4 | Flat White: Kenapa Kamu Kembali?

397 78 28
                                    

Nisa masih sesenggukan di hadapanku, hampir menghabiskan satu wadah tisu traveling. Kami masih berada di depan Agusmart setelah pulang kantor, sejak sore tadi.

Perempuan berusia 28 tahun di hadapanku ini adalah ASN yang baru dilantik setahun lalu setelah menjadi pegawai kontrak selama empat tahun. Kebetulan dia adalah anak buahku di Sub Bagian Ketatalaksanaan. Nisa sudah 3 tahun menikah dengan suaminya yang bekerja di Jakarta, menjalani LDR dan belum juga dikaruniai buah hati.

Sebenarnya mertuanya tak banyak menuntut. Kata Nisa, mereka orang baik. Namun, yang bermasalah justru ibunya sendiri. Nisa anak tunggal dan ayahnya sudah meninggal. Sang ibu yang menderita stroke sangat menginginkan cucu.

Nisa ingin sekali segera memiliki keturunan. Berkali-kali dia periksa, kata dokter tak ada masalah dengan rahimnya. Dia kemudian meminta sang suami untuk memeriksakan diri juga. Namun, suaminya tersebut selalu beralasan sibuk. Tak ada waktu untuk ke dokter.

Ibunya Nisa sering keluar masuk rumah sakit. Terakhir kali saat opname 2 minggu lalu, sang ibu marah karena Nisa tak kunjung hamil, sehingga menyebabkan penyakitnya kambuh.

"Aku harus gimana sekarang, Bu? Apa aku cerai aja?" Nisa kembali terisak-isak.

Aku menghela napas. Dua hari lalu, Nisa mendapati kenyataan bahwa suaminya tak bisa menghasilkan banyak sperma. Pada saat proses pembuahan, sperma yang jumlahnya tak banyak itu mati sebelum mencapai ovarium. Dokter menyarankan melakukan program bayi tabung, meski kemungkinan berhasil hanya sekitar 40%.

Apalagi suami Nisa memiliki kebiasaan kurang sehat. Dia adalah perokok berat dan peminum alkohol. Saat Nisa menawarkan untuk menjalani program bayi tabung sebagai ikhtiar, suaminya justru marah dan bahkan mengancam cerai. Kata lelaki itu, kalaupun bercerai dengan Nisa, dia masih bisa mendapatkan perempuan lebih cantik di Jakarta sana.

"Aku curiga, Bu. Jangan-jangan dia punya selingkuhan di sana." Nisa menangis makin kencang.

"Nis," kataku lembut sambil mengusap bahunya. "Kamu pikirkan dulu matang-matang. Jangan sampai emosi sesaat tentang dugaan dia selingkuh padahal itu belum ada bukti, bikin kamu ambil keputusan yang gegabah."

"Terus aku harus gimana, Bu Fara?" Nisa menghapus air matanya sambil mendongak menatapku. Matanya terlihat sembab.

"Kamu udah berusaha komunikasi dengan mertuamu? Katamu mereka berpikiran terbuka, kan?"

Nisa menggigit bibir bawahnya, kemudian menjawab, "Aku malu, Bu. Takut kalau aku dikira jelek-jelekin anak mereka."

"Kamu bahasakan dengan lembut, dong! Kamu bilang aja kalau suamimu hasil periksanya gitu, tunjukin hasilnya juga ke mereka, sambil minta saran gimana enaknya. Terus sampaikan kalau dokter nyaranin program bayi tabung itu, tapi suamimu enggak mau dan malah kembali ke Jakarta dalam keadaan marah. Yang penting kamu ingat, bahasanya harus tetep sopan. Jangan terkesan mojokin suamimu di hadapan mereka. Netral gitu." Aku lalu tersenyum, berusaha menenangkan.

Nisa hanya terdiam. Sepertinya dia masih ragu, akan mengikuti saranku atau tidak. Aku memahami, pasti berat baginya. Aku juga pernah mengalami permasalahan serupa. Pernikahan yang tak sehat karena komunikasi buruk.
Meski dulu aku dan mantan suamiku tak menjalani LDR, tetapi kami terlalu sibuk pada pekerjaan dan urusan masing-masing. Awal menikah tentunya masih romantis, lah. Namun, tak kunjungnya hadir anak, membuat kemesraan kami perlahan menjadi hambar.

Lelaki sialan itu merasa aku adalah penyebabnya. Apalagi ibunya juga memojokkanku terus. Aku tak memiliki satu pembela pun. Mama tengah sibuk mengurusi kegagalan pernikahan keduanya kala itu. Sementara Papa ... sejak masih kecil pun, aku merasa sosoknya tak pernah ada di dekatku. Dia seperti sesuatu yang sulit aku raih.

Kau dan Kopi di Senja Hari [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang