31. Bersamanya

505 41 5
                                    

Setelah kemarin aku mendengar dari Lisa tentang Langit dan Luna, memang menyesakkan dada begitu mengetahuinya. Namun aku pikir-pikir lagi, hubungan persahabatan ini jauh lebih penting. Setidaknya aku dan Langit tetap dekat, meski sejauh ini hubunganku dengan Langit lebih sering berinteraksi lewat pesan, kalau secara langsung justru aku dan dia masih saja canggung. Hampir setiap hari aku dan Langit bertukar pesan membuat aku semakin mengetahui sisi lain dari dirinya. Dan bagian buruknya adalah aku mengetahui hubungannya dengan perempuan yang sedang didekatinya, namun di sini "peran" yang aku dapat adalah teman yang mendukung bukan sebagai perempuan yang ternyata masih menyukainya tanpa bisa menemukan alasannya. Pikiran dan hatiku masih memilih untuk tetap berteman, meskipun perasaanku masih terus tertuju padanya.

Memikirkan Langit saja membuatku sedikit jenuh, rencananya siang ini aku ingin pergi ke toko buku. Melihat buku komik Miiko yang biasa aku baca sudah rilis volume terbaru atau hanya sekadar melihat-lihat buku, yang pasti aku ingin keluar rumah. Setelah izin dengan Ibu dan bang Reno, aku mempersiapkan baju dan tas yang akan aku pakai sambil menunggu agak siang untuk berangkat.

Langit : tabus gue udh mau kelar dong

Rani : bagus lah

Rani : btw gue mau ke toko buku dong

Langit : lah gue juga mau nonton sama Luna siangan nanti

Langit : ramean sih

Langit : di One Bell kan?

Aku membulatkan mata terkejut, bukan terkejut karena tiba-tiba dia bersama Luna tapi karena waktu dan tempat yang akan aku tuju dan Langit kebetulan sama. Aku meringis, jangan sampai di sana nanti aku justru bertemu dengan mereka.

Rani : lo jangan ke toko buku ya

Rani : gue gak mau ketemu lo apalagi temen Luna

Langit : lah kenapa? gue mau ke toko buku

Perasaanku yang tadinya senang justru kesal karena Langit, dia sepertinya benar-benar sedang meledekku. Ternyata aku yang memberitahunya adalah sebuah kesalahan, membuatku jadi tidak bisa berkutik atau aku urungkan saja mungkin niatku untuk ke toko buku. Tetapi aku berencana ke toko buku sudah dari kemarin, masa harus gagal karena Langit.

Rani : ih gue gak mau ketemu lo

Langit : dih kenapa

Rani : ya gak mau lah gila

Langit : yaudah dibanding ribet

Langit : lo bareng gue aja

Langit : tp pulang sendiri nanti

Aku semakin terkejut, memikirkan betapa canggungnya jika aku harus berangkat dengan Langit dan bertemu Luna di sana. Entah ide dari mana tiba-tiba Langit mengajakku, hatiku yang tadinya bimbang kini mulai kembali mantap untuk tetap mempertahankan perasaanku.

Rani : tapi gue gak enak, nanti Luna sama siapa?

Langit : dia sama temen-temennya

Langit : gue bilang ke dia jg bareng lo

Aku belum membalasnya, tetapi sudah membaca dan hanya berdiam di ruang obrolan. Di satu sisi aku takut mengacaukan rencana jalannya bersama Luna dan yang lain, namun di satu sisi selain mengirit ongkos untuk pergi, ini juga sebuah kesempatan karena aku dan Langit jarang sekali berinteraksi secara langsung.

Langit : kalo gak mau yaudah

Rani : oke, mau

Setelah mengetik dua kata tersebut, jantungku langsung berdegup lebih cepat. Aku rasa jika di sekitarku ada orang, mungkin dia bisa mendengar detak jantungku saking kencangnya. Kupu-kupu juga ikut muncul dan terus berterbangan bebas di perut, sensasinya menggelitik namun menimbulkan rasa gugup.

Langit : yaudah gue makan dulu

Melihat balasan pesan dari Langit, aku bergegas mempersiapkan diri karena bertemu dengannya terlebih dahulu. Aku memakai kaos putih dan cardigan berwarna hitam yang menjadi luaran, tak lupa celana berwarna biru jeans, sling bag, dan flatshoes berwarna hitam. Aku mulai menyadarkan diriku bahwa ini bukan rencana aku dan Langit jalan, dia hanya mengantarku. Harus aku ingat itu baik-baik. Aku berkaca sambil membalikkan tubuhku ke kanan dan kiri, sebenarnya itu hanya menutupi rasa gugupku serta membayangkan suasana canggung yang akan menyelimuti kami. 

Langit : gue otw rumah lo

Rani : okee

Aku bergegas ke teras rumah untuk menunggu Langit, agar lebih mudah mengetahui dia sudah sampai atau belum. Aku duduk di kursi teras sambil menggoyangkan sebelah kakiku, setiap motor yang lewat aku langsung menengok ke arah gerbang meskipun itu bukan Langit. Beberapa kali aku memeriksa ponsel, pesanku belum dibaca ataupun dibalas oleh Langit. Mungkin dia masih di perjalanan, namun saat aku menutup ponsel dan memasukannya ke dalam tas. Tiba-tiba suara klakson motor tepat di depan gerbang rumahku, itu Langit. Dia memakai hoodie berwarna hitam dan helm dengan warna senada. Lagi-lagi sama, aku dan Langit kebetulan memakai baju senada.

Aku berlari kecil menghampirinya, lalu tak lupa mengunci gerbang rumah. Langit tidak berbicara apa-apa, namun tangannya menyodorkan sebuah helm padaku. Aku naik ke atas motornya dengan jantung yang belum stabil sejak tadi juga rasanya kupu-kupu yang berada di perutku tak kunjung hilang. Belum ada yang memulai percakapan antara aku dan Langit, sampai aku berniat untuk bertanya kepadanya.

"Tadi lo dari sekitaran rumah gue, Lang?" tanyaku.

"Apa? Gak kedengeran," jawabnya dengan nada sedikit keras.

"Tadi lo dari sekitaran rumah gue?" tanyaku lebih keras sambil memajukan tubuh ke arahnya.

"Nggak, dari rumah gue yang di Depok tapi makan dulu."

Jantungku rasanya ingin loncat dari tempatnya saat mengetahui Langit berangkat langsung dari rumahnya yang bisa dibilang lumayan jauh dari rumahku. Aku tidak habis pikir, kira-kira kenapa dia mau menjemputku sejauh ini? Ingin sekali aku memohon pada semesta untuk tidak membuat ini lebih jauh atau aku akan semakin jatuh, tapi sayangnya hatiku memilih opsi kedua dan menyetujui semesta yang mengatur ini semua.
Sesampainya di parkiran mall tersebut, aku turun dan mengikuti langkah Langit. Jujur saja aku tidak tahu arah jika harus turun di basement. Aku mencuri-curi pandang ke arah Langit yang sedang melihat sekeliling.

"Mau kemana dulu?" tanya tiba-tiba membuatku agak terkejut.

"Hm, toko buku aja dulu." Aku memainkan tali tasku.

Langit mengangguk-angguk dan tetap berjalan ke arah toko buku. Seperti mimpi melihatnya di antara rak-rak buku yang akan terjual, sedari tadi jantungku masih berdegup kencang terlebih lagi kalau menatapnya. Kalau ini mimpi, aku tidak ingin buru-buru bangun dari tidurku dan ini harus diingat meski aku sudah terbangun.
Aku melihat jejeran komik Miiko yang menjadi tujuan utamaku ke sini, namun belum ada volume terbaru yang rilis. Terlalu asik melihat rak buku dengan keseluruhan berisi komik membuatku tidak sadar ternyata Langit tidak ada di sekitarku. Dia menghilang dari peredaran netraku. Aku melihat setiap lorong rak satu per satu memastikan apakah ada Langit di sana dan aku menemuinya yang sedang berdiri rak bagian novel. Menyadari kehadiranku, Langit menoleh ke arahku.

"Ada yang mau dibeli?" tanya Langit yang sedang memegang sebuah novel.

"Nggak, volume terbaru belum rilis. Lo mau beli novel?"

"Nggak, keluar aja yuk," ajak Langit.

Aku mengangguk dan Langit meletakkan kembali novel tersebut di tempatnya. Berjalan beriringan dengan Langit meski tak ada percakapan saja sudah membuat hatiku gembira bukan kepalang. Kupu-kupu di perutku kembali muncul, aku menahan wajahku agar tidak tersenyum dihadapannya.

"Beli minum aja kali ya. Lo haus gak, Ran?" Langit menatapku.

"Agak sih, emang Luna belum sampai?" Aku sedikit menunduk menutupi rasa gugup.

Langit mengangkat kedua bahunya, "katanya masih di jalan."

Aku manggut-manggut sambil berusaha menyamai langkah Langit yang lumayan besar. Aku memutuskan untuk membeli thai tea, sedangkan Langit membeli minuman teh botolan di toko terdekat penjual thai tea. Tiba-tiba saat aku dan Langit tengah menunggu minumanku, Langit yang berada agak jauh dariku dihampiri oleh tiga perempuan, sepertinya salah satu dari mereka ingin berkenalan dengan Langit karena salah satu dari ketiga perempuan tersebut memberikan ponselnya ke Langit lalu pergi. Bisa-bisanya di tempat umum seperti ini, orang lain tetap bisa melihat pesonanya. Aku mendengus sambil mengambil pesananku, lalu menghampiri Langit.

"Ini kenapa malah jadi ada yang kenalan sama lo," kataku menahan rasa kesal.

"Lah mana gue tau. Tanya noh ke orangnya langsung mumpung masih ngeliatin." Langit mengarahkan matanya ke arah tiga perempuan itu.

Aku menoleh dan benar saja, mereka masih menatap Langit sambil sesekali mengobrol. Begitu menyadari kehadiranku mata mereka bertiga langsung menatap sinis dari ujung rambutku hingga ujung kaki. Tawaku tertahan melihat mimik wajah mereka, awalnya kesal tetapi dilihat-lihat melihat mereka sinis padahal baru kenal membuat situasi ini lucu.

"Oh iya, si Yudha nanti mau ke sini, dia udah lumayan deket. Kalau lo mau jalan-jalan lagi gak apa-apa, tapi sendiri. Luna soalnya udah mau dateng juga," jelas Langit setelah menatap ponselnya.

Aku mengangguk, "iya niat gue ke sini juga sendirian kan."

Kami duduk di salah satu kursi panjang, tidak ada percakapan antara aku dan Langit. Lagi, lagi, dan lagi rasa canggung masih terus ada di sekeliling. Untungnya saja tak lama aku melihat Yudha datang melambaikan tangannya ke arah aku dan Langit, lalu Yudha duduk tepat di sebelahku.

"Eh ada lo Ran," sapa Yudha.

"Iya nih, kan lo udah dateng. Gue cabut ya." Aku mengambil gelas thai tea milikku.

"Loh gue dateng kok lo pergi," protes Yudha.

"Gak gitu, emang niatnya hehe. Tadi sekalian sama Langit soalnya searah," jawabku sambil tersenyum canggung.

"Langit? Oh Ian, yaudah deh. Hati-hati Rani."

"Makasih Yudha, gue duluan ya," ucapku menatap Yudha lalu beralih ke Langit yang sedang sibuk dengan ponselnya, "Lang, gue duluan ya."

"Iya hati-hati," jawabnya.

Aku beranjak dari tempat dudukku dan melangkah pergi dari tempat itu. Sesekali aku minum sambil memikirkan Langit, bertanya-tanya pada diriku sendiri tentang tujuannya menjemputku. Aku menepis pertanyaan itu dari pikiranku, apapun tujuannya yang pasti dia membuat hari ini lebih terasa istimewa untukku. Membuatku merasa tetap menjadi prioritasnya dan tentu saja aku tetap sadar, Langit bukan milikku. Aku harus mengerti batasan antara aku dan Langit, jangan sampai aku terlena karena perasaanku padanya dan justru egois ingin memilikinya. Aku tahu diri di hadapan semesta, sebab aku bukan mengisi peran sebagai kekasihnya.

***

haii, gimana kabarnya? xixixi krn aku gabut jadi aku update dan semoga nanti rajin update biar selesai karantina ceritanya udah selesai.

jangan lupa vote dan komen!

follow juga instagram.com/kalahujann

Langit dan Hujan [sudah terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang