Bagian 19

378 63 0
                                    

"Mas Aidan nggak kerja lagi? Kalau Mas Aidan kelamaan cuti, gimana mau dapat uang? Biaya kuliahku gimana?"

Aidan baru saja memejamkan mata ketika Riski masuk ke kamarnya. Pernyataan sang adik, membuat pemuda itu menghela napas kasar. Ia memilih diam dan mendengarkan sembari mencoba mengontrol emosi yang bergemuruh di dada.

"Jangan terlalu manja, Mas. Sakit dikit  doang sampai cuti berhari-hari. Mas Aidan ini beneran sakit atau cuma males aja?" sergah Riski.

Aidan mengepalkan tangan, kemudian menarik napas panjang. Pernyataan si bungsu benar-benar menusuk tepat di jantung, mengakibatkan sakit luar biasa di dalam sana. Lukanya memang tak berdarah, tetapi justru karena itu tak bisa disembuhkan oleh dokter mana pun.

"Ki, Mas Aidan cuma lagi butuh istirahat. Kalau memang udah bener-bener sembuh, mana mungkin Mas Aidan milih bersantai di rumah." Aidan berujar lirih.

"Siapa tahu Mas Aidan cuma pura-pura sakit? Biar dimanjakan sama Ibu dan bisa libur dan bersantai di rumah." Riski bersedekap.

Aidan tersenyum masam, tak tahu lagi bagaimana harus menghadapi Riski. Semua tuduhan itu membuatnya terluka lebih dalam lagi.  Bagaimana mungkin sang adik bisa berpikir demikian?

"Ki, sebenarnya kamu anggap apa Mas Aidan? Kakakmu atau hanya sekadar sebagai alat untuk mencapai ambisimu?" lirih Aidan.

Kesabaran pemuda itu mulai berada di ambang batas, setelah selama ini hanya memilih diam. Ia benar-benar terluka oleh sikap adiknya kali ini. Setelah semua hal yang telah dilakukan hingga sekarang, bagaimana bisa Riski tega menuduhnya seperti itu.

"Bukannya Mas Aidan memang punya tanggung jawab untuk keduanya? Jadi, kenapa masih nanya lagi?" jawab  Riski santai.

Suara keributan itu membuat Risna yang tengah mencuci di halaman belakang, menghampiri kedua putranya. Awalnya ia memilih membiarkan saja, berharap mereka bisa menyelesaikan dengan baik. Namun, dugaannya salah.

"Ki, Masmu itu sakit. Ibu minta tolong banget, jangan membuat keributan lagi. Biar Masmu bisa istirahat." Risna melerai.

"Kiki nggak bikin keributan kok. Kiki cuma lagi ngobrol aja sama Mas Aidan, apanya yang salah?" Riski berdecak kesal.

"Ki, Ibu nggak ngelarang kamu buat ngobrol. Cuma harus tahu situasi dan kondisi juga, Masmu masih butuh istirahat. Jadi, Ibu harap Kiki nggak ngeganggu," tukas Risna.

Mendengar itu Kiki segera berbalik pergi, tanpa menoleh lagi. Ia berjalan cepat, meninggalkan Aidan dan Risna yang hanya bisa mengelus dada. Ini memang bukan kali pertama Riski bersikap demikian, tetapi nyatanya keluarganya tetap tak terbiasa.

"Apa yang dibicarakan adikmu, nggak usah diambil hati. Aidan tahu sendiri bagaimana sifat adikmu itu." Risna menggeggam jemari si sulung.

"Ibu nggak perlu khawatir, Aidan tahu soal itu kok. Aidan bisa memaklumi itu, Kiki pasti punya kesulitannya sendiri," ucap Aidan sembari tersenyum tipis.

Risna bisa bernapas lega usai mendengar jawaban si sulung. Sejujurnya, ia khawatir hubungan kedua putranya itu akan benar-benar hancur hanya karena masalah sepele. Namun, sekarang kekhawatiran itu telah sirna karena Aidan tak mempermasalahkan sikap kasar adiknya.

"Apa pun yang akan terjadi di masa depan, Ibu harap kalian berdua bisa selalu saling melindungi dan melengkapi karena kalian adalah saudara," nasihat Risna.

"Ibu nggak perlu khawatir, Aidan akan mengingat nasihat itu. Tak peduli seberapa buruk sikap Kiki ke Aidan, kita tetaplah satu keluarga."

Tanpa disadari air mata mengalir membasahi wajah keriput Risna. Ia cukup senang mendengar jawaban si sulung, sekarang ia benar-benar bisa tenang tanpa memikirkan masalah itu lagi.

"Aidan sebaiknya istirahat lagi, biar cepat pulih. Nggak usah mikir yang lainnya, yang penting Aidan sehat dulu. Kalau butuh sesuatu panggil aja, Ibu ada di dapur mau masak buat makan siang dulu."

Aidan mengangguk pelan sebagai jawaban. Lebih baik langsung mengiakan dibandingkan harus  berdebat lebih dulu. Toh, ia paham bahwa sang ibu pasti lelah dengan semua hal yang terjadi belakangan ini. Belum lagi,  ditambah dengan pekerjaan yang cukup menguras energi.

****
"Dan, kamu yakin mau berangkat kerja? Nggak usah dulu, ya! Istirahat sehari lagi, besok pagi Ibu nggak melarang lagi." Risna membujuk.

"Bu, Aidan beneran udah sembuh. Aidan udah bosan di rumah, nggak ada yang bisa dilakukan selain makan dan tidur. Lagian kalau nggak ngapa-nggapain, ntar malah makin manja tubuhku ini."

Aidan terus meyakinkan Risna bahwa ia sudah siap untuk bekerja. Hanya itu satu-satunya alasan yang bisa digunakan agar sang ibu tak curiga. Bagaimanapun caranya, Risna tak boleh tahu bahwa tujuannya yang sebenarnya bukan kafe melainkan rumah sakit.

"Baik, Ibu izinkan. Dengan syarat Aidan harus jaga diri, kalau ada apa-apa langsung kabari."

Aidan menggangguk pelan sembari tersenyum tipis. Ia menarik napas lega karena berhasil mendapat izin. Pemuda itu tak perlu khawatir lagi dan menciptakan kebohongan untuk menutupi semuanya.

Aidan sama sekali tak pernah berpikir untuk mengungkap fakta yang ada bahwa mungkin saja kondisinya telah masuk ke fase yang lebih serius. Bukan karena tak bisa, tetapi karena memang tak ingin membicarakannya. Maafkan Aidan karena tak sanggup jujur pada kalian. Ini demi kebaikan kita semua, Aidan nggak mau kalian khawatir, batinnya.

Seusai rencana awal, Aidan akhirnya bisa pergi ke RSUD. Kondisinya sudah membaik dibanding dengan beberapa hari lalu, walaupun belum sepenuhnya pulih. Wajahnya masih  pucat pun kedua matanya yang tampak cekung. Namun, ia tak bisa melewatkan pemeriksaan hari ini.

Aidan berpuasa sejak tengah malam tadi karena merupakan salah satu prosedur sebelum menjalani endoskopi. Jadi, ia sengaja melewatkan sarapannya. Ia pergi dengan diantar oleh ojek online karena memang tak punya pilihan lain.

Satu jam kemudian ia telah sampai ke tempat tujuan. Rumah sakit itu cukup ramai oleh pasien yang mengantre di lobi. Wajar saja jika banyak yang sakit karena sekarang telah memasuki musim pancaroba.

Usai melakukan administrasi, Aidan menuju ke ruang endoskopi. Di sana, ia pun melakukan semua prosedur endoskopi. Sekarang, ia telah selesai melakukan pemeriksaan. Hanya tinggal menunggu hasil endoskopi keluar.

Setelah menunggu selama tiga puluh menut, hasilnya pun keluar. Di sana menyatakan bahwa ia memang mengidap tukak lambung. Ia termenung cukup lama, menimbang apa yang selanjutnya akan dilakukan.

"Kamu nggak bisa pulang sekarang, Dan. Jadi, apa yang harus kulakukan? Ke kafe mungkin pilihan yang lebih tepat, setidaknya membuatku nggak berbohong," putusnya.

Aidan pamit untuk bekerja, akan sangat mencurigakan andai ia kembali ke rumah sekarang. Hal itu justru akan membuat sang ibu semakin mengkhawatirkannya apabila pulang sebelum waktunya tiba. Jadi, ia memilih mengambil risiko yang lebih besar.

Kulon Progo, 6 September 2021

Clover (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang