Chapter 4: Keputusan Kao

28 1 0
                                    


"Wah cantik sekali Bree," sapa tante Fai ketika membukakan pintu. Bree membalas dengan memberikan senyum malu-malu dan menyerahkan buah tangan, menyalami tangan dari calon mertuanya itu.

Tante Fai tentu tidak tahu sudah berapa kali Bree berganti baju karena ingin memberikan kesan yang baik di depan calon mertuanya itu. Pilihan Bree jatuh pada rok rempel coklat dengan kerudung pasmina senada yang dipadu baju warna putih. Terlihat bersih dan sederhana.

"Wah kok repot-repot bawa kayak gini sih? Bunda yang mau kamu main sini. Ga usah repot-repot ya nak lain kali," tegur Tante Fai kala menerima buah tangan yang Bree bawa. Meski begitu raut wajahnya berseri penuh kebahagiaan saat sekeranjang buah dan juga kue kering yang dihias begitu cantik berpindah begitu saja ke tangannya.

"Enggak apa-apa kok tante, itu sekalian produk kolaborasi Bree yang waktu itu tante mau liat," jawab Bree meyakinkan bahwa ia sama sekali tidak direpotkan dengan semua ini.

Tante Fai menggiring Bree menuju dapur sembari memprotes panggilan Bree yang memanggilnya Tante. Wajah cantiknya yang tak lagi muda merengut, terlihat sangat keberatan. "Eh, kok panggilnya jadi tante gini? Biasanya juga dari dulu panggilnya bunda."

Bree bingung harus menjawab apa, beruntung disaat yang sama Kao terlihat sedang turun dari tangga dan mendengar protes bundanya itu. Dengan memberikan kode Bree berusaha meminta bantuan Kao untuk menjawab keberatan bunda, dengan hanya gerakan mulut tanpa suara Kao pun menginstruksi Bree untuk memanggil Bunda. Plin-plan sekali sih!

"I ... Iya Bun," ralat Bree cepat.

Suasana makan siang terasa begitu hangat, Kao bersikap jauh lebih ramah tidak seperti sebelumnya. Raut muka yang dipasang masih dingin, tetapi Bree cukup puas dengan ini. Sejauh ini belum ada bahasan serius yang diperbincangkan selama makan siang berlangsung.

Beberapa kali topik mengenai kabar mamah Bree yang memang salah satu kenalan bunda muncul dalam percakapan, Bree memilih jawaban yang aman dengan tersenyum dan mengatan bahwa semua baik-baik saja. Keadaan yang sebenarnya tak semanis itu, biar beberapa hal ia yang simpan sendiri.

"Jadi sekarang lagi sibuk apa Bree?" tanya ayah Kao, seolah mengerti bahwa Bree seperti kehabisan kata saat mencoba menjawab pertanyaan bunda.

"Sekarang lagi kerja sama dengan beberapa brand dan ngerjain design mereka yah, sama ada sedikit projek ilustrasi buku anak juga." Bree menjawab dengan senyum tipis yang tak bisa ia sembunyikan. Dia sangat suka pekerjaannya sekarang, ini bukan hanya tentang materi, tetapi pekerjaan ini bisa membuat Bree merasa penuh. Membuatnya sibuk dengan hal-hal yang membuatnya tersenyum dan bersemangat setiap harinya.

"Oh ya? Wahh boleh dong ayah liat hasil karya ilustrator keren satu ini." Bree begitu tersipu mendengar pujian dari ayah Kao ini. Keluarga Kao memang tipe keluarga harmonis yang sebagai seorang anak sering kali membuat Bree iri. Ayah bekerja untuk perusahaan BUMN, Kao sedari dulu tidak pernah kekurangan, tetapi bukan itu yang membuat Bree iri, keluarga Bree juga sama berkecukupannya. Ada hal lain ....

"Tadi Bree udah kasih bunda. Karakternya itu karya Bree, kerjasama sama brand kuenya."

"Iya, bunda sampai lupa. Ini nih keren banget lhoo yah," pamer bunda bangga, membuat hati Bree lagi-lagi menghangat.

Kao melirik ke arah toples kue kering yang bundanya pamerkan kepada ayah. Ternyata Bree benar-benar mengejar keinginannya dulu. Kao ingat sekali kalau dulu setiap ditanya Bree selalu menjawab ia akan menjadi seorang ilustrator suatu hari nanti.

"Aku mau jadi ilustrator, tapi nantinya juga bisa design hal-hal keren gitu. Pokoknya aku akan bisa lihat buku dengan gambar keren hasil karyaku di toko buku besar."

Jawaban itu membuat senyum tipis Kao terbit sebelum ia sadar dan segera merubah raut wajahnya kembali dingin seperti sebelumnya. Terlambat ... Bunda yang sedari tadi memperhatikan putra semata wayangnya langsung tersenyum menggoda.

"Ada apa ka? Senyum-senyum sendiri gitu."

Bree menoleh ke arah Kao, yang ia dapati hanya muka datarnya.

"Ekhmm, enggak ada apa-apa," jawab Kao berusaha menghindari kejahilan bundanya ini.

"Oh, bunda sampai lupa. Jadi gimana makan siang kalian waktu itu?" tanya bunda penuh harap. Mata penasaran bunda menunggu jawaban dari sepasang sosok yang menjadi tujuan utama diadakannya makan siang itu.

Bree jelas hanya bisa menundukan kepalanya, bingung bagaimana dia harus menanggapi pertanyaan bunda? Kao waktu itu pergi saat Bree bahkan belum menjelaskan apapun.

"Kao sama Bree memutuskan untuk menerima permintaan bunda, tante Risha juga sudah Kao kabari. Persiapan pernikahannya bisa segera dimulai." Suara Kao memecah keheningan yang tercipta. Apa katanya? Menikah? Bukankah kemarin Kao yang terlihat begitu membenci ide tersebut? Lalu bagaimana bisa Kao bilang bahwa mamah Bree ternyata sudah dikabari?

Bree menatap panik ke arah Kao,  seharusnya dia terlebih dahulu memberi tahu Bree, bukan malah langsung memberi tahu mamah.

"Ya ampun, bunda senang sekali kalau kalian akhirnya milih begitu." Yang selanjutnya terdengar adalah ucapan selamat bertubi-tubi dari bunda dan ayah.

"Bun ... Bree nya Kao pinjam dulu," sela Kao. Dia paham bahwa Bree harus diajak bicara untuk menyusun rencana mereka kedepannya. Bree terlihat begitu kebingungan. Padahal yang Kao katakan tadi sesuai keinginan wanita itu bukan?

"Ikut denganku." Ajakan Kao dibalas Bree dengan anggukan ragu. Protes tepat di depan bunda bukanlah hal bijak. Bunda pas tiakan sedih kalau Bree bersikap tidak sopan. Juga, untuk mendapatkan jawaban dari keterkejutannya Bree memilih membuntuti Kao yang berjalan lebih dulu ke arah taman belakang.

Bersambung~

***

Fleur's note:

NAH LHO! Kesel tapi tetep aja mau, Kao kamu waras?

Not a goodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang