1 • Sanjaya, Jay, Jaya, Terserah

12 1 0
                                    

Namanya Sanjaya Permono, dan dia tidak suka kalau orang menyebut namanya dipotong-potong. San-ja-ya, harusnya nggak susah, kan? Tapi sejak masuk sekolah dasar, yang mana dia selalu disekolahkan di international school, teman-temannya mulai manggil dia Jay (baca: jey). Mungkin lidah teman-temannya yang billingual atau bahkan bahasa ibunya adalah bahasa inggris keselimpet kalau manggil Sanjaya, nggak tahu deh.

Kemudian dia kuliah, bertemu dengan orang-orang yang berasal dari beragam suku dan budaya. Sempat culture shock juga karena banyak hal yang berbeda dengan sewaktu dia sekolah, tapi untungnya Jaya pandai menyesuaikan diri. Dia juga mulai dipanggil Jaya sejak kuliah—karena memang lebih akrab di lidah orang Indonesia, meskipun kalau kenalan dia menyebut namanya Jay sebab sudah terbiasa semenjak teman-teman sekolahnya manggil begitu.

Jaya juga sudah pasrah dan nggak lagi protes kalau orang manggil namanya dipotong-potong. Sampai sekarang orang-orang memanggil dia Jaya pun, dia iya-iya saja. Walaupun banyak juga sih, yang masih manggil dia Jay seperti bagaimana dia memperkenalkan diri. Ya pokoknya terserah deh, selama masih ada unsur Sanjaya-nya dia nengok, kok.

"Jay!" Mendengar suara yang memanggil namanya, Jaya menoleh ke arah samping di mana suara berasal. Lantas ia menemukan seorang perempuan yang hari ini mengenakan a-line skirt dengan panjang 3/4 di bawah lutut yang dipadukan dengan kemeja lengan panjang. Kemeja itu dia masukkan ke dalam dan pakai vest sebagai outter. Bikin orang itu kelihatan lucu di mata Jaya.

Dia berjalan ke arah Jaya yang sedang duduk di kursi taman Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Rambutnya yang dibiarkan tergerai tertiup angin yang berembus cukup kencang. Menciptakan kesan dramatis kala perempuan itu berjalan. Sayangnya, perempuan itu justru merengut karena rambutnya berantakan. Jaya dengan khidmat memerhatikan setiap gerak-gerik perempuan itu, bibirnya menyunggingkan senyum kecil. Memicu lesung pipit ikut terbit di wajahnya.

Si perempuan langsung duduk di samping Jaya begitu dia sampai. Kemudian sibuk merapikan rambutnya yang jadi kusut sebab tertiup angin menggunakan jari. Usai dengan kegiatannya, perempuan itu menengok ke arah Jaya. "Rapih nggak?" dia bertanya.

Mata Jaya menelisik, tangannya ia topangkan di dagu, berlagak seperti juri yang sedang menilai. Kemudian kepalanya mengangguk-angguk dan ibu jarinya dia acungkan. "Good," jawabnya.

Senyum tanda puas dengan jawaban Jaya muncul di wajah perempuan itu.

"Masih ada kelas, nggak? Pengen ke XXI deh, gak mau nonton sih, tapi bm milo dinosaurus-nya XXI Cafe." Perempuan itu kembali bicara seraya menyenderkan punggungnya ke sandaran kursi.

"Is it okay if we go at night? Gue nanti masih ada kelas," jawab Jaya. Tubuhnya ia miringkan menghadap si perempuan dengan sebelah siku yang disandarkan ke kursi.

"Pengennya sekarang banget, kalau lo gak bisa ya udah nanti gue sama yang lain aja deh."

"Nggak usah deh, you go with me."

"And your class?" Perempuan itu memiringkan tubuhnya hingga kini mereka berdua berhadapan.

"Kan bisa tipsen Retha, easy peasy."

Retha mendecakkan bibir seraya menggelengkan kepalanya. Matanya memicing. "Nggak ah, udah lo kelas aja gue kan bisa sama yang lain."

Jaya merengut, sebab dia mau Retha pergi sama dia. "Emang mau sama siapa, sih?"

"Siapa aja yang bisa." Retha bicara santai.

"Back up-an gue banyak ya, Tha?"

"Emang," kata Retha seraya menjulurkan lidahnya, sengaja meledek.

Tentang J dan RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang