Kelas VIII ini memang banyak sekali adu futsal saat pulang sekolah, entah di lapangan yang disediakan di sekolah atau menyewa lapangan. Bayarannya tidak terlalu mahal, karena biasanya para pemain akan patungan. Justru dari situ bisa menambah keakraban. Hari ini kelasku sepulang sekolah juga adu futsal dengan kelas VIII-2, banyak yang bilang kelas itu jagonya sih.
"Ran, nanti ikut, kan?" tanya Hana.
"Yaelah gak ada kita gak ada yang beli minum," seloroh Fani. Tapi ada benarnya, kasihan juga kalau mereka sudah capek untuk futsal tapi gak ada yang nonton.
"Iya ya," jawabku.
Aku dengar juga saat tadi istirahat kelas Langit juga futsal hari ini, tapi aku tidak tahu jam berapa kelasnya akan main. Semoga saja bisa bertemu, padahal aku masih bertukar pesan dengannya, hanya saja aku lupa untuk memastikan apa benar hari ini kelasnya akan futsal. Karena kemungkinan besar dia akan datang.
"Kelasnya si Rara kan hari ini futsal," ucap Hana.
"Siapa tau lo mau ketemu Langit," sahut Ratih.
Aku hanya memutar bola mata, ya memang mau, tapi rasa gengsi selalu bisa mengalahkan segalanya.
Aku, Ratih, Hana, dan Fani sepulang sekolah langsung saja ke lapangan futsal, tempat teman-temanku yang lain adu futsal. Sampainya di sana, benar kata Hana, kelas Langit sedang futsal juga dan ada Langit di sana. Tatapanku langsung mencari keberadaan Langit, aku menyipitkan mata. Ketemu! Langit tengah berlari-larian di tengah lapangan dengan napas yang terengah-engah.
"Lapangan kelas kita di sana," ucap Fani.
Aku hanya mengikuti langkah teman-temanku dengan tatapan yang masih melekat ke lapangan di sebelah. Ingin sekali aku menetap di lapangan itu, tak perlu menghampiri teman-teman kelasku yang sedang futsal.
Fokusku kini tidak lagi pada kelasku, melainkan kelas Langit. Melihatnya tertawa atau berlarian ke sana ke mari mengejar bola. Sangat menyenangkan. Juga jarang sekali aku melihatnya berbalut kaos dan celana pendek itu, kan, kalau di sekolah aku hanya bisa melihatnya memakai seragam sekolah atau seragam paskibra.
"Ran, beli minum sana," ucap Fani.
"Iya tuh sama Ratih atau gak sama gue," balas Hana.
Sebenarnya aku paling malas sekali harus keluar dari area lapangan ini, apalagi harus ke luar.
"Sama gue aja deh," kata Hana.
"Yaudah mana duitnya?" tanyaku.
Fani dan Ratih mengeluarkan beberapa lembar uang, lalu memberikannya padaku. Dengan langkah yang malas aku dan Hana keluar dari pinggir lapangan tempat para suporter. Jaraknya dari lapangan ke tempat untuk membeli minum memang tidak terlalu jauh, tapi bayangkan jika harus melewati para gerombolan lelaki yang berlalu lalang, ada yang sudah selesai bermain dan ada yang baru saja datang.
Juga aku harus melewati lapangan di mana Langit sedang main di sana. Pandanganku seketika menuju ke sana selama mataku masih bisa memandangnya, padahal Hana sedang mengajakku bicara tapi aku hanya menganggukkan kepala sebagai balasannya.
Sesampainya di sana, Hana langsung membeli dua botol air mineral berukuran besar dan membuka lemari es yang tak jauh darinya, lalu mengambil satu botol air mineral dingin.
"Gue mau beli minum juga deh," ucap Hana sembari mengambil sebotol minuman dingin. Terlihat menggoda, aku memutuskan untuk membeli satu botol air dingin.
Hana membayar semua minuman dengan uang yang Fani dan Ratih berikan, juga uangku dan Hana. Aku dan Hana masing-masing memegang satu botol minuman berukuran besar untuk teman-temanku yang bermain futsal.
Sambil memegang minumanku, aku dan Hana kembali berjalan melewati lapangan di mana kelas Langit ternyata sudah selesai terlebih dahulu. Aku lihat Langit sedang duduk sambil mengipaskan tangannya, ia melirikku.
"Rani!"
Aku dan Hana menoleh ke sumber suara, yaitu Langit.
"Bagi air dong," ucapnya.
Aku menatapnya datar, "dih, beli sendiri."
"Itu beli banyak." Langit menunjuk botol mineral besar yang aku bawa.
"Nih, minum punya gue aja, ini buat kelas gue," ucapku dengan menyodorkan botol punyaku.
Dengan senyum sumringah dia ambil botol itu dari tanganku, aku lihat keringatnya bercucuran dan napas yang masih terengah-engah.
"Ayo, Ran!" panggil Hana.
Aku kembali berjalan meninggalkan Langit, Hana menatapku penuh curiga. Tatapannya seperti bicara, "lo harus cerita!"
Kurang lebih begitu aku melihat tatapannya. Tapi soal Langit tadi, astaga, aku senang bukan main dia memanggil namaku. Sangat sederhana sekali, tapi berhasil membuat jantungku berdegup lebih cepat. Rasanya aliran darah mengalir dengan cepat, menyebalkan, hanya dipanggil begitu saja rasanya begitu membahagiakan.
Tapi sebenarnya aku agak sedikit menyesal memberi minum itu, soalnya aku belum sempat meminumnya. Jadi, aku meminta minum Hana. Jangan seperti aku, ya. Karena gugup aku jadi lupa apa yang aku lakukan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit dan Hujan [sudah terbit]
Teen FictionSUDAH TERBIT, PEMESANAN BISA HUBUNGI PENULIS/PENERBIT DULU DAN PART AKHIR SUDAH DI UNPUBLISH "Ini bukan tentang proses terjadinya hujan atau tentang apa yang terjadi di langit. Ini hanya cerita tentang dua anak yang baru saja beranjak remaja." Jang...