Bab 2

596 101 5
                                    

Seorang wanita paruh baya tampak sibuk bergelung dengan berbagai bahan masakan dan alat dapur. Tangannya begitu lihai dalam memotong sayuran pun menyiapkan berbagai menu makan malam untuk kedua putranya. Ia bahkan harus menggadaikan cincin peninggalan mertuanya untuk membeli daging agar bisa memasak makanan kesukaan kedua putranya.

Setelah makanan tersaji di piring, Risna menuju teras. Pandangannya ditujukan ke segala arah. Angin mulai bertiup kencang, awan pun tampak menghitam. Namun, Riski masih belum tiba di rumah. Ia pun menghampiri Aidan yang menunggu dengan cemas di teras.

"Dan, adikmu kok belum pulang? Mana bentar lagi hujan, dia pulangnya sama siapa?" Suara Risna menginterupsi lamunan Aidan.

"Nggak tau juga, Bu. Tadi bilangnya bakal bareng sama temennya, ponselnya dihubungi juga nggak bisa." Aidan menghela napas kasar.

Senyum keduanya mengembang ketika sebuah motor berhenti di halaman. Sosok remaja yang sedari tadi ditunggu tampak turun dari motor dan menghampiri usai mengucapkan terima kasih karena telah diantar pulang oleh salah satu temannya. Aidan dan Risna pun turut mengucapkan terima kasih.

"Anak kebanggaan Ibu udah pulang. Langsung mandi, setelah itu kita makan bareng. Ibu sudah masak makanan kesukaanmu dan Masmu sebagai wujud syukur atas keberhasilanmu." Risna memeluk putra bungsunya serta menghadiahi kecupan di seluruh wajah remaja itu.

"Semua yang Riski raih juga nggak lepas dari doa dan dukungan Ibu dan Mas Aidan. Jadi, ini bukan hanya keberhasilan Riski. Namun, keberhasilan kita bersama."

Setelahnya, Riski bergegas membersihkan diri. Sementara itu, Risna dan Aidan menata makanan di karpet ruang tamu. Jangankan meja makan, ruang tamu rumah itu pun hanya diisi dengan selembar karpet lusuh.

Setengah jam kemudian, Riski menyusul dan turut duduk di sana. Menu hari ini tampak lebih lengkap dan mewah dari biasanya, hampir semua makanan kesukaannya tersedia hari ini. Mulai dari rendang daging, oseng kangkung, ayam goreng, oseng bunga pepaya, dan terakhir soto ayam.

"Terima kasih, Bu. Ibu jadi harus mengeluarkan banyak uang untuk masak makanan ini." Riski merasa bersalah.

"Sudah, makan aja. Mumpung Ibu lagi ada rezeki, sekali-kali kita makan enak. Lagi pula biasanya kita makan rendang cuma pas Idul Adha aja, itu pun kalau dapat daging kurban." Risna tersenyum lebar.

Aura bahagia jelas terpancar di wajahnya yang telah keriput. Di usia yang sudah memasuki kepala lima, wanita itu masih tampak cantik di mata kedua putranya. Dua buah kecupan Risna dapatkan dari Aidan dan Riski secara bersamaan di kedua pipinya. Sebagai gantinya, ia memeluk dua lelaki berbeda usia itu.

"Kalian adalah anak-anak kebanggaan Ibu," ucap Risna.

Risna melepaskan pelukannya dan meminta Aidan serta Riski untuk makan. Melihat kedua putranya makan dengan lahap, sudah cukup membuatnya bahagia. Ia akan mengusahakan yang terbaik untuk dua malaikatnya itu.

"Oh iya, Bu, Mas. Lusa Riski bakalan ikut tes masuk ke Universitas Pancasila, semoga aja bisa lolos jalur beasiswa. Jadi, nggak akan terlalu membebani Ibu dan Mas Aidan pas kuliah nanti."

"Kalau masalah biaya kuliah, jujur Ibu nggak sanggup menanggung. Kamu tahu sendiri gimana keadaan ekonomi kita. Soal beasiswa, Ibu hanya bisa mendoakan semoga berhasil mendapatkannya dan kamu bisa meraih mimpi-mimpimu." Risna menggenggam tangan Riski.

Riski mengangguk, selama ini ia belajar mati-matian hanya agar bisa masuk kuliah melalui jalur beasiswa. Itu satu-satunya harapan agar bisa tetap melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi. Remaja bermata sipit itu sadar bahwa keluarganya tak sanggup jika harus menanggung biaya kuliahnya.

"Mas Aidan juga hanya bisa mendoakan, semoga saja kamu berhasil mendapat beasiswa itu." Aidan menimpali.

"Doa dan dukungan dari Ibu dan Mas Aidan sudah cukup. Sisanya, tergantung kemampuanku dan kehendak takdir," pungkas Riski.

Waktu berlalu cukup cepat, malam telah berlalu. Pagi ini, ketiganya menjalankan aktivitasnya masing-masing. Aidan berangkat bekerja ke kafe, Riski pergi ke perpustakaan kota bersama salah satu temannya untuk belajar bersama, sedangkan Risna menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga.

Usai dari perpustakaan kota, Riski diantar ke kafe tempat Aidan bekerja. Temannya tak bisa mengantarnya pulang karena ada urusan mendesak sehingga ia memilih untuk menyusul sang kakak agar bisa pulang bersama.  Jarak dari kafe ke rumah sekitar 1.5 KM, cukup memakan waktu jika hanya ditempuh dengan jalan kaki.

Setelah menunggu selama hampir setengah jam, akhirnya Aidan menyelesaikan shift-nya. Pemuda bertubuh ringkih itu segera menghampiri Riski yang menunggu di dekat parkiran.

"Ki, kayaknya bakalan hujan lagi sore ini. Mana Mas Aidan lupa nggak bawa jas hujan, kamu bawa nggak?" Aidan mengamati langit yang gelap berkelabu.

"Kan, jas hujannya ada di Mas Aidan. Biasanya selalu ditaruh di tas atau nggak di keranjang sepeda," ucap Riski.

Aidan menepuk pelan jidatnya, ia benar-benar lupa soal masalah itu. Jas hujan itu memang berada di tas, tetapi sekarang ia menggunakan tas yang berbeda. Pasalnya, tas yang biasa ia gunakan talinya terputus sehingga tak bisa digunakan. Jas  hujan miliknya dan sang adik memang dijadikan satu agar lebih mudah ditemukan. Namun, hal itu justru ia sesali sekarang. Jika miliknya tertinggal, maka bisa dipastikan jas hujan milik sang adik juga tak dibawa.

"Ya sudah, Mas. Kita balik sekarang aja, moga hujannya baru turun pas kita sampai rumah. Seandainya kehujanan, ya nikmati aja. Nggak ada pilihan lain daripada kita terjebak di sini," tukas Riski.

Aidan mengayuh sepeda sekuat tenaga, dengan Riski yang membonceng di belakang. Ia mempercepat laju sepeda tua itu agar segera tiba di rumah sebelum hujan turun. Namun, kakak beradik itu tak beruntung karena hujan turun dengan deras saat keduanya masih berada di separuh jalan.

"Ki, kita neduh dulu aja, ya. Mas khawatir kalau kamu sakit karena kehujanan."

"Neduh di bawah pohon sana saja, Mas." Riski menunjuk pohon rindang di tepi jalan.

Mereka tak punya pilihan lain, selain berteduh di bawah pohon karena jalanan yang mereka lalui bukan kawasan padat penduduk. Di kanan–kiri jalan hanya ada deretan pepohonan dan area persawahan. Keduanya terjebak hujan hampir setengah jam dengan kondisi baju yang telah basah kuyup. Pohon tempat mereka berteduh nyatanya tak sepenuhnya mampu melindungi mereka dari pasukan air yang menyerbu bumi.

"Ki, kita pulang sekarang aja. Hujannya nggak terlalu deras lagi, Mas Aidan khawatir kalau kamu sakit karena kelamaan pakai baju basah gini." Aidan memecah keheningan.

Riski menurut, ia segera duduk manis di jok belakang. Lagi pula ia memang merasa hawa dingin mendekapnya dengan erat bahkan terasa hingga menusuk tulang. Ia meraba wajah, semua terasa dingin. Hidungnya pun tak kalah dingin daripada hidung kucing peliharaannya. 

"Jangan tumbang, Ki," lirihnya.

Aidan melajukan sepedanya secepat yang ia mampu agar segera tiba di rumah. Pikirannya tak tenang karena mengkhawatirkan sang adik yang mulai bersin-bersin. Ia merasa bersalah karena tak membawa jas hujan padahal cuaca sekarang yang tak bisa diprediksi. Pagi cerah, tetapi sorenya hujan deras. Sama halnya seperti sekarang.

Kulon Progo, 8 Juli 2021

Clover (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang