Bagian 15

308 60 3
                                    

Aidan berangkat lebih awal padahal jadwalnya hari ini adalah masuk siang. Ia sengaja berangkat lebih awal karena ingin mampir ke toko sepatu tak jauh kafe. Pemuda itu ingin membelikan sepatu untuk si bungsu karena hari ini adalah hari ulang tahunnya.

Setelah hampir lima belas menit memilih, ia pun menemukan sepatu yang cocok. Pilihannya jatuh pada sebuah sepatu dengan perpaduan warna hitam, putih, dan merah. Menurutnya itu sepatu yang cukup bagus, berharap si bungsu juga akan sependapat dengannya.

Aidan pun membayar di kasir dan meminta agar sepatu itu dibungkus dengan rapi karena akan dijadikan kado untuk sang adik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aidan pun membayar di kasir dan meminta agar sepatu itu dibungkus dengan rapi karena akan dijadikan kado untuk sang adik. Ia sengaja meminta bantu agar dibungkus sekalian karena takut akan ketahuan jika dibungkus di rumah. Pemuda itu tersenyum puas setelah mendapatkan apa yang dicari.

Ki, Mas Aidan harap kamu bakalan suka sama kado ini. Harganya memang tidak mahal, tapi cukup bagus untuk dikenakan, batinnya.

Usai mendapat kado untuk si bungsu, ia bergegas ke RSUD. Sebelum melakukan endoskopi, ia diminta untuk melakukan puasa sejak tengah malam tadi. Aidan menyelesaikan administrasi terlebih dulu dengan menyerahkan fotokopi surat rujukan dan BPJS.

Pemuda itu pun diperiksa oleh dokter spesialis penyakit dalam dan diminta untuk melakukan tes darah di labolatorium dan electrocardiograpy di poli jantung. Setelahnya mendaftar di bagian endoskopi dan mendapat giliran hari sabtu.

Aidan bergegas ke kafe dengan naik angkot. Ia tak sanggup jika harus mengayuh sepeda dari kafe ke RSUD karena jarak yang terlalu jauh. Sesampai di sana, segera mengganti pakaian dengan seragam dan melakukan tugasnya.

"Dan, tumben baru datang. Biasanya datang lebih awal." Suara Derry membuat Aidan menoleh.

"Sekali-kali telat, nggak apa-apa. Bosan jadi karyawan teladan mulu. Lagian baru telat sekali, nggak berkali-kali kayak–" Aidan melirik Derry dengan ekor matanya.

Derry memukul bahu Aidan cukup keras, membuat pemuda itu terkekeh.  Nyatanya sindiran itu tak membuat sang sahabat tersinggung, justru membuatnya tertawa lebar. Pemuda itu mengakui bahwa ia memang langganan telat padahal tak pernah menggunakan jasa angkutan umum.

"Lebih baik terlambat daripada tidak datang sama sekali, bisa-bisa gajiku sebulan abis akibat banyak potongan." Derry terkekeh.

"Nggak gitu juga konsepnya, Bambang!" Aidan menggeleng pelan sembari tersenyum tipis.

Derry tertawa, meninggalkan Aidan yang masih ngomel di tempatnya. Sahabatnya yang satu itu, terkadang memang nggak bisa diajak bercanda. Namun, pemuda 25 tahun itu pun segera menyusul begitu selesai.

Kafe yang tak terlalu ramai merupakan suatu kenikmatan bagi beberapa karyawan karena bisa sedikit bersantai. Beberapa karyawan tampak asyik bercanda di meja bar. Sebagian lainnya tampak membersihkan area kerjanya masing-masing. Ada pula yang memilih untuk sekadar bermain ponsel di ruang istirahat. Begitu pun dengan Derry dan Aidan, keduanya memilih untuk berbincang di ruang istirahat.

"Dan, belakangan ini kayaknya kamu sering sakit. Udah periksa ke dokter?" Derry membuka percakapan.

"Bukan masalah serius kok. Penyakit lama, ngadi-adi emang tubuhku ini." Aidan terkekeh.

"Tandanya disuruh istirahat, Dan. Lagian dua tahun ini ngejar target banget, cuma ada kerja dan kerja bahkan sampai lupa waktu. Nggak kasihan ama badan yang tinggal tulang itu?" Derry berdecak.

Aidan tertawa kecil, sama sekali tak tersinggung. Toh, kenyataannya memang begitu. Tubuhnya memang lebih kurus jika dibandingkan dengan  sang sahabat yang memiliki postur proporsional. 

"Jatahnya cuma segini, mau gimana lagi? Terima apa adanya aja, lagian kurus juga punya banyak keuntungan. Gerakan lebih gesit, misalnya."

Mendengar jawaban itu, Derry terkekeh. Membenarkan ucapan sang sahabat. Jika dibandingkan dengannya, Aidan memang lebih cekatan dan gesit. Tubuhnya seolah begitu ringan untuk melakukan banyak hal.

Waktu beranjak sore, kafe pun mulai dipadati oleh pelanggan. Semua karyawan kembali disibukkan dengan rutinitas masing-masing. Semakin malam, suasana kafe semakin ramai.
Hal itu menyebabkan jam kerja mereka harus diperpanjang.

Aidan yang berencana izin untuk pulang lebih awal pun mengurungkan niat. Ia berencana untuk merayakan ulang tahun si bungsu dengan sederhana di rumah, tetapi sekarang keadaan tak memungkinkan untuk itu. Pemuda itu bernapas lega ketika area kafe telah sepi, hanya menyisakan beberapa orang yang masih bersih-bersih.

Pekerjaannya hari itu telah usai sehingga ia bisa segera pulang. Berhubung Aidan tak mengendarai sepeda, Derry yang mengantarkan  pulang. Lagi pula jalan pulangnya memang searah dengan rumah sang sahabat.

Aidan baru tiba di rumah sekitar jam sebelas malam. Saat ia tiba, rumah berdinding kayu itu tampak sepi. Mungkin, Ibu dan Riski sudah tidur, pikirnya. 

Setelah mengucapkan terima kasih pada sang sahabat, ia bergegas masuk.    Langkahnya mengarah ke kamar si bungsu. Lampu kamar itu masih menyala, menandakan bahwa penghuninya masih terjaga.

"Barakallah fii umrik, Ki. Maaf karena Mas Aidan baru ngucapin sekarang. Oh iya, ini buat kamu." Aidan menyodorkan paper bag berisi kado yang telah disiapkan.

Riski tersenyum lebar, ia segera membuka hadiah itu karena penasaran. Aura bahagia terpancar nyata di kedua matanya apalagi ketika  tahu bahwa kotak itu berisi sepatu baru. Namun, senyuman itu langsung lenyap begitu saja saat melihat isinya. 

"Sepatunya buat Mas Aidan kerja aja, Kiki nggak suka. Kiki maunya sepatu Adidas, Nike atau Vans. Itu merknya aja nggak jelas." Riski meletakkan sepatu di meja belajarnya.

"Mas Aidan minta maaf karena cuma bisa belikan sepatu ini. Mas Aidan harap kamu mau pakai sepatu itu, biar nggak mubazir." Aidan menghela napas pelan.

Riski mengabaikan sang kakak dan kembali asyik bermain game di ponselnya. Hal itu tak luput dari perhatian Risna yang sejak tadi berdiri di ambang pintu.

"Dan, ucapan adikmu nggak usah dimasukkan ke hati. Aidan kan tau sendiri, gimana sifatnya Kiki." Risna menasihati.

Risna mengambil sepatu itu dan menyodorkan pada Kiki. "Mas Aidan udah susah payah buat ngasih sepatu ini buatmu, tapi sikapmu malah nggak sopan. Minta maaf sama Masmu," tegas Risna.

Riski tak menyahut, memilih tetap menatap layar ponselnya tanpa
berkedip. Hal itu tentu membuat sang ibu geram karena diabaikan.

"Kalau mau, sepatunya buat Ibu aja. Lagian sepatu jelek kayak gitu dibeli buat hadiah ulang tahunku, nggak layak." Riski berdecak.

Wanita paruh baya itu hampir saja melayangkan tamparan di pipi si bungsu, tapi berhasil ditangkap sempurna oleh Aidan.

"Bu, nggak perlu pakai kekerasan. Lagian ini bukan masalah besar, Aidan nggak apa-apa kok," ucap Aidan lirih.

"Dan, Ibu minta maaf karena gagal mendidik adikmu sehingga sifatnya seburuk sekarang." Risna menunduk.

"Bu, tak ada yang salah di sini. Kiki juga nggak bermaksud begitu kok. Jadi, Ibu nggak perlu khawatir. Aidan bisa ngerti." Aidan meraih wanita paruh baya itu dalam dekapan.

Kulon Progo, 23 Agustus 2021






Clover (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang