Mama meletakkan dua cangkir kecil kopi hitam dan dua piring nasi goreng sosis telur di atas meja makan. Sebelum duduk, beliau mengambil dua gelas air putih dan meletakkan lagi di atas meja.
Mama tersenyum saat sudah duduk berhadapan denganku di meja makan. "Kamu mau sarapan dulu atau kita ngobrolnya sambil makan?" tanya Mama.
Aku tertawa. "Sejak kapan Mama kaya gini? Biasanya kan Mama selalu minta kita selesaiin makan dulu baru ngobrol."
Mama mengangguk, meraih cangkir kopi dan menyesap isinya. Kemudian, beliau menyahut, "Tapi, ini pasti bakal makan waktu lama. Jadi, Mama takut kamu bosan kalau enggak sambil ngelakuin aktivitas, seperti makan misalnya."
"Ada kue kering kan, Ma?" tanyaku. Mama mengangguk sebagai jawaban, lalu tersenyum.
"Oke, kalau gitu kita makan dulu ya, Far?" Mama menawarkan dan langsung kujawab dengan anggukan.
Kami lalu menikmati sarapan bersama dan menghabiskan air putih setelah selesai makan. Baru setelah Mama meletakkan alat-alat makan kosong ke wastafel dapur, kami duduk berhadapan lagi untuk memulai obrolan pagi ini.
"Jadi, dari mana kamu tau kalau empat hari lalu Mama ketemuan sama Dik Lastri?"
Pertanyaan Mama itu membuatku sedikit sedih. Pasalnya, meski aku sudah mengakhiri hubungan dengan Dimas, nyatanya Mama masih memanggil Bulik dengan panggilan tatkala aku dan Dimas masih bersama, yaitu 'Dik'.
"Mira keceplosan."
Mama tertawa geli, sepertinya memang sudah hafal dengan kebiasaan sahabatku yang suka kelepasan bicara itu. "Yah, mungkin ini emang udah kehendak Allah. Makanya, Allah bikin Mira kelepasan bicara. Emang sengaja Mama minta mereka berdua ajak kamu main yang jauh, jadi Mama bisa ngobrol lama sama Dik Lastri. Kasihan juga jauh-jauh dari Malang naik bus."
Mama melirikku sambil menyesap kopi. Sepertinya tahu bahwa aku juga memikirkan hal yang sama, yaitu rasa iba kepada Bulik yang tetap datang ke Karanganyar untuk bisa terus menyambung silaturahmi, meski semua yang kujalin dengan Dimas telah dengan tega kuakhiri secara sepihak.
"Dik Lastri sehat. Sekarang menetap di Malang, nemenin Yasmin."
Aku mendongak, tak jadi menyesap kopi hitamku sendiri. Mama mengangguk sambil meletakkan cangkir kopinya ke meja. "Yasmin sempet dirawat di RSJ Lawang, tapi delapan bulan lalu dia menjalani rawat jalan di rumah. Meski sempat ngelewatin hari-hari yang enggak menyenangkan di Lembaga Pemasyarakatan selama dua bulan, nyatanya keputusan sidang menetapkan Yasmin cuman sebagai tahanan wajib lapor selama tiga tahun ke depan. Itu karena Yasmin ngelakuin pembunuhan itu dalam rangka pembelaan diri dan menolong orang lain dari tindak kejahatan. Selain itu juga karena hasil tes kejiwaan menunjukkan Yasmin mengalami depresi hebat waktu ngelakuin hal itu."
Mama menautkan kedua tangan di atas meja. "Awalnya keluarga bajingan itu enggak terima dan nuntut. Tapi, setelah ibunya mati, tiba-tiba semuanya jadi masa bodoh dan membiarkan kasus itu berakhir seperti keputusan sidang."
Aku mengangguk, paham siapa yang dimaksud Mama dengan 'bajingan' itu. Siapa lagi kalau bukan Haris.
"Far." Panggilan Mama membuatku kembali mengalihkan pandangan dari cangkir kopi kepada beliau. "Dik Lastri kangen banget sama kamu."
Aku menggigit bibir bawah setelah mendengar perkataan Mama tadi. Mama menghela napas dan menyandarkan badan ke punggung kursi. "Baginya, kamu itu udah kaya anaknya sendiri. Dia pengen ketemu kamu, meski cuman sekali. Bukan sebagai siapa-siapa, ya cuma pengen ketemu kamu aja sebagai seorang Fara."
"Tapi, Mama bilang ke Bulik kalau aku udah baik-baik aja, kan?" tanyaku. Mama mengangguk sebagai jawaban.
"Tentu kami masih sering tukar kabar lewat WA, kadang juga telepon. Cuman emang Mama enggak mau kasih tau kamu, sampai kamu siap dengan semuanya dari sudut pandang orang lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kau dan Kopi di Senja Hari [Completed]
Roman d'amour© Sofi Sugito (2024) ===== 🚫 Rate 18+ Mengandung kekerasan fisik, verbal dan mental. ===== Fara. Janda 36 tahun yang mapan, cantik dan kaya. Pernikahannya gagal karena mantan suami yang berselingkuh dan KDRT. Kedua orang tuanya juga bercerai dengan...