Bab 4

492 85 13
                                    

Aidan mengabaikan tatapan tajam dari sang adik, memilih mendudukkan dirinya di hadapan remaja berhidung mancung itu. Lagi pula dengan kondisinya sekarang, tak bisa membuat ia berdiri terlalu lama.

"Ki, bagaimana ujiannya?" Aidan memecah keheningan.

Riski tak menjawab, kobaran emosi itu masih tampak nyata di kedua mata sipitnya. Tanpa dijelaskan pun, Aidan bisa menebak tentang apa yang terjadi. Namun, sekali lagi hanya ingin memastikan. Berharap semua pikiran buruk di benak, hanya bagian dari sifat pesimisnya.

"Ki, tolong jawab Mas Aidan! Harus berapa kali Mas tanya sama kamu?" Aidan menepuk lengan si bungsu.

"Aku gagal dan semua itu karena Mas Aidan. Andai kemarin Mas Aidan bawa jas hujan, aku nggak bakalan demam hingga bangun terlambat pagi ini. Akujuga nggak akan terlambat sampai di kampus, dan tidak mungkin didiskualifikasi dari ujian."

"Ki, Mas Aidan minta maaf soal itu. Mas Aidan nggak bermaksud menggagalkan impianmu." Aidan menunduk.

"Mas Aidan pikir permintaan maaf bisa menyelesaikan semuanya? Enggak, Mas. Maaf itu nggak bisa mengembalikan kesempatanku untuk bisa kuliah di Universitas Pancasila, kampus terbaik di kota Jogja ini."

Usai mengucapkan kalimat itu, Riski berlalu pergi karena cukup terganggu dengan perhatian orang-orang yang mengarah padanya. Meninggalkan Aidan yang masih termangu di tempat duduknya. Rasa bersalah itu menjulang tinggi di dalam hati sang kakak, bahkan tak bisa lagi dilukiskan seberapa besarnya.

"Maaf, Ki. Mas tahu seberapa keras usahamu agar bisa masuk ke kampus itu dengan bantuan beasiswa, tetapi semua itu justru Mas Aidan hancurkan begitu saja." Aidan menangkup wajah dengan kedua tangan.

"Dan, obatnya diminum dulu. Aku dah capek lari-lari ke apotek depan, masa nggak dihargai." Suara bariton Derry membuat Aidan menoleh.

Aidan tersenyum tipis, mengucapkan terima kasih dengan gerak bibir. Ia ingin bersuara, tetapi terasa tercekat di tenggorokan. Ucapan Riski beberapa saat yang lalu, membuat otaknya kehilangan fungsi untuk sesaat.

Pemuda bertubuh ringkih itu menerima obat dan mengunyah dengan pelan, membuat Derry tersenyum puas. Derry kembali memapah Aidan menuju ruang istirahat.

"Istirahat dulu aja, Dan. Kesehatanmu jauh lebih penting daripada pekerjaan. Kalau mau pulang kuantar, aku udah izin ke atasan agar kamu bisa pulang lebih awal. Jadi, nggak usah memaksakan diri kalau memang nggak sanggup." Derry menjelaskan.

Aidan menggangguk ragu, tubuhnya mungkin memang minta diistirahatkan. Namun, ia tak bisa terus bersantai karena tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Bermacam-macam biaya pengeluaran bulan ini, sudah cukup membuatnya kembali bersemangat dalam bekerja. Apa pun akan dilakukan, selama itu bisa membuat keluarganya tercukupi dalam berbagai aspek.

"Nggak usah khawatir, aku tahu kapasitas tubuhku kok. Makasih udah peduli, tapi aku masih harus selesaikan kerjaan. Lagian tinggal empat jam lagi." Aidan menepuk bahu Derry.

"Dan, jangan memaksakan diri kalau ema-"

"Ry, aku baik-baik aja. Nggak usah berlebihan, aku cuma sakit karena lupa nggak sarapan bukan sakit kanker yang mematikan." Aidan terkekeh.

Derry menghela napas pelan, memilih tak menanggapi lagi. Yakin bahwa membujuk Aidan untuk pulang tak mudah. Jadi, daripada berakhir dengan perdebatan, lebih baik ia mengalah. Membiarkan Aidan meneruskan pekerjaannya, mungkin pilihan yang lebih tepat.

Waktu berlalu dengan cepat, shift Aidan hari itu telah berakhir. Ia pun bergegas pulang dengan mengendarai sepeda tuanya. Tubuh lelahnya dipaksakan untuk mengayuh lebih cepat agar segera tiba di rumah. Ada banyak hal yang harus ia selesaikan, terutama masalah Riski yang terdiskualifikasi dalam mengikuti ujian masuk jalur beasiswa dari kampus impiannya.

Pemuda bertubuh ringkih itu terdiam cukup lama di teras, mendengar setiap kata yang terasa menikam jantung. Di dalam sana, sang ibu dan Riski tengah berdebat.

"Kiki nggak mau tau, Mas Aidan harus membiayai kuliahku. Kalau bukan karena kecerobohan Mas Aidan, aku yakin bisa ambil beasiswa itu dan bisa kuliah dengan tenang tanpa memikirkan banyaknya biaya yang diperlukan."

"Ki, Masmu dapat uang dari mana? Biaya kuliahmu pasti nggak sedikit, sedangkan kamu tau sendiri pekerjaan Masmu itu." Risna menasihati.

"Bu, Mas Aidan harus bertanggung jawab atas pendidikanku. Dia itu kepala keluarga di sini, lagi pula dia yang menyebabkan kegagalan itu. Jadi, wajar dong kalau Kiki mau dia membiayai kuliahku sebagai gantinya?" Riski bersikeras.

Aidan akhirnya memutuskan untuk masuk, membuat dua orang yang tengah berdebat itu menoleh. Tatapan sinis langsung ia dapatkan begitu ia menatap si bungsu. Aura emosi masih menyelimuti wajah ovalnya.

"Ki, Mas Aidan bisa aja membiayai kuliahmu. Dengan syarat kamu juga harus meringan beban Mas Aidan dengan nyambi kerja. Kalau cuma mengandalkan gaji dari kafe, itu nggak mungkin cukup." Aidan buka suara.

"Mas, Mas Aidan itu kepala keluarga. Jadi, sudah menjadi kewajiban untuk memenuhi seluruh kebutuhan anggota keluarganya. Termasuk membiayai kuliahku hingga selesai. Jadi, Mas Aidan akan lebih berguna kalau bisa memenuhi semua itu." Riski menaikkan sebelah alisnya.

Aidan memejamkan mata sembari mengatur napasnya yang memburu usai mendengar pernyataan si bungsu. Namun, ia tak bisa menyalahkan karena semua itu memang benar adanya. Seluruh kebutuhan di rumah sederhana itu sekarang telah menjadi tanggung jawabnya.

"Dan, lebih baik kamu turuti kemauan adikmu. Ibu nggak mau masalah ini membuat hubungan kalian berantakan, bahkan terputus pada akhirnya." Risna menengahi.

Aidan mengangguk, sedangkan Riski tersenyum puas karena sang ibu turut berpihak padanya. Tak peduli sesulit apa pun, pemuda itu yakin bahwa semua usahanya tak akan berakhir dengan sia-sia.

"Seharusnya Mas Aidan setuju sejak awal sehingga kecanggungan diantara kita tak pernah tercipta. Jadi, mulai besok Mas Aidan harus bekerja lebih giat lagi. Kiki juga bakalan belajar giat kok agar tak mengecewakan, impas kan?" Riski terkekeh pelan.

Aidan memilih masuk kamar setelah perdebatan panjang itu berakhir. Otaknya dipaksakan untuk berpikir tentang bagaimana cara mendapat uang agar bisa memenuhi harapan si bungsu. Namun, semakin keras berpikir justru terasa semakin buntu. Tak ada jalan keluar yang berhasil ditemukan.

"Apa yang harus kulakukan? Tabunganku nggak cukup kalau digunakan untuk biaya kuliah Kiki, sedangkan gajiku di kafe juga nggak terlalu besar." Aidan memijat kepalanya yang terasa pening.

Aidan tak punya pilihan lagi, selain apa yang kini tersangkut di kepala. Itu hanya salah satu cara agar bisa membantu walaupun tak banyak. Ia juga tahu risiko apa yang mungkin akan dihadapi jika mengambil langkah itu. Namun, bukankah ia tak menemukan solusi lain?

Ia juga tak bisa banyak berharap pada Risna karena tahu bahwa sang ibu juga ada di posisi yang sulit. Aidan tak ingin membuat wanita paruh baya itu terlalu tertekan.

"Dan, hanya itu satu-satunya cara yang bisa diambil. Tak peduli akan risiko besar yang mungkin menanti. Jadi, lakukan dulu!" serunya pada diri sendiri.

Kulon Progo, 15 Juli 2021











Clover (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang