.

Aidan mengangguk, cukup puas dengan jawaban sang adik. Ia rasa tak perlu mencemaskan Riski karena remaja itu sudah cukup dewasa. Pemuda itu menuju parkiran, membiarkan sang adik menikmati kebersamaannya dengan teman-temannya. Ia tak ingin mengganggu waktu kebersamaan mereka.

Tepat jam setengah empat sore, Aidan tiba di rumah. Saat ia pulang, sang ibu telah berdiri di teras menunggu kepulangannya. Senyumnya mengembang sempurna ketika melihat sosok si sulung.

"Dan, Adikmu mana? Hasil pengumumannya juga bagaimana?" cerca Risna.

Aidan menyerahkan piala milik Riski yang diletakkan di keranjang sepeda. Melihat itu sang ibu menangis haru, bahagia mengetahui putra bungsunya menjadi salah satu yang terbaik. Orang tua mana yang tidak bangga mengetahui putranya menjadi salah satu yang terbaik?

"Riski masih di sekolah, Bu. Dia masih sibuk foto bareng teman-temannya. Aidan nggak mau mengganggu kebersamaan mereka, mungkin ini akan jadi kenangan terakhir sebelum berpisah untuk melanjutkan cita-cita."

"Andaikan saja Ayah kalian masih ada, dia pasti juga bakalan bangga menyaksikan kesuksesan adikmu hari ini. Kebahagiaan kita pastinya akan jauh lebih sempurna." Risna menerawang jauh.

"Bu, Ayah pasti juga turut bahagia dari atas sana." Aidan memeluk tubuh sang ibu dari samping sembari tersenyum sendu.

Kulon Progo, 5 Juli 2021





Clover (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang