"Aw!"Jeno meringis saat es batu yang dibalut kain itu menyentuh rahangnya yang lebam.
"Eh sakit ya? Maaf maaf..."
Karina berusaha selembut mungkin untuk mengobati lebam yang ada di wajah Jeno.
Sedangkan Jeno yang awalnya kesakitan itu pun hanya bisa diam. Sakitnya memang tak seberapa, tapi dendamnya pada Gibran itu masih membara. Tangannya masih mengepal menandakan dirinya masih belum puas menghajar orang itu.
Perlahan kepalan tangannya melonggar, wajahnya yang murung itu tergantikan dengan senyuman saat melihat Karina yang terlihat khawatir padanya.
Karina yang sadar akan hal itu langsung menjadi salah tingkah. "Ngapain sih senyum-senyum!"
Jeno malah tersenyum jahil. "Kenapa sih emangnya? Salting ya?"
"Gak!" Karina melempar potongan es batu yang dibalut kain itu pada Jeno. "Obatin sendiri sana!"
"Dih, masa gitu," balas Jeno.
"Makanya, kalo apa-apa itu jangan pake kekerasan dong!" kata Karina sembari mengambil es batu itu lagi.
"Iya iya." Jeno memegang tangan Karina. "Gue cuma gak mau tangan lo kotor gara-gara nampar si brengsek itu, lagian dia pantes kok."
Karina jadi merasa bersalah, karena dia Jeno jadi memar seperti ini.
"Maafin gue ya, Jen."
Melihat Karina yang tiba-tiba menekuk wajahnya, Jeno tersenyum. "Santai aja, tugas gue kan emang ngejaga lo."
Karina kembali mengobati luka lebam yang ada di wajah Jeno itu, sedangkan Jeno hanya tersenyum sambil memandangi wajah Karina.
"Lo mirip bunda, Rin."
"Hm?" Karina menghentikan aktivitasnya.
Jeno menggenggam tangan Karina lalu menatap langit sambil memejamkan matanya. Angin di sore hari yang lumayan kencang membuat rambut Jeno bergerak menyentuh wajah tanpannya.
"Jen?" Karina menatap Jeno, sedangkan Jeno tersenyum.
"Lo cantik, pinter, baik dan berani, persis kayak bunda."
Karina terus memperhatikan Jeno, pipinya merah seperti tomat akibat ucapan Jeno tadi.
"Bunda lo pasti orang yang hebat," kata Karina.
Jeno yang mendengar itu pun membuka matanya, lalu mengangguk. "Iya, hebat banget."
"Mau ketemu bunda gak Rin?" tawarnya sambil tersenyum.
"Ah itu ya, emm ..." Karina menggaruk tengkuknya yang tak gatal, ia malu.
"Ayo!"
Tanpa menunggu jawaban pasti dari Karina, Jeno langsung menarik tangan Karina dan menyalakan mesin motornya.
***
Langit berwarna oranye menandakan pukul 5 sore, Karina masih mengikuti Jeno yang berada tepat di sampingnya, tangannya digenggam erat oleh Jeno.
Karina masih merasa aneh, ia tak mau salah prasangka dulu, Jeno bukan membawa Karina ke rumah megahnya itu, melainkan ke sebuah tempat disemayamkannya orang setelah wafat.
"J-jen?" tanya Karina saat Jeno berhenti di depan sebuah nisan yang bertuliskan nama "Fani Ayuna."
"Bunda, Jeno kangen."

KAMU SEDANG MEMBACA
180 DEGREES : Jeno X Karina
FanficKarina Liana Maureen, seorang cewek biasa yang akrab di sapa Karina itu awalnya hidupnya damai-damai saja, namun siapa sangka jika emosi nya di saat PMS membuatnya berurusan dengan cowok idaman para siswi di Sekolah. Jeno Abian Alvaro, parasnya yang...