7. Punakawan Saba Alas

15 1 0
                                    

Punakawan Baginda Raja Mangkualam :

- Centrik / Ki Kidang

- Dawala / Ki Gumarang

- Kendil / Ki Gogok Ireng

- Smaranta / Ki Semarang Tawang

Diceritakan punakawan Raja Mangkualam yang diperintahkan untuk mencari Rakai Pikatan secara diam-diam, telah sampai di sebuah desa perbatasan ibukota Mataram bernama Wonosari. Wonosari adalah desa terakhir yang menjadi persinggahan pertama mereka sebelum mereka melanjutkan perjalanan melewati belantara hutan.

Sang surya sudah sepenggalah ketika keempat punakawan itu mampir disebuah kedai kecil dengan dinding bambu beratap lontar, di ujung desa milik Ni Slarangwana dan Suaminya Ki Slarangwana. Kedai yang biasanya disambangi oleh para pengembara dan pendekar, ketika mereka akan masuk maupun kelua hutan.

Kedai itu berisi sekitar sepuluh dipan terbuat dari bilah bambu yang di geprek dengan penyangga dari batang bambu besar. Dipan ini bisa ditempati oleh empat orang, digunakan para tamu untuk makan dengan cara lesehan.

"Kang Kidang, ndang pesen. Aku godogan talas sama wedhang clebek ae yo." Kata Ki Gumarang sembari mengambil tempat duduk bersama kedua saudaranya yang lain.

"Kurang ajar pisan jan awakmu kui Gumarang, aku iki wong tua kok awakmu prentah-prentah." Ki Kidang bersungut-sungut jengkel. Namun dirinya tetap juga memesan makanan ke pemilik kedai untuk ketiga saaudaranya yang lain.

Jadi, setelah keempatnya diperintahkan Raja Mangkualam untuk mencari Rakai Pikatan. Punakawan itu memutuskan untuk memakai nama samaran. Centrik menjadi Ki Kidang, Dawala menjadi Ki Gumarang, Kendil berganti nama menjadi Ki Gogok Ireng, sementara Smaranta menjadi Ki Semarang Tawang.

Kedai Ni Slarangwana tidak seramai biasanya. Hanya ada mereka berempat dan dua pasang pendekar yang sepertinya pengelana di dekat pintu masuk kedai, serta tiga orang penduduk asli Wonosari. Membuat keempat punakawan itu terheran-heran.

Ketika Ki Kidang kembali ke dipan tempat ketiga saudaranya duduk. Mereka berempat mendengar tiga penduduk Wonosari berbisik-bisik lirih. Terpisah satu dipan dari mereka.

"Aku dengar semalam ada perampokan lagi di hutan itu ya, Kang Gintung?" tanya seorang penduduk dengan badan kurus ke temannya yang berbadan gemuk.

"Iya. Korbannya juragan dari Galuh." Pria gemuk yang bernama Kang Gintung menjawab dengan wajah muram. "Semalam Ndoro Adipati Glagah sampai memerintahkan untuk menyisir hutan semalam suntuk, lha aku kebagian memimpin pasukan." Kang Gintung menambahkan dengan wajah mengantuk.

"Kok ya heran dari Gusti Mangkualam belum menurunkan pasukan dari kerajaan untuk membasmi perampokan ini ya." Pria yang duduk di samping Kang Gintung menyahuti.

Ki Semarang Tawang yang duduk di samping Ki Kidang menyikut ringan lengan Ki Kidang. Yang di angguki Ki Kidang untuk menjawab bahwa dirinya juga mendengar percakapan lirih itu. Sementara Ki Gumarang dan Ki Gogok Ireng saling pandang, turut serta mengikuti bisik-bisik ketiga penduduk Wonosari itu. Bersamaan pada saat itu pelayanan kedai Ni Slarangwana datang mengantarkan pesanan mereka, mereka mencomot masing-masing makanan yang dihidangkan.

"Menurut Ndoro Adipati, dirinya sudah melaporkan masalah ini ke ibukota. Tapi, lha wong masalah di ibukota saja belum selesai. Para Prajurit Mataram masih di tugaskan untuk mencari Gusti Pangeran Rakai Pikatan, yang menghilang berbulan-bulan itu." Kang Gintung menjelaskan.

"Tapi kalau dibiarkan terus seperti ini, para perampok itu bisa membuat kesulitan besar buat desa ini." Kata si Pria kurus, kemudian mencomot ayam kampung goreng.

DARANINDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang