08

155 14 2
                                    

Neji menatap sekelilingnya. Ruangan kosong dengan sedikit cahaya bulan memantul dari jendela. Bau menyengat, menyeruak dari ruangan tersebut. Seperti bau bangkai. Ia tidak mengenal tempat ini. Tapi kakinya berjalan seolah-olah tengah di kendalikan.

Di sudut ruangan terdapat cermin yang sangat mencolok. Cermin yang lumayan besar setinggi tubuh orang dewasa. Kakinya melangkah ke arah sana, seperti tau apa yang hatinya inginkan.

Cermin di kelilingi ukiran kayu di setiap sudut terlihat antik dan juga kuno. Tapi seperti ada sesuatu yang aneh di cermin. Matanya terlalu fokus menatap ukiran dan saat menatap kaca ia di kejutkan dengan sesuatu yang memantul dari sana.

Bukan wajahnya atau tubuhnya yang terpantul. Melainkan sebuah genangan air hitam dan keruh yang meminta di sentuh.

Neji mengulurkan ragu tangannya. Rasa penasarannya sangat besar saat ini.

Tes

Jarinya menembus cermin, seperti ada kehidupan lain di sana. Saat tubuhnya tergerak untuk masuk tiba-tiba ada teriakan menghentikannya.

"Kakak! Tolong aku Kak!"

"Tolong ... Tolong aku!"

Suaranya bergema. Suara lirih dengan tangisan pilu masuk ke telinganya. Hatinya terenyuh seperti ada sesuatu yang menghantam, bibirnya kelu dan bisu untuk sekedar menggerakkan lidah.

"Aku takut ... Dia marah ...."

Setelah suara lirih terakhir itu, ruangan menjadi senyap. Hawa dingin menyambut kulitnya. Namun ada satu hal yang di pertanyakan.

Kenapa ia ikut menangis?

"Kak Neji!"

Matanya terbuka, sedikit menyesuaikan dengan cahaya matahari yang tak terlalu menyilaukan mata. Ia melihat Hinata tengah membangunkannya dengan jaket tebal orange di tubuh —ia rasa, ia tau jaket siapa itu.

Neji membenarkan posisi duduknya. Sedikit linu dan pegal menyertai lehernya. Ia ingat bahwa terakhir kali dia tak sengaja tertidur di perjalanan. Tangannya tergerak mengusap - usap lengan atas ketika angin dingin benar-benar menembus pakaiannya.

Padahal terasa dengan jelas ia memakai lengan panjang. Tidak peduli akan hal itu, kelopak matanya perlahan menutup. Seperti ada sesuatu yang menyuruhnya untuk tidur kembali dan melanjutkan mimpi.

Mimpi?

"Kak Neji, kalau mau tidur lagi, mending lanjut di kamar aja. Nanti lehernya sakit Lho."

Neji terkesiap. Sekarang dia benar-benar bangun dan keluar dari mobil. Matanya langsung di suguhkan villa besar dengan cat coklat kayu mendominasi. Sebagian dinding kayu tersusun kaca besar agar memungkinkan orang dari luar melihat apa yang ada di dalamnya.

Mewah. Satu kata untuk itu.

"Udah bangun Ji?" Neji menoleh ke sumber suara, melihat Itachi tengah membawa kardus besar di tangannya. Pria itu menghampirinya, lalu menurunkan kardus yang membuat ia pegal—karena selanjutnya Itachi meregang kan punggung di susul suara gemerletuk tulang dan helaan nikmat keluar dari mulutnya.

"Hah ... Berat njir," ujarnya tak sengaja keceplosan, setelahnya ia kikuk melihat Neji tengah memperhatikan. Bisa - bisa turun imagenya sebagai laki.'

Itachi berdehem pelan. "Tadi, gue mau bangunin lu. Sejam lalu kita udah sampe. Cuman gue gak tega, liat lu tidur sampe ngiler," ucapnya terjeda melihat Neji mengusap sudut bibirnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 21, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Truth or Death | Naruto Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang