Bagian 18

334 64 0
                                    

Kondisi Aidan sempat membaik sehingga berencana bekerja keesokan harinya. Namun, pagi itu tubuhnya kembali menolak untuk diajak bekerja sama. Beberapa kali ia mual dan muntah.

Sang ibu yang mengetahui hal itu, segera menyusul si sulung ke toilet. Ia mengurut tengkuknya pelan, kemudian membantu pemuda itu untuk kembali ke kamarnya. Tak lupa membantu putranya itu untuk berbaring di kasur lantai lusuhnya.

"Dan, Nggak usah kerja dulu. Istirahat lagi aja di rumah, Ibu nggak akan tenang kalau kamu maksain diri." Risna membujuk.

Aidan hanya mengangguk pelan, ia seolah tak punya energi lagi walau hanya sekadar untuk berbicara. Tubuhnya terasa lemah sehingga memilih untuk menurut pada wanita  yang selama ini membesarkan dan merawatnya itu. Jadi, ia sama sekali tak berniat untuk membantah ataupun berdebat seperti biasa.

"Kan, enak kalau Aidan nurut kayak gini. Nggak harus pakai acara debat segala."

Risna tersenyum tipis sembari melangkah keluar, mengambilkan air hangat untuk putra sulungnya itu.  Sejujurnya, ia khawatir dengan khawatir melihat reaksi Aidan yang langsung mengiakan. Namun, ia segera merapal istighfar dalam hati, tak mau berprangsa buruk terhadap putranya.

Setelah sang ibu keluar, Aidan kembali mual. Ia segera membekap bibirnya dengan sebelah tangan, menahan gejolak yang mendesak di kerongkongannya. Ia terpaku cukup lama ketika ada noda warna merah di telapak tangannya. Wajah pucat itu jelas terkejut dengan apa yang baru saja dialami.

"Dan, jangan khawatir. Semua akan baik-baik aja. Jangan biarkan Ibu tahu soal ini," ucapnya mensugesti diri sendiri.

Setelah tersadar dari keterkejutan, Aidan mengambil sapu tangan dari kantong kemeja pendeknya. Ia buru-buru menghapus noda itu dari telapak tangannya dan menyimpannya kembali ke tempat semula.

Berbagai pikiran buruk menerobos benaknya, bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Namun, ia sama sekali tak menemukan jawaban. Mungkin, bukan karena tak berhasil menemukan. Namun, lebih kepada tak berani memikirkan lebih jauh lagi.

Ketika suara langkah sang ibu  mendekat, ia kembali mnebaringkan tubuh. Tak ingin wanita itu mengetahui apa yang telah terjadi. Ia tak ingin melihat Risna mengkhawatirkannya lebih dari sekarang. Namun, nyatanya bekas darah itu sempat menetes di selimut abu muda miliknya.

"Dan, ini darah apa?" Risna mengerutkan kening sembari menunjuk noda merah itu.

Aidan terkesiap, berpikir cukup lama hanya sekadar untuk mencari alasan yang masuk akal. Ia tak bisa memberi sembarang alasan karena bisa memancing kecurigaan dari wanita paruh baya itu.

"Aidan, ini darah apa? Kok kelihatan masih segar gitu?"

"Oh, iya Bu. Itu darah cicak yang barusan berantem di atap dan salah satunya terluka dan jatuh di situ," jawab Aidan. 

Pernyataan Aidan membuat Risna otomatis mendongak. Si sulung pun memilih turut mencari karena takut sang ibu akan menaruh kecurigaan. Ia tersenyum tipis begitu menemukan seekor cicak menempel di pasak, tepat di atas kasurnya. Sepertinya, keadaan pun turut membantunya untuk melancarkan kebohongannya.

Maafkan Aidan, Bu. Aidan nggak bermaksud berbohong, tetapi lebih baik Ibu nggak tahu masalah ini untuk sekarang, batinnya.

Usai menemukan cicak itu, Aidan melirik sang ibu. Risna tampak percaya pada ucapannya sehingga membuat sulung keluarga Dhiaurrahman itu menghela napas lega. Setidaknya, kali ini tak perlu lagi memikirkan cara untuk menjelaskan tentang kejadian sebenarnya.

"Aidan istirahat aja, biar Ibu buatkan sarapan dulu. Abis sarapan, ntar Ibu antar periksa ke puskesmas." Risna menatap putranya cemas.

"Nggak perlu, Bu. Aidan beneran cuma butuh istirahat kok, lagian obat yang kemarin juga masih ada.
Besok pagi, Aidan bakalan pergi kalau memang dibutuhkan. Ibu nggak perlu khawatir," ucap Aidan sembari tersenyum tipis.

Risna mengiakan saja, hal yang membuat pemuda itu cukup senang. Besok ia memang berencana memeriksakan diri. Bukan hanya sekadar di puskesmas, tetapi di RSUD.  Jadi, tak mungkin membiarkan sang ibu mengantarkan. Pemuda itu berencana pergi seorang diri, sama seperti sebelumnya.

"Ya sudah, Ibu belikan bubur dulu di depan. Kalau perlu apa-apa, panggil aja adikmu. Dia ada di kamarnya, kok."

"Kiki lagi sibuk belajar, nggak bisa diganggu. Lagian sakit Mas Aidan nggak separah itu, kan? Jadi, bisa nyari sendiri kalau emang perlu sesuatu," sahut Riski dari kamarnya.

Kamar kakak-beradik itu hanya tersekat oleh dinding bambu sehingga  Riski bisa mendengar dengan jelas percakapan sang ibu dan kakaknya. Kali ini, ia benar-benar sibuk dengan beberapa tugas kuliahnya. Jadi, tak sama sekali tak berniat meninggalkan kamarnya apalagi hanya sekadar membantu sang kakak.

Aidan menghela napas, sikap adiknya itu sama sekali masih belum berubah. Namun, ia berusaha tak mempermasalahkan soal itu. Pemuda itu yakin bahwa si bungsu memiliki kesulitannya sendiri. Sebagai seorang kakak, ia mencoba untuk memahami.

"Ki, kalau ngomong itu yang baik. Udah tahu Masmu lagi sakit, tapi malah ngomong sembarangan," sergah Risna.

"Udah, Bu. Nggak perlu diperpanjang lagi, lagian Kiki emang bener kok. Aidan masih sanggup kalau cuma sekadar untuk bangun, bukan sakit parah ini." Aidan turut meyakinkan.

"Dan, adikmu nggak bermaksud begitu. Ucapannya nggak perlu diambil hati, kamu tahu sendiri gimana sifat adikmu itu." Risna mencoba menjelaskan.

Aidan menggeleng pelan sembari tersenyum tipis. Ia hanya berusaha tampil seolah tak pernah mendengar apa pun, setidaknya saat berada di hadapan sang ibu. Pemuda itu berusaha menjaga perasaan si bungsu dan sang ibu, tetapi tak pernah sekali pun memikirkan bagaimana perasaannya sendiri.

Risna pun berlalu dari kamar Aidan, membiarkannya beristirahat. Sebelum pergi, wanita paruh baya itu mengambilkan segelas air putih, lalu meletakkannya tak jauh dari si sulung. Ia melakukan itu untuk mempermudah Aidan, andai membutuhkan.

"Makasih, Bu. Aidan baru aja mau ambil minum ke dapur, malah udah disiapin. Ibu memang yang terbaik," ucap Aidan sembari mengacungkan kedua jempolnya.

"Biasanya Ibu nggak punya kesempatan buat manjain Aidan karena semua hal selalu kamu kerjakan sendiri. Sekarang Ibu punya kesempatan untuk itu, mana mungkin disia-siakan begitu saja?" Risna terkekeh.

Aidan tersenyum lebar, cukup bahagia usai mendengar pernyataan sang ibu. Selama ini, ia mengira bahwa Risna hanya peduli pada si bungsu karena selalu membela Kiki hampir di setiap kesempatan. Menempatkannya di posisi pihak yang bersalah hampir setiap kali ia y
terlibat perbedabatan. Namun, kali ini pemuda itu tahu bahwa semua asumsinya salah.

Sang ibu bukan tak pernah meyayanginya, hanya saja menunjukkan dengan cara yang berbeda. Mengetahui hal itu saja sudah cukup membuatnya merasa senang. Selama ia sakit beberapa hari ini, Risna benar-benar memanjakannya. Sama sekali tak membiarkan pemuda itu, melakukan pekerjaan apa pun.

"Maafkan Aidan, Bu. Selama ini Aidan telah salah menilai," bisiknya.

Kulon Progo, 3 September 2021

Clover (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang