Hari ini sangat melelahkan, saat olahraga di sekolah sedang mengambil nilai bola besar cabang voli. Aku lumayan jago soal voli, meski malamnya tanganku langsung pegal-pegal dan masih memerah bekas passing bawah. Ya, tapi tak apa, karena itu impas dengan nilaiku yang diatas KKM.
Selesai mandi, aku duduk di ujung kasur dan memegang ponsel untuk membalas pesan Langit. Ah, dengan dia memang tidak ada ujungnya.
Langit : gini-gini dekel banyak ngefans sama gue
Rani : lah amit-amit gue Lang
Langit : keknya gue mau putus dah
Rani : kenapa anjir?
Langit : ga cocok lah
Padahal menurutku hubungan Langit dan kak Nesya sudah cukup lama, bahkan lebih lama dari hubungan Langit bersama Shila sebelumnya.
Rani : lo yakin?
Langit : iyalah, masa gue boongan
Rani : ya terserah lo
Langit : lo mau tau gak gue mutusin Shila gimana?
Langit : gue bilang "aku bisa sulap dong"
Langit : dia jwb "apaa?"
Langit : "mulai hari ini lo jomblo, bye"
Netraku membulat, menggeleng tidak percaya dengan kelakuan Langit yang benar-benar abstrak. Bisa-bisanya dia memutuskan secara sepihak dengan cara seperti itu. Bagaimana Fahri tidak menghabisinya? Astaga, aku tidak habis pikir.
Rani : lo gila apa? jahat bangett
Langit : iya gue emang brengsek
Rani : lah ngaku
Langit : kenyataan
Benar juga, ia mengakui dirinya sendiri. Kenapa di mataku justru sangat menggemaskan? Langit jangan membuat jantungku ini memompa lebih cepat. Semesta, tolong aku.
Rani : bagus kalo nyadar
Langit : ya gue emang brengsek, Ran
Rani : iya, gausah diulang-ulang
Meski ada sedikit rasa lega karena keputusannya, aku tetap tidak tega dengan pilihan ia untuk mengakhiri hubungannya. Tapi mau bagaimana lagi jika itu adalah keputusan Langit.
***
Pagi ini matahari telah menyapa, sinarnya telah memenuhi setengah lapangan juga berhasil masuk ke celah-celah jendela kelas. Aku menaruh kepala di atas meja, wajahku suntuk padahal semalam aku tidur tepat waktu. Pikiranku terus melayang-layang bebas memikirkan Langit juga nasib hubungannya.
"Rani!" panggil Hana dengan langkah tergesa-gesa.
Dengan malas aku angkat kepala dari atas meja dan menatap ke arah Hana.
"Lo harus tau si Ian udah putus sama kak Nesya."
Wajahku yang tadinya lesu langsung melotot tidak percaya. Langit tidak main-main dengan omongannya semalam.
Hana yang melihat ekspresi wajahku terlihat bingung, "gue kira lo tau duluan."
Aku menggeleng pelan.
"Akhirnya lo punya kesempatan, Ran," ucap Hana sambil mengelus pelan pundakku.
"Gila apa lo, gak gitu juga."
"Lah, kenapa?"
"Ya gue gak siap aja, lagian gue gak mau pacaran."
"Halah, bullshit."
Aku jadi memikirkan bagaimana nasib kak Nesya dan yang pasti cara Langit memutuskan hubungannya. Semoga saja tidak seperti dia memutuskan hubungannya dengan Shila. Langit itu sangat sulit ditebak, sok misterius. Tapi itu justru menjadi daya tarik tersendiri untukku.
"Ran, mau gak?" Ratih datang dan menyodorkan sebotol kopi dalam kemasan.
Astaga, ini yang aku tunggu!
"Yay, makasih Ratih," seruku sambil menerima botol tersebut. "Tumen, Tih."
"Kan itu pake duit lo yang kemaren gue pinjem," jawabnya dengan cengiran.
Kesenanganku sirna, aku pikir dia yang membelikan untukku.
"Ke bawah yuk," ajak Hana menarik tanganku dan Ratih.
"Ngapain?" ucap Ratih sambil melepas tangan Hana.
"Kantin lah."
Ratih hanya mengangguk dan segera menarik tanganku, langkahku saja sudah tertinggal dengan mereka berdua. Ah, malas.
Saat menuruni anak tangga dan berjalan sedikit, Langit tiba-tiba saja muncul di hadapanku. Ia berlari dari arah lapangan dengan senyum yang girang menghampiri temannya. Seperti tidak terjadi apa-apa padanya. Lalu seketika jantungku berdebar karena keberadaannya yang tak jauh di depanku.
"Kalo lo gak percaya mending tanya langsung," bisik Hana.
Aku masih diam belum menanggapi ucapan Hana, aku terlalu pengecut untuk ini. Hana dan Ratih sengaja menjauh dariku yang secara tidak langsung menyuruhku untuk bertanya kepada Langit.
Aku menghela napas panjang, dengan siap aku langkahkan kakiku mendekat ke arah Langit.
"Lang," panggilku dengan suara pelan. Langit dan temannya yang ada di depanku menoleh ke arahku.
"Sini dulu napa, gue mau ngomong."
Langit memisahkan diri dari temannya, wajahnya terlihat datar dan tidak tertarik dengan apa yang akan aku bicarakan.
"Lo beneran soal semalam?" tanyaku.
"Soal apaan?"
"Lo putus."
"Iya."
Sebuah jawaban yang singkat dan menjawab semua pertanyaan yang bermunculan dalam otakku. Aku menggenggam erat sebotol kopi yang Ratih beri dan ternyata itu sudah diperhatikan Langit sejak tadi.
"Lo minum kopi?" Langit mengarahkan pandangannya pada tanganku.
"Iya, tadi di kasih sama Ratih."
"Oh," ucapnya sambil manggut-manggut. "Jangan sering-sering, gak baik buat kesehatan."
"Iya elah, santai. Yaudah gue mau ke Hana sama Ratih dulu." Tubuhku berbalik dan saat aku mulai melangkah.
"Eh, Ran."
Langkahku berhenti dan berbalik ke posisi sebelumnya, menatap tepat di netranya. Teduh sekali, seperti sedang di bawah pepohonan rindang dan ditemani semilir angin.
"Besok bantuin gue, biasalah tabus."
"Oh, oke. Pulang sekolah ya."
Langit mengangguk dan aku berbalik menghampiri Hana dan Ratih yang sudah di depan kantin.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit dan Hujan [sudah terbit]
Novela JuvenilSUDAH TERBIT, PEMESANAN BISA HUBUNGI PENULIS/PENERBIT DULU DAN PART AKHIR SUDAH DI UNPUBLISH "Ini bukan tentang proses terjadinya hujan atau tentang apa yang terjadi di langit. Ini hanya cerita tentang dua anak yang baru saja beranjak remaja." Jang...