BAB 6

3 2 0
                                    


"Justru itu bagus."



Aku menatap pelayan itu lekat-lekat. Kedua bola mataku bagai mau mencelat dari rongganya. Dia memang selalu mengenakan masker sehingga tidak ada orang yang mengenali wajahnya. Tapi aku benar-benar yakin bahwa dia adalah Arlon, teman sebangkuku di sekolah yang terkenal jenius, dingin, dan anti sosial.

Mungkin aku tidak akan terkejut bila melihatnya magang di sebuah laboratorium, mengenakan jas putih seperti yang biasa dikenakan para dokter. Tapi lihat apa yang terjadi di sini! Kasir toko kue? Sungguh? Aku bahkan sulit mempercayai apa yang kulihat dengan mataku sendiri.

Selain itu..


Wajahnya benar-benar tampan seperti malaikat! Aku heran mengapa selama ini ia mengenakan masker jelek untuk menutupi wajah setampan itu. Banyak rumor beredar, alasan Arlon memakai masker setiap saat adalah karena ia memiliki luka bakar yang sangat parah di wajahnya.


Luka bakar apanya?!! Itu adalah wajah paling sempurna yang pernah kulihat.

Aku menepuk-nepuk pipiku yang memerah. Sepertinya aku terlalu banyak memujinya.


Ia tersenyum ramah pada setiap pelanggan yang ia layani. Benar-benar sulit dipercaya. Arlon yang di sini sungguh berkebalikan 180° dari Arlon yang kukenal di sekolah. Aku mulai curiga jika Arlon adalah seorang bipolar. Kau tahu? Seseorang dengan kepribadian ganda.


. . .


Aku tidak jadi mengembalikan spidol itu kemarin. Rasanya tidak enak jika aku mengganggu jam kerjanya hanya untuk mengembalikan barang yang seharusnya bisa kukembalikan saat bertemu lagi di sekolah. Lagipula ia pasti berpikir aneh saat mengetahui aku menguntitnya dari sekolah hingga ke toko kue itu.

Saat ini aku sedang duduk di kelas. Menunggu Arlon datang dan segera mengembalikan spidol miliknya. Tak hanya itu. Aku juga ingin bertanya tentang pekerjaannya menjadi kasir di toko kue itu. Namun tidak mungkin secara terang-terangan bukan?

Akhirnya dia datang juga. 'Manusia buntal hoodie' dengan sorot mata datar. Ia meletakkan tas di samping meja, menarik kursi lalu segera duduk dan menyandarkan kepala di meja.


"Hey." panggilku.


Ia langsung menyodorkan tangannya tanpa melihat wajahku.


Aku mengernyitkan dahi. Apa maksudnya?


Setelah sekian detik tangannya yang tersodor itu tidak kutanggapi, ia sedikit mengangkat kepala lalu menoleh menatapku.

"Jadi tidak?" tanyanya agak kesal.


"Apa?" tanyaku masih tidak mengerti.


Ia menghela nafas. Lalu bertanya,
"Untuk apa tadi kau memanggilku?"


Aku terdiam sejenak sambil berpikir keras.


"Oh!" otakku serasa habis dipentung.


"Ini," ucapku sembari menyerahkan benda yang sedari tadi kugenggam, "—spidolmu."

What's Behind the HoodieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang