Bab 3

515 84 3
                                    

Risna menunggu dengan cemas di teras karena kedua putranya belum ada yang tiba di rumah. Padahal di luar sana hujan deras yang dibarengi angin kencang. Hal yang memicu dedaunan dan ranting kering gugur memenuhi halaman depan, bagian teras pun tampak basah karena air yang terbawa angin.

"Dan, Ki, kalian ke mana? Kenapa jam segini belum pulang juga?" Risna mengusap tangannya yang berkeringat.

Wanita paruh baya itu segera berlari sembari memegang payung besar motif batik, begitu melihat kedua putranya kehujanan. Wanita paruh baya itu segera membantu Riski untuk masuk.

"Kalian lebih baik segera mandi, Ibu sudah menyiapkan air hangat untuk kalian." Risna menyiapkan handuk untuk kedua putranya.

Aidan mengangguk, ia membantu sang adik yang tampak pucat untuk ke kamar mandi.

Lima belas menit kemudian, Riski telah selesai membersihkan diri. Remaja itu memilih ke kamar dan mengistirahatkan diri di sana. Seluruh tubuhnya dibalut dengan selimut, belum lagi ia mengenakan baju berlapis agar tubuhnya merasa hangat.

"Bangun dulu, Ki. Ibu sudah buatkan wedang jahe." Risna menepuk pundak putranya pelan.

Namun, remaja itu sama sekali tak beranjak. Wanita paruh baya itu meraba kening si bungsu, dan merasakan hawa panas di sana.

"Bu, gimana keadaan Kiki?" Aidan muncul dari balik tirai.

"Adikmu demam, Dan. Kamu bujuk dia buat minum dulu, biar Ibu buatkan bubur. Wedang jahemu, Ibu taruh di kamar. Setelah ini kamu minum juga, biar nggak ikutan sakit."

"Ibu nggak perlu khawatir, insya allah Aidan baik-baik saja."

Usai Risna meninggalkan kamar, Aidan membangunkan sang adik untuk minum terlebih dahulu. Namun, hanya gumaman yang didapat sebagai jawaban. Pemuda itu menghela napas, tak tahu lagi bagaimana harus membujuk si bungsu. Tak lama kemudian, sang ibu kembali dengan dua mangkuk bubur dalam nampan plastik di tangannya.

Aidan membujuk Riski untuk makan sebelum melanjutkan tidurnya, tak lupa ia menyiapkan paracetamol untuk diminum sang adik. Ia bersyukur karena masih memiliki obat itu di kamar, walaupun itu satu-satunya.

"Mas, Kiki ngantuk banget. Besok bangunkan sebelum subuh, ya. Soalnya tes itu dimulai jam delapan, setidaknya beragkat dari rumah jam setengah enam pagi. Mas Aidan antar sampai jalan raya aja, nanti Kiki naik angkot sampai sana," lirih Riski. 

Aidan mengangguk, dan meminta sang adik untuk segera tidur agar esok hari kondisinya sudah jauh lebih baik. Namun, malam itu Aidan tak bisa memejamkan mata karena demam Riski masih cukup tinggi
meskipun telah dikompres dan minum obat. Remaja itu pun mengeluhkan beberapa bagian tubuhnya yang terasa sakit sehingga Aidan harus tetap terjaga dan menjadi tukang pijat dadakan.

Tak berbeda dari Aidan, Risna pun turut terjaga meskipun si sulung memintanya untuk istirahat. Ia bergantian memijat si bungsu agar, Aidan tak kelelahan karena harus menjaga adiknya sepanjang malam.

Aidan baru terbangun jam lima pagi, ia segera membangunkan Riski dan memintanya untuk segera bersiap. Tubuhnya dipaksakan untuk bergerak cepat menyiapkan berkas yang dibutuhkan. Setelah itu, ia membersihkan diri dan bersiap berangkat. Begitu pula dengan Aidan, ia bergegas bersiap karena hari ini masuk shift pagi.

"Bu, kami berangkat dulu," pamit Aidan.

"Kalian nggak sarapan dulu? Biar Ibu belikan makanan dulu." Risna tampak cemas.

"Nanti Aidan sarapan di kafe aja, Bu."

"Kiki nanti beli sarapan di dekat lokasi aja, Bu. Waktunya udah mepet ini, takut nggak kekejar." Riski melirik  arloji di pergelangan tangannya.

Clover (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang