35. Aku Harus Apa?

730 30 4
                                    

Sudah hampir tiga hari aku dan Langit tidak saling menghubungi baik secara langsung atau lewat pesan. Ucapan Dea beberapa hari lalu juga terus berputar di pikiranku, sedikit demi sedikit aku juga berpikir apa yang selama ini terjadi antara aku dan Langit. Ini bukan hanya sekadar persahabatan antara lelaki dan perempuan, aku rasa tidak hanya sebatas itu hubunganku dan Langit atau hanya perasaanku. Memasuki hari ketiga tanpa bertukar pesan dengan Langit membuat ponselku sedikit hampa, beberapa kali aku cek notifikasi ponsel tetapi tak juga ada pesan darinya.

Hari ini menjadi hari kedua simulasi ujian, minggu depan sudah memasuki ujian sekolah dan selanjutnya adalah ujian nasional sebagai ujian terakhir juga menjadi penentu untuk masuk ke jenjang selanjutnya. Aku dapat sesi pertama hari ini, lima kelas awal mendapatkan sesi pertama dan empat kelas sisanya mendapatkan sesi kedua. Selama simulasi ujian seluruh murid kelas VII dan VIII berada di rumah, namun rasanya tetap ramai. Sebab beberapa murid yang kedapatan sesi kedua juga tetap datang pagi.

Aku berjalan sendirian di koridor lantai satu dari kantin menuju tangga untuk ke ruangan ujian. Sebelum tangga aku melewati UKS, aku melirik ke dalam karena kebetulan pintunya sedikit terbuka dan terdengar suara yang lumayan ramai dari arah dalam. Begitu melihat apa yang ada di dalam UKS, hatiku berdenyut nyeri sampai aku menghentikan langkahku. Aku melihat Langit yang sedang duduk berdua di atas kasur UKS bersama Nadia dan di dalam sana ada beberapa anak OSIS lainnya. Mereka mengobrol, melihat satu sama lain. Bahkan aku dan Langit tidak pernah sedekat itu.

Tanganku memegang tembok agar menjaga keseimbanganku, kenapa rasanya begitu sakit? Sakit karena aku tidak rela melihat Langit bersama Nadia atau karena beberapa hari ini Langit tidak lagi menghubungiku, jangan-jangan justru keduanya. Aku melanjutkan langkahku ke atas, tetapi sepertinya jiwaku tertinggal di depan UKS.

"Rani!" panggil Shila.

Aku menghentikan langkahku dan menoleh ke belakang, lalu Shila menghampiriku.

"Ayo, gue mau bareng aja. Kita seruangan."

"Oh, ayo. Besok kita sesi kedua ya?"

"Iya, Bu Idah tadi bilang sih pas gue ketemu, katanya kalau mau datang lebih awal juga gak apa-apa."

"Paling yang rumahnya jauh," balasku.

"Rumah lo kan deket, kalau rame datang aja, Ran," ajak Shila.

Aku dan Shila jalan beriringan, sesekali mengobrol tentang ujian hari ini. Aku berusaha menepis pikiran mengenai apa yang aku lihat tadi, aku masih belum sanggup jika harus memikirkan berbagai kemungkinan buruk yang akan terjadi. Melihat Shila membuatku sadar kalau semesta memang tidak terduga, seseorang yang pernah bersama Langit, kini sedang bersamaku. Niatku sejak awal memang bukan menghindarinya, tetapi tidak juga harus bersama bahkan sampai sekelas dengannya.

***

Begitu ujian selesai aku buru-buru pulang ke rumah. Hari ini begitu panas padahal baru pukul 11.00, tetapi rasanya aku bisa menguap jika berlama-lama di luar ruangan. Aku merebahkan tubuhku di atas kasur yang dingin karena tidak ditiduri, rasanya sangat nyaman. Begitu memejamkan mata, bayangan Langit dan Nadia tadi di UKS langsung muncul. Mataku langsung terbuka, mencoba mengalihkan pikiran dan membuka ponselku. Tanpa sadar ada pesan masuk yang belum aku baca.

Langit : Ran

Aku mendengus, niatnya aku ingin mengabaikannya tetapi sayang jemariku sudah mengetik untuk membalasnya.

Rani : kenapa?

Rani : masih inget?

Langit : yakali gue ninggalin tempat paling nyaman

Tubuhku seketika terpaku melihat pesan dari Langit, selain karena balasannya yang cepat tetapi juga karena isinya. Aku mencerna kalimatnya, mataku mengerjap beberapa kali. Ini bukan bunga tidurku, ini benar-benar pesan dari Langit.

Rani : kenapa?

Kalau Langit tahu dibalik pesan yang aku balas ada kupu-kupu di perutku yang muncul, sangat menggelitik. Rasa sakit di hatiku langsung pulih begitu saja, hanya karena satu pesan masuk dari Langit. Sejak kapan aku jadi selemah ini dengan pendirianku? Aku memijat pelan kepalaku, tak habis pikir dengan diriku sendiri.

Langit : lo gak chat gue

"Malah harusnya gak gue bales chat lo, Lang. Tapi gak bisa," ucapku sendiri.

Rani : lo sibuk kan?

Langit : ngga juga ah

Rani : lo lanjut kemana nanti lulus?

Sebenarnya sudah lama aku ingin bertanya pada Langit tentang rencana jenjang yang akan ditempuh selanjutnya, tetapi aku suka lupa karena terlalu banyak hal tidak penting yang dibahas.

Langit : SMK sih, lo SMA ya?

Rani : iyaa, klo bisa bahasa gue mau tp jarang sih

Langit : SMK aja, nanti satu sekolah lagi gue yg anter jemput

Aku berusaha menepis perasaan senangku, kalau begini terus rasanya aku semakin tidak rela jika pisah sekolah. Tawarannya begitu menggiurkan, sekaligus membuat jantungku rasanya mau copot.

Rani : yaudah lo yg SMA

Langit : malah nawar, gak

Rani : ya kan siapa tau lo mau gituu

Rani : berarti nanti pas wisuda sm perpisahan, kita foto ya

Aku meletakkan ponselku di atas nakas, membereskan tasku ke tempatnya dan mengganti pakaian. Seharian ini begitu banyak perasaan yang menghampiriku, dari luka sampai jatuh cinta. Aku heran, rasanya setiap hari aku jatuh cinta pada Langit karena hal yang baru aku ketahui atau sekadar sikapnya yang tiba-tiba manis. Bukannya aku menghindar dari sikapnya yang bisa dibilang cukup manis untuk ukuran seorang sahabat, aku hanya berusaha mempertahankan kondisi hubunganku dengan Langit. Aku tidak mau merusaknya apalagi membuatnya menjauh dariku, tetapi jika terus-menerus aku melihat pemandangan seperti tadi pagi. Jujur saja aku tidak sanggup, lalu aku harus apa dengan perasaan dan persahabatan ini?

***

gimana ceritanya? aku harap kalian gak bosen ya ketemu Langit huhu takut bgt aku. anyway have a great day all! <3

jangan lupa follow Instagram
kalahujann
sivauliaa

Langit dan Hujan [sudah terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang