Semuanya perlu awal bukan? Terlebih lagi dalam sebuah cerita. Aku dan Langit pun sama, kami punya awal. Jangan berharap jika pada awalnya Langit yang mencari tahu tentangku, jika kalian berpikir seperti itu. Kalian salah.
Jakarta, 17 Agustus
Hari baru segera dimulai, aku baru memasuki sekolah menengah pertama di salah satu kota yang padat di Indonesia. Bertepatan dengan hari kemerdekaan, sekolahku hari ini hanya diisi dengan upacara dan perlombaan yang biasa dilakukan saat hari kemerdekaan.
Sangat ramai.
Semua murid yang ada di sekolah turun ke lapangan, setiap tangga ditutup dan diawasi oleh para kakak kelas anggota OSIS. Aku dan Bella, teman sekelasku hanya berdiri di koridor, menatap ke lapangan yang dipenuhi peserta lomba. Tepat di pinggir lapangan, para pendukung tengah berteriak untuk memberi semangat.
Bagiku dan Bella ini hanya membuang waktu, terlebih lagi kita berdua tidak mengikuti lomba. Juga tidak ada yang menarik.
"Kalo kaya gini mending pulang," gerutu Bella.
Aku hanya mengangguk setuju. Seluruh penjuru sekolah sangat ramai, kecuali ruang kelas. Para siswa diwajibkan untuk turun ke lantai satu bagi peserta lomba ataupun yang hanya sekadar pemberi semangat.
"Panas banget, Ran. Untung kita gak ikut lomba, bisa kebakar kali kulit gue." Bella mengibaskan tangan, berharap kalau itu akan membuat sedikit rasa sejuk.
"Ke depan tata usaha aja yuk, tambah rame di sini." Aku menarik Bella dari pinggir lapangan.
"Ish, dari sini gak bisa liat kakak-kakak manis tau," racau Bella. Meski baru menduduki sekolah menengah pertama, jujur saja, banyak sekali kakak kelas yang ganteng atau aku lebih suka menyebut mereka manis. Biasanya kalau manis itu tidak bosan untuk dipandang.
"Ye lu mah kakel terus, rame tau nanti desek-desekan."
"Ya bisa sekalian modus kan lumayan, ah gak ngerti lu mah," ejek Bella sedikit mencolek lenganku.
Aku menengok ke kanan dan ke kiri, entah untuk apa. Hanya iseng namun berhadiah. Tiba-tiba saja netraku tertuju pada seorang lelaki dengan kulit kuning langsat dan bermata agak sipit.
"Ran." Bella menepuk pundakku. "Liat apa sih? Kakak ganteng?"
Aku seketika buyar, "apaan sih? Nggak."
Aku kembali menengok ke arah lelaki tersebut dan dia sudah menghilang. Sepertinya ada hal yang menarik dari dirinya hingga membuatku penasaran. Aku harus mencari tahu tentangnya, segalanya. Dan dimulai dari, namanya.
"Ran, ayo ke atas. Tangga udah dibuka." Bella menarik tanganku untuk bergegas ke atas.
Namanya siapa?
Akan seperti apa jika aku mengenalnya?
Pertanyaan itu seketika muncul saat Bela tengah menarik tanganku. Sepertinya lelaki itu berhasil membuatku penasaran, padahal baru saja menemuinya.
Aneh ya?
Tapi aku harap ini bukan jatuh cinta pada pandangan pertama. Karena takutnya akan berakhir menyakitkan, walau aku tahu akan ada yang menyakitkan pada setiap hati yang mulai berani jatuh.
"Tadi lo liatin siapa deh, Ran?" tanya Bella yang berjalan di depanku.
"Cowok dan itu bukan kakak kelas."
"Widih, seangkatan kita? Siapa namanya?" tanya Bella antusias.
"Bell, baru juga gue ngeliat dia masa udah tau namanya." Aku menggeleng tak habis pikir.
"Ya, kan ada badge nama, Ran. Norak dah."
"Tapi tadi gak keliatan," ucapku sambil mengintip kelas yang aku lewati dan tanpa sengaja aku melihat, dia! Lelaki tadi! Dengan sigap aku tarik Bela.
"Bel, itu dia!"
Bella mengikuti arah mataku memandang. "Dia sekelas sama temen gue."
Aku melotot kaget, "Bel, kenalin ke gue," ucapku sambil mencengkram tangan Bella.
"Iya, ya ampun, Ran. Jangan kaya gitu, tangan gue sakit," dengus Bella yang melepas tanganku dari tangannya.
"Nanti gue kasih kontak dia ke lo, tapi lo sendiri yang minta kontak tuh cowok."
Aku tersenyum sumringah, sepertinya hari baik akan segera datang padaku.
***
Sesampainya aku di rumah, langsung saja aku kirim pesan untuk Bella agar dia segera mengirimkan kontak temannya kepadaku. Ah, ada apa aku ini? Kenapa bisa sebegitu penasaran pada orang baru?
Rani : Bel, mana?
Bella : Ya, sabar gue baru pulang
Bella : send a contact
Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, apa sih aku ini. Agak berlebihan memang.
Nama dari teman Bella adalah Fahri. Kata Bella, Fahri adalah teman sekelas dari lelaki yang membuat makanku mulai tak lahap. Berlebihan, ya?
Dengan cepat aku menambahkan Fahri dalam daftar kontak, aku agak sedikit tidak sabar.
Rani : hai
Belum ada jawaban dan aku tetap menunggu.
Ting!
Dengan sigap aku melihat notifikasi, benar sesuai dugaanku. Itu dari Fahri.
Fahri : gausah formal, biasa aja kali wkwk
Rani : lo kelas VII-2 ya?
Fahri : pasti lo mau nanya Ian
Rani : Ian siapa?
Fahri : td Bella udah cerita
Rani : iya hehe, minta kontaknya dong
Rani : namanya Langit?
Fahri : iye
Fahri : send a contact
Rani : MAKASIH!!
Tanpa apa-apa lagi aku segera menambahkan sebagai teman dalam kontakku. Semoga dia menerimanya!
Perlu kalian ketahui, pada saat itu aku baru memakai BBM kepanjangan blackberry messenger dan memang sedang populer saat itu.
Dan sepertinya itu juga menjadi sebuah awal dari kisahku dengan Langit yang hingga saat ini aku tak tahu akan berujung seperti apa.
***
oke, selamat menikmati malam minggu! semoga menyenangkan dan tidak membosankan saat membaca ini. Gimana menurut kalian Langit dan Rani?
Jangan lupa vote dan comment ya! Terima kasih <33
info selengkapnya cek :
Instagram : kalahujann / sivauliaa
LINE@ : @qxa0509s
Trakteer : sivauliaa
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit dan Hujan [sudah terbit]
Fiksi RemajaSUDAH TERBIT, PEMESANAN BISA HUBUNGI PENULIS/PENERBIT DULU DAN PART AKHIR SUDAH DI UNPUBLISH "Ini bukan tentang proses terjadinya hujan atau tentang apa yang terjadi di langit. Ini hanya cerita tentang dua anak yang baru saja beranjak remaja." Jang...