5 | Caramel Java Chip: Terima Kasih

404 69 12
                                    

Mira
[Tapi, serius itu Haris? Pede banget dia datengin kamu, Far? Wah, kayanya aku harus bilang Mas Galih nih.]

Aku tersenyum geli membaca pesan Mira tersebut. Dia memang perempuan unik, blak-blakan, agak galak, tetapi sangat perhatian. Rasa khawatirnya padaku pun tak main-main. Meski tahu benar aku adalah mantan pacar suaminya saat SMA dulu, tetapi Mira santai saja. Toh, aku dan Galih sudah seperti saudara.

Hubunganku dan Galih selama 2 tahun di masa putih abu-abu dulu sangat baik, putus juga baik-baik. Jadi, tak ada alasan untuk kami bermusuhan. Bahkan, akhirnya hubunganku dan Galih tumbuh seperti kakak dan adik.

Kemarin, begitu sampai rumah aku menangis lagi. Tidak selera makan dan membiarkan flat white pemberian Dimas dingin di atas meja rias. Mama pulang sekitar pukul 20.30. Tentu saja perempuan yang telah melahirkanku itu terkejut, dia khawatir sekali. Aku awalnya tak mau bercerita apa pun dan meminta waktu sendiri, tetapi Mama terus memaksa.

Akhirnya setelah agak tenang, aku cerita kalau baru saja bertemu Haris dan menyiramnya dengan flat white hangat. Kupikir Mama akan terkejut dengan tingkah tak sopanku itu, tetapi ternyata dia terbahak-bahak dan sangat mendukung perlakuanku pada mantan suami tidak berguna tersebut.

Kami lalu mengobrol sampai jam 22.45 sambil makan kentang goreng yang dibeli Mama dari kafe tempat arisan dengan teman-teman sosialitanya. Mulai dari membahas Haris dan memberikan sumpah serapah pada lelaki itu, lalu bercerita tentang beberapa teman Mama yang pergi ke luar negeri atau memulai bisnis baru, sampai akhirnya Mama cerita kalau di perjalanan pulang melihat Tante Natasha--istri Papa yang sekarang--keluar dari Hadimart bersama dengan saudara sepupuku, Juwita, anak tunggal Tante Maya--kakak kembar Tante Mela.

"Kayanya abis dari rumah sakit, sih, Far. Apa jangan-jangan papamu opname lagi? Serius mereka enggak hubungi kamu?" tanya Mama.

Aku menggeleng. Juga tidak ada rencana mau menghubungi mereka lebih dulu, karena masih malas setelah sempat bersitegang dengan Tante Natasha sebulan lalu. Tante Natasha menuduhku tak lagi memedulikan Papa, karena selalu beralasan sibuk tiap kali diminta Papa ke rumahnya. Ya, memang aku sibuk, mau bagaimana lagi, kan?

Toh juga kalau aku ke sana, makan malam atau sekedar menampakkan wajah, sambutan mereka juga tak begitu nyaman. Papa yang kaku, Tante Natasha yang cuek, juga para pembantu di sana yang terkesan menganggapku orang luar daripada anak kandung majikan mereka.

Kalau ada Kevin, sih, aku masih bisa bercerita banyak hal dengannya. Masalahnya, adikku itu sekarang di Jepang. Kami beberapa kali berkomunikasi lewat pesan chat atau video call. Meski bukan anak kandung Mama, tetapi Kevin sangat akrab dengan ibuku dan juga ikut memanggilnya dengan sebutan 'mama' sama sepertiku.

Sampai sekarang aku belum bisa memanggil Tante Natasha dengan sebutan 'bunda' seperti Kevin memanggilnya, karena entah kenapa sekat yang hadir antara aku dan dirinya belum bisa roboh. Bahkan, setelah aku menjanda rasanya makin tinggi.

Aku menghela napas dan menggeliat di atas kursi kerja. Kulirik Nisa yang masih asyik mengetik dengan ekspresi serius, sepertinya dia sudah cukup tenang. Wajahnya juga tak terlihat sembab. Semoga saja permasalahan dengan suaminya segera selesai dengan baik dan tidak berakhir perceraian.

Perempuan itu banyak belajar tutorial make up dariku. Entah mengapa, dia sangat menyukai aku yang seperti ini. Baginya aku semacam panutan, selain sebagai atasan di tempat kerja. Nisa mengatakan bahwa meski aku memiliki kondisi finansial yang baik, berasal dari keluarga kaya, cantik, dan berpendidikan tinggi, tetapi aku tak menjalani hidup mewah.

Sebenarnya, itu karena sejak kecil aku tak menyukai kemewahan yang ditampakkan Mama dan Papa, karena trauma. Di luar, mereka terlihat 'wah', tetapi ternyata rumah tangganya rapuh sedikit demi sedikit dan akhirnya benar-benar hancur.

Kau dan Kopi di Senja Hari [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang