Bonus 1 | Fara dan Galih

217 30 10
                                    

"Namamu Fara, a?"

Spontan aku berbalik saat mendengar namaku disebut. Lelaki itu menatapku dengan ekspresi datar. Kulitnya putih, tinggi tubuhnya mungkin sekitar 170-an senti, rambut hitam lebat belah pinggir disisir rapi dan memakai kaus tim basket. Oh, apa dia anggota ekskul basket juga sama sepertiku? Dari kelas berapa, ya?

Aku mengangguk, menatapnya sambil memiringkan kepala. "Ada apa?" tanyaku.

"Pak David manggil kamu." Mendadak dia terlihat kesal. "Sama aku juga."

"Ha? Buat apa?" Lekas aku mengambil ransel setelah memasukkan kaus basket ke dalamnya.

Dia mengangkat bahu, membuatku mendengkus, lalu melangkah mendahuluinya sambil mencangklong ransel, berjalan menuju ruang guru di mana pelatih basket sekaligus salah satu guru olahraga di sekolahku itu berada.

"Kelas berapa?" tanyaku saat langkah kami sejajar.

"Aku?" Dia menatapku, kubalas anggukan. Sambil kembali menatap depan, dia menjawab, "1-A."

"Oh, pantes enggak tau. Anak kelas lantai bawah." Langkahnya lumayan lebar, membuatku agak kesusahan mengimbangi. "Aku kelas 1-F. Kayanya aku belum pernah liat kamu sebelumnya. Padahal kita satu ekskul gitu."

"Aku jarang dateng karena benturan sama jadwal ekskul karate." Dia melirikku sekilas. "Tapi, ke depan mungkin aku ganti jadwal latihan karatenya, ikut yang hari Sabtu, biar Kamis sore gini bisa ikutan basket. Sayang kalau keluar."

Aku mengangguk. "Sama kaya aku. Jarang masuk karena agak repot di OSIS akhir-akhir ini. Kayanya sih aku aja yang kurang bisa bagi waktu."

"Oh." Dia mendadak berhenti, membuatku ikut menghentikan langkah. "Apa mungkin Pak David manggil kita buat nanyain terkait jarangnya kita datang basket kali, ya?"

Aku berpikir sejenak sebelum menyahut, "Bisa jadi, sih."

Mendadak dia tersenyum, lalu kembali mengajakku berjalan menuju ruang guru yang tinggal beberapa langkah lagi. "Namaku Galih," katanya tiba-tiba, setelah itu mengulurkan tangan. "Salam kenal."

Aku menatap tangannya sejenak, lalu menjabatnya sambil mengangguk. "Oke. Let's be friend," sahutku.

Tangannya besar dan hangat.

***

"Idih, datang-datang malah senyum-senyum sendiri." Nola—teman sebangkuku—mengejek, membuatku lekas melemparnya dengan tatapan kesal sambil mulai duduk di bangku.

"Galih, oh, Galih." Nola kembali menggoda. "Ada yang kasmaran—"

"Bisa diem enggak?" Lekas kututup mulut Nola sebelum anak-anak sekelas mendengar kata-kata sintingnya itu.

Nola melepas paksa tanganku, lalu mencebik. "Kalau udah saling suka, ngapain sih enggak jadian aja? Emang enak enggak jelas kaya gitu melulu? Mana ada sahabatan antara cowok sama cewek, Far?"

Nola mendekatkan wajahnya padaku, lalu berbisik, "Galih kan lumayan ganteng, tuh. Mana tinggi, atletis badannya. Jago olahraga, man! Dia juga perhatian banget sama kamu. Anter jemput kamu sekolah dan ke mana pun. Kalau dia enggak suka sama kamu, enggak mungkin deh, Far."

Kudorong wajah Nola sambil menatapnya sengit. "Ya abis, dia enggak nembak-nembak."

"Ya elah!" Nola menepuk pelan kepalaku dengan ekspresi gemas. "Nunggu ditembak? Ini udah tahun 2000, Mbakyu. Saatnya cewek selangkah di depan."

"Lambemu!" Kucubit pipi Nola. Kami berdua sempat tertawa bersama, sebelum akhirnya diam karena Bu Kunti, guru Ekonomi, memasuki kelas kami, 2-IPS 2.

Kau dan Kopi di Senja Hari [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang