Empat; Manis
Sejak kecil, Satya itu selalu mendapat kasih sayang yang kelewat banyak dari sekitar. Keluarga, saudara, teman-temannya, selalu saja memberikan bahagia untuk Satya. Satya dianggap paling sempurna, tidak memiliki celah kekurangan dalam dirinya. Satya kecil tidak pernah berhenti disanjung, diberikan pujian.
Hampir seluruh orang di sekitar Satya lupa, bahwa tidak satu pun di dunia ini yang benar sempurna. Bahwa tidak satu pun di dunia ini diciptakan tanpa adanya kurang. Satya kecil yang awalnya tumbuh penuh cinta, mulai dituntut dengan standar yang mereka cipta.
Mau setampan apapun, sebaik apapun dirinya, cemooh itu tetap dilemparkan ketika kabar itu mulai menyebar dengan cepat. Satya yang awalnya hampir tidak pernah berteman dengan benci, perlahan membiasakan diri dengan sakit yang memenuhi dirinya. Satya dibenci, dimaki, dilempari kalimat basi yang menyuruhnya kembali.
Kembali kemana? Satya sejak awal tidak pernah beranjak, tidak pernah berubah. Masa remaja yang awalnya tenang, hilang begitu saja saat teman-temannya mulai menyebarkan fakta bahwa Satya tidak normal. Satya bukan laki-laki normal.
Satya pikir, makian itu tidak akan bertahan lama, sakitnya juga ia rasa bisa ia tahan. Tapi ternyata tidak. Fakta bahwa Jake adalah kekasihnya saat itu, tidak bisa membuatnya dimaafkan. Satya semakin ditekan, semakin dilempari makian.
Hal terburuk bagi Satya, ketika keluarganya tau semua. Semua orang marah besar, kejadian yang tidak akan bisa Satya lupakan. Tidak ada satu pun yang peduli dengan perasaannya. Tak satu pun keluarga yang mengerti inginnya, mengerti hatinya. Padahal, Satya juga masih manusia. Ucapan yang kelewat kasar itu membuat hati Satya makin mengeras, memberi bekas.
Direndahkan, dikucilkan, justru tidak membuat Satya ingin merubah dirinya. Satya semakin berontak, merasa ingin bebas dari kurung yang semesta berikan. Cacian yang didapatkan, diam-diam membuat Satya ingin pergi ke tempat dimana ia bisa diterima sepenuhnya. Makian, tidak membuat Satya ingin berubah, tapi membuat Satya ingin mencari orang dan tempat yang mau menerima kurangnya.
Satya, juga ingin dihargai sebagai manusia.
"Hei," sapa Hesa dengan senyum manis setelah melihat Satya membuka pintu untuknya.
Satya ingin memberitahu dunia harapnya. Semoga saja, Hesa bisa melakukannya.
Satya dengan cepat mendapatkan kesadarannya kembali. Tersenyum senang, membukakan pintu lebih lebar dan menarik Hesa untuk masuk ke dalam apartemennya.
"Ini banyak banget, beli apa aja si Kak?" tanyanya sembari membuka bungkusan yang Hesa bawa tadi.
"Kak, ini ngapain beli banyak banget deh, gaada yang makan nanti." ocehnya sambil menyusun makanan dan minuman di atas meja.
Satya yang sejak tadi duduk di karpet, mendongakkan kepalanya, menatap Hesa yang dengan tenang menonton serial televisi.
Hesa menoleh sekilas, lalu mengalihkan pandangan ke arah televisi lagi."Kenapa? Nanti taroh di kulkas aja kan bisa, sayang." ucapnya dengan satu tangan menepuk pelan kepala Satya.
"Apa si nama gue tuh Satya?!" protesnya.
"Galak banget." ucap Hesa sambil mencubit pipi Satya.
Satya mengerucutkan bibirnya, namun beberapa detik kemudian tersenyum lagi.
"Thank you..."Hesa beralih menatap Satya, mengacak rambut Satya pelan. "Iyaaa, sama sama. Kenapa kayak gitu si mukanya?"
"Seneng aja, stok makanan jadi banyak gara-gara Kakak." Satya mengedikkan bahunya.

YOU ARE READING
serein
Storie d'amoreHesa itu batu. Mau sebanyak apapun yang menentang, dia tidak akan kabur. Hesa itu satu, tapi kuatnya, bisa mengalahkan ribuan jiwa yang menuntut mundur. . Satya. Pemuda lembut yang akan menangis sekali saja kau robek. Jiwanya lemah, akan mundur beg...