Mungkin karena terlalu sibuk me-review laporan implementasi pedoman prosedur kerja organisasi perangkat-perangkat daerah, aku tak sadar bahwa saat ini sudah pukul 15.30. Beberapa anak buahku di Sub Bagian Ketatalaksanaan sudah pulang sejak 15 menit lalu. Tinggal aku dan dua staf, serta tentunya KaBag Organisasi; Bu Raya.
Kupijat pelan daerah antara kedua mata sambil menghela napas. Sejak diangkat sebagai KaSubBag Ketatalaksanaan setahun lalu, pekerjaan yang hinggap padaku mulai banyak. Alih-alih membawa pekerjaan untuk lembur di rumah, jika memang tidak terlalu banyak jumlah yang harus segera diselesaikan, aku lebih memilih segera menuntaskannya di kantor.
Bagiku pulang ke rumah adalah untuk istirahat dan melepas penat. Jadi, selama masih bisa menyelesaikan semua kewajiban di kantor, aku tak akan membawa beban itu dalam perjalanan dan saat aktivitasku di rumah.
Setelah menekan tombol Ctrl dan S, aku segera berdiri untuk meregangkan otot. Kulihat pintu ruangan Bu Raya masih separuh terbuka, menandakan bahwa pimpinanku itu masih berada di dalam sana. Sambil tersenyum tipis kumasukkan ponsel, notes, pulpen, dan netbook ke dalam tas kerja yang sudah hampir 7 tahun menemaniku ini.
Seperti biasa, ketika keluar ruangan, di lobi pasti akan kutemukan Pak Bambang--OB kantor--dan dia akan menyapaku ramah. "Pulang sore lagi, Bu Fara?" Kemudian, aku akan menjawab dengan anggukan, serta senyum ala kadarnya.
Suasana Malang setelah hujan terasa lebih dingin karena awan gelap masih menggantung di langit. Kupercepat langkah menuju mobil jenis city car warna merah di parkiran kantor tempatku bekerja selama hampir 10 tahun ini.
Omong-omong masalah mobil tersebut, aku baru membelinya sekitar 4 tahun lalu. Mobil pertamaku, hatchback warna putih, hancur setelah dengan sengaja kutabrakkan pada mobil milik mantan suamiku. Yah, sebenarnya kalau diperbaiki masih bisa terlihat mulus lagi. Masalahnya, kenangan kelam yang tersisa pada mobil itu membuatku benar-benar muak dan ingin melenyapkannya begitu saja.
Aku menghela napas. Setelah nyaman mengemudikan mobil dengan kecepatan 60 km/jam, melewati jalanan Sukarno-Hatta yang padat, aku memutar radio. Musik jazz dari lagu berjudul Me and Mr. Jones mengalun indah, menemani rintik gerimis yang mulai turun membasahi Bumi Arema.
Aku ikut berdendang, mengikuti alunan nada di lagu milik mendiang Amy Winehouse itu. Suara Amy yang merdu, musiknya yang easy listening, serta suasana senja yang syahdu ini, tak bisa membuatku menolak untuk terus bernyanyi.
Tiba-tiba ponsel yang kuletakkan di dashboard berdering. Kulihat ada nama "Mama" di layarnya. Segera kupasang TWS di telinga kanan menerima panggilan dari ibuku tersebut.
"Kamu udah pulang, Far? Mampir di The Jeann's lagi?"
Aku mengangguk sendiri. "Iya, Ma. Sholat Asar sekalian di sana."
"Kok enggak di kantor aja sholatnya?"
"Nyaman di mushola The Jeann's, Ma. Mukenanya wangi, bersih lagi. Hehe ...."
"Dasar kamu ini! Ya udah, kalau pulang belikan Mama croissant di sana, buat Tante Mela."
"Tante Mela di rumah, Ma?" tanyaku, sambil memutar kemudi mendekati kafe kopi langgananku sejak 3 tahun ini.
"Iya. Katanya mau kenalin seseorang--"
"Dih, ogah, ah! Aku tutup teleponnya. Dah, Mama Sayang!"
Setelah sambungan telepon kuputus secara sepihak, suara Mama tak lagi terdengar. Aku mendengkus. Lagi-lagi Tante Mela--adik bungsu Papa--datang ke rumah bukan untuk sekadar silaturahmi. Dia membawa lagi satu nama untuk dikenalkan padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kau dan Kopi di Senja Hari [Completed]
Romantik© Sofi Sugito (2024) ===== 🚫 Rate 18+ Mengandung kekerasan fisik, verbal dan mental. ===== Fara. Janda 36 tahun yang mapan, cantik dan kaya. Pernikahannya gagal karena mantan suami yang berselingkuh dan KDRT. Kedua orang tuanya juga bercerai dengan...