BAB 5: Janji

48 7 1
                                    

Belum sempat menginjakkan kaki di mobil, sebuah telfon berdering buat Jihoon menghentikan langkah kaki. Jemarinya mengusap layar ponsel, mengangkat panggilan itu, tak berkata apa pun lantas mematikan panggilan itu sesaat setelah ia berdeham. Lelaki itu berbalik, menatap Yena yang tampak bertanya-tanya lalu berkata, "Jalan-jalannya nanti ya, Yen? Aku ada urusan mendadak. Aku janji, nanti kita jalan-jalan kok."

Yena hanya menganggukkan kepala, menatap lelaki itu yang masuk ke dalam mobil lantas mulai menghilang dari penglihatan Yena. Gadis itu mengukir senyum kecut lantas bergumam, "Udah berapa janji yang kamu patahin, Ji?"

Satu tahun yang lalu.

Dirinya tak berbohong jika dia tidak merasa hancur. Bahkan gadis itu memilih untuk meminum minuman beralkohol guna redakan sakit hati yang ia alami. Tentu saja alasan pertama adalah dia melihat Jihoon mesra dengan Minju tepat sehari setelah mereka menyelesaikan hubungan. Alasan kedua adalah Jihoon dengan santainya melupakan dan tidak menjalankan janji-janji yang sudah ia buat dengan dirinya.

"You've broke you're promise, Ji," gumamnya seraya terisak akibat pengaruh dari minuman beralkohol yang ia teguk.

Yena mengusap kasar wajahnya, lantas mulai memaki dan mengumpat; sebuah hal yang tak pernah ia lakukan dan selalu dihindarinya.

"Kamu udah janjiin aku banyak hal. Kamu udah janji untuk dateng ke pertunjukkan aku sama temen satu grupku tapi kamu ngerusak janji itu. Kamu malah jalan sama Minju. Kamu udah janji untuk selalu berada di sampingku saat aku butuh, tapi sekarang kemana kamu? Dari tadi sudah aku telfon, sudah aku chat, tapi kamu sama sekali ga ada balas atau bahkan ngebaca chat aku sama sekali.

Kamu janji kalau kita bakal punya happy ending berdua dengan selalu bersama selamanya. Tapi apa? Kamu malah mutusin hubungan kita. Se-gak pantasnya itu kah aku untuk bahagia? Kenapa ... kenapa kamu ga nepatin janji kamu Ji....?"

Dia tak pernah mengira bahwa Jihoon akan mematahkan janji-janjinya dan merusak kepercayaan serta menghancurkan diri Yena. Malam itu ia terisak sendirian di kamar apartemennya, tanpa seorang pun yang merasa peduli.

"No one cares about me. Kenapa di saat aku butuh bantuan ga ada yang mau bantu aku? Padahal di saat mereka butuh bantuan aku selalu ngebantu mereka. Bajingan."

Entah sudah berapa botol ia habiskan sendiri, perlahan kesadarannya mulai menghilang seiring kepalanya yang makin terasa berat.

Dengan lemas Yena beranjak kembali ke dalam rumah, melangkah menuju kamar dan menghempaskan dirinya di buntalan busa empuk yang selalu jadi kawan setianya. Dia tidak menangis lagi sebab kering sudah air matanya. Dia tidak bersedih lagi sebab mati rasa sudah hatinya.

Pikirannya yang seolah bertindak sebagai pemutar rekaman kembali memutar momen di mana hubungan mereka selesai. Di mana Jihoon membuatnya terluka untuk pertama kalinya.

Satu tahun yang lalu.

Dengan semangat Yena beranjak menuju taman yang acap kali ia singgahi bersama Jihoon untuk berkencan. Lokasinya tidak jauh dan mudah digapai sebab terletak di tengah kota. Di bawah mentari yang menyinari lembut bentala, Yena berlari kecil dan menghampiri Jihoon yang tampaknya sudah menunggunya lama.

"Jiii, udah lama nunggu ya? Sorry, tadi aku beresin kamar apartemen dulu, hihi. Oh, kamu manggil aku ke sini buat ngomong kan? Kamu mau ngomong apa sama aku?"

Terdengar helaan nafas berat lolos dari ranum lelaki itu. Tanpa memandang Yena sedikit pun ia berkata, "Aku ... mundur ya?"

Kedua alis Yena menyatu, bingung dengan tutur kata Jihoon.

"Eh? Mundur apa?"

"Kita ... sampai di sini aja ya?"

Yena tak mempercayai pendengarannya, apa yang baru saja lelaki itu katakan?

"Hah...? Tapi kenapa...?"

"Aku punya sebuah alasan yang ga bisa--ralat belum bisa aku kasih tau ke kamu. Aku mau bilang makasih untuk semuanya, aku mundur ya? Maaf...."

Sungguh, mereka tak pernah terlibat pertengkaran sebelum ini tetapi mengapa semuanya tiba-tiba jadi begini? Tolong bangunkan Yena dan katakan bahwa ini semua hanyalah sebuah mimpi.

"Kamu lagi bercanda ya? Bercandaanmu ga lucu, Jihoon!"

"No, aku ga bercanda. Aku serius."

Saat itulah, tangis Yena pecah. Jihoon menatap Yena dengan perasaan yang bersalah. Hari ini dia sudah menyakiti gadisnya untuk pertama kalinya. Hati gadisnya hancur karenanya. Jihoon tak tahan melihat Yena yang tampak terluka, sehingga ia memalingkan wajahnya.

"Habis ini, kita bakal tetep temenan kok. Aku tetep jadi Jihoon yang kamu kenal, Yen. Aku ga bakal berubah," ujarnya.

Yena masih menangis, entahlah apakah ia mendengar perkataan Jihoon atau tidak.

"Kalau jodoh ga bakal kemana kok, Yen," tukasnya sembari tersenyum lembut.

Jihoon lantas mengantar gadis itu pulang saat Yena sudah jauh lebih tenang walau gadis itu tetap tidak mengatakan satu kata pun sebagai respon kepadanya.

Yena yang kembali mengingat kejadian itu tertawa pelan. Jodoh tidak akan kemana, atas dasar apa Jihoon mengatakan hal itu kepada dirinya?

Setelah kejadian itu, memang benar tak banyak yang berubah dari mereka. Namun, intensitas Jihoon pergi berdua dengan Minju semakin meningkat, tentu saja hal itu membuat Yena naik pitam. Bahkan sampai sekarang, ia masih menyimpan perasaan tidak suka pada gadis itu.

Walau Jihoon hanya menganggapnya sebagai adik dan sahabat masa kecil, tetapi dia tau bahwa Minju melihat Jihoon lebih dari itu. Hal itu tercetak jelas pada tatapan serta gerak-geriknya. Bukan hanya dirinya, melainkan sahabat dekatnya juga berfikir demikian.

Minju mencintai Jihoon.

Tapi, hati Jihoon hanya untuk Yena.

Sebuah hal yang rumit, bukan?

Gadis itu pun mulai enggan untuk menunjukkan lagi sisi lemahnya kepada Jihoon. Ia mulai bertingkah baik-baik saja di hadapannya, tetapi tidak jika dia sendirian di apartemen maupun berkumpul dengan sahabat dekatnya. Entah apakah Jihoon mulai merasakan bahwa perlahan Yena mulai menjaga jaraknya dan berusaha untuk tetap berjalan ke depan tanpa menengok ke belakang.

Keputusan untuk mundur sudah beberapa kali ia buat. Namun, entah mengapa gadis itu tetap tidak bisa untuk benar-benar mundur dan menjauh.

Dia masih sayang.

Dan rasa sayang itu tak akan pudar dengan cepat.

Sebab rasa itu akan terus bertahan.

"Aku masih sayang sama kamu, tapi aku aku ga bisa untuk nahan diri aku buat ga ngejauh dari kamu. Aku bodoh ya, Ji?"

···

Nyatanya rasa sayang perlahan kan hilang karena sakit yang ia dapat. Bila begitu, bukankah mereka berdua hanya saling menyakiti satu sama lain?

BAB 5: Janji

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 13, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FATE: Park Jihoon x Choi YenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang