"Kau gila!" Bentakan tersebut tak pernah Bree duga akan melayang kepadanya.
Lelaki di depannya ini biasanya mengulas senyum atau paling tidak menggenggam tangannya erat walaupun terlihat begitu dingin. Kao-nya berubah, itu yang pertama kali muncul dalam benak Bree.
"Ahh ... apa karena seragam ini?" Bukan! Itu jelas bukan sebuah pertanyaan yang menunggu untuk mendapat jawaban, nada sinis dan dengusan meremehkan yang menyertainya sudah cukup jelas menurut Bree.
Wanita seperti itukah Bree di mata Kao? Yang akan mengejar seseorang karena pangkat yang tersampir di bahunya? Lelaki itu tidak lagi seperti yang Bree kenal dulu.
"A ... Aku ... enggak bisa nolak." Bree memberanikan diri mendongakkan wajah, menahan tangis karena ketakutan mendengar bentakan Kao tadi.
"Aku tak akan pernah bisa menikahimu Bree!" Kao jelas terlihat sangat frustasi saat menjelaskan situasinya. Berulang kali tangan itu mengepal kuat dan rahang Kao juga terlihat mengeras menahan amarah.
Semarah itukah Kao padanya? Bree pikir pertemuan pertamanya dengan Kao setelah sekian lama akan menjadi kenangan yang sangat manis untuk diingat nanti. Jika tidak bisa bertukar peluk, senyum juga sudah cukup. Nyatanya itu semua jauh dari yang ada di depannya sekarang ini.
"Aku udah bilang kalo aku enggak punya alasan untuk nolak permintaan bunda. Kenapa enggak kamu aja yang bilang ke bunda?!" TIDAK! Dalam hati Bree memohon agar Kao tidak mengajukan penolakan. Bundanya Kao merupakan satu-satunya harapan untuk Bree. Rasanya seperti mendapatkan hadiah yang begitu besar saat sebulan yang lalu bunda meminta untuk bertemu dengannya.
Wajah Kao terlihat memerah menahan marah. Ia tak habis pikir dengan Bree. Tujuh tahun lalu, wanita di depannya ini pergi begitu saja, lalu sekarang kembali seolah tak ada masalah apapun di antara mereka berdua.
Tidakkah Bree tahu seberapa besar luka yang ia tinggalkan saat memilih untuk mengakhiri hubungan mereka dulu?
Kao menghela nafasnya berat dan kembali membuang pandangannya ke sembarang arah, apapun asal matanya tak melihat Bree maka itu cukup. Melihat wajah itu hanya mengingatkannya pada mimpi buruk yang kerap datang dalam tidurnya, mimpi saat semua orang yang ia sayangi mulai berbalik dan menunjukan punggung mereka, begitu saja menjauhi Kao.
Kao akhirnya memilih duduk untuk meredakan sedikit amarahnya, semua ini mulai membuatnya pening bukan main. Ia harus mencari jalan keluar dari masalah yang ada, tidak mungkin Kao menikahi Bree seperti yang dimau bundanya. Cukup sudah kebodohan yang dulu dia lakukan.
Mata penuh amarah Kao tak sengaja bertatapan dengan mata sembab Bree, Kao segera membuang muka seakan Bree orang yang paling dibencinya saat ini. Atau memang Kao sedang sangat membenci Bree?
Tangisan itu, Kao sungguh membencinya.
Wajah tampan yang dulu menghiasi dunia Bree dengan segala perhatian dan kebaikannya kini tak lagi melihat ke arahnya dengan tatapan yang sama. Kao memang dingin, Bree akui itu, tetapi tak peduli betapa dingin Kao-nya dulu, Ia tak pernah membentak Bree. Membuang muka saja tidak pernah dilakukan dengan sengaja. Kao-nya ... masih bolehkah Bree menggunakan panggilan itu?
"Dengar! Aku tak peduli kesepakatan macam apa, atau janji yang bagaimana yang kau buat dengan Bundaku. Kuharap kita tak akan pernah bertemu lagi Bree. Setidaknya lakukan itu kalau kau masih punya malu." Kao mengucapkan kalimat terakhirnya seraya membuka pintu sekat dari ruangan yang mereka tempati sekarang.
Beberapa menit setelah Kao melangkahkan kakinya pergi, Bree masih terdiam menatap makanan yang tertata dengan rapi di meja. Kao tak menyentuh makanan itu sama sekali. Tadi begitu Kao memasuki ruangan dan sadar bahwa wanita yang bunda maksud adalah Bree, ia langsung terdiam kemudian meluapkan amarah kepada Bree dan selanjutnya pergi begitu saja.
Suara pesan masuk menyadarkan Bree dari lamunan.
Bunda Kao:
Gimana nak? Kao sudah sampai?
Sejenak Bree hanya menatap pesan masuk itu. Ia tak tahu harus menjawab apa kepada bunda. Haruskah ia bilang bahwa Kao sangat marah dan pergi begitu saja? Tidak, ia harus memberikan kabar baik-baik saja untuk bunda, membuat bunda khawatir bukan pilihan yang tepat
Aaliyah Bree :
Sudah bunda
Bunda Kao:
Bunda senang sekali
Bunda Kao:
Have fun ya nak, kapan-kapan bilang Kao untuk ajak kamu main ke rumah
Bree memutuskan untuk menyimpan semuanya sendiri. Bunda pasti sedih kalau tahu soal pertengkaran tadi. Sebulan lalu saat bunda mulai bertukar pesan dengan Bree, bunda berharap Bree bisa kembali bersama dengan Kao. Bunda bahkan ingin Bree dan Kao segera menikah.
Bree terkekeh miris, bunda sudah salah menebak. Kao tak menunggunya. Kalau memang benar Kao menunggunya, seharusnya dia terlihat senang saat bertemu Bree tadi, bukannya malah terlihat marah dan melontarkan berbagai kata menyakitkan.
Tujuh tahun lalu saat Bree meninggalkan Kao, dia pikir dirinya sudah melakukan yang terbaik. Ia tak menyangka akan bisa kembali ke samping Kao seperti sekarang ini. Yang Bree pikirkan saat itu hanya satu, Kao-nya tak boleh tahu soal masalah yang dia hadapi. Biar saja Kao menganggap dirinya wanita tak tahu diri hingga begitu saja meninggalkan Kao, asalkan Kao tak sedih maka Bree puas.
Nyatanya, sekuat apapun Bree membiarkan dirinya untuk dilukai kata-kata Kao, ternyata tetap saja menyakitkan. Hati Bree perih saat mengingat semua amarah yang Kao arahkan kepadanya, ia kira dirinya akan baik-baik saja setelah mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk.
Yang paling menyakitkan bukan hanya amarah, tetapi setitik kilatan sendu yang terpancar di balik mata Kao. Bree merasa gagal. Dia kembali melukai lelakinya.
***
Halo semuanya ^^ Not a goodbye ini cerita pertamaku yang akhirnya kuberanikan untuk post hahaha. Kemarin di take down untuk benerin tulisannya, semoga kalian suka. Jangan lupa tinggalin jejak ya -Fleur
Karya lain punyaku ada platform sebelah ya :))
KAMU SEDANG MEMBACA
Not a goodbye
RomanceSetelah bertahun-tahun menghilang, Bree muncul di hadapan Kao sebagai calon menantu yang dipilih bunda. Kemarahan Kao membuat Bree tak memiliki kesempatan untuk menjelaskan apapun tentang kepergiannya dulu. Lantas kisah seperti apakah yang akan terc...