Persiapan pesta perayaan memperingati tahun kelahiran Daranindra akan digelar dua hari lagi. Segala persiapan mulai dari umbul-umbul hingga makanan hidangan yang akan disuguhkan telah siap. Bahkan istana kerajaan pun terlihat begitu meriah dengan berbagai kertas warna penghias serta obor-obor yang lebih terang dari hari-hari sebelumnya.
Para dayang sibuk hilir mudik membersihkan istana, begitupun para prajurit yang turut serta membantu memperindah istana. Keadaan terasa begitu ramai. Tapi berbeda dengan kediaman Daranindra. Si empunya kamar tengah duduk dihadapan cermin sembari rambutnya disisir oleh dayang embannya, Umah.
"Gusti putri, bukankah istana sangat meriah saat ini.?"
Daranindra hanya berdeham mendengarkan celoteh dayangnya. Pikirannya menerawang jauh kepada Putra Mahkota Rakai Pikatan. Ia tengah memikirkan arti mimpinya dimana Rakai Pikatan terus-menerus memanggil dirinya. Seakan-akan Rakai Pikatan mengarahkan Daranindra untuk mencari dimana Rakai Pikatan berada.
Dari mimpi itulah Daranindra merasa yakin bahwa kekasihnya masih hidup. Memohon pada Daranindra untuk mencarinya. Ia sendiri telah memikiran hal untuk keluat istana dan mencari Rakai Pikatan sendiri. Namun, ia masih belum tahu bagaimana caranya agar ia bisa keluar dari istana.
Umah yang melihat junjungannya tak bergeming menjadi heran.
"Gusti Putri, mikirin apa to? Terus saja melamun dan murung. Hamba turut sedih Gusti."
"Tenanglah Emban, aku baik-baik saja. Hanya aku masih memikirkan Kanda Rakai Pikatan." Daranindra diam memikiran kata-kata yang bisa diterima dayangnya tentang ide yang tengah berhamburan dibenaknya.
"Gusti putri, emban selalu berdoa agar Gusti segera terlepas dari kesedihan ini." kata Umah turut bersedih.
"Akupun berharap bisa melupakan semua ini, emban. Tapi aku masih amat yakin dengan firasatku kalau Kanda Rakai Pikatan itu selamat."
Umah hanya diam tak tau harus berkata apa lagi dengan kekukuhan junjungannya. Sembari menanti kelanjutan kata-kata junjungannya selanjutnya.
"Emban, masih setiakah kau terhadapku?"
Umah yang ditanya demikian tersentak kemudian berlutut di kaki Daranindra.
"Sungguh Gusti putri, hamba masih setia kepada Gusti. Kenapa Gustu putri bertanya seperti itu, ampuni jika hamba melanggar kesetiaan Gusti putri." ucap Umah tersedu.
"Aduuhh... Bangun emban. Bukan begitu maksudku. Kau tak memiliki kesalahan apapun terhadapku. Hanya saja jika aku pergi dari istana ini akankah kau mau ikut dengan ku?"
"Ten.. Tentu.. Gusti putri. Hamba akan ikut kemana pun gusti putri pergi. Namun, Apa rencana Gusti putri."
"Akan ku beritahukan padamu, tapi sebelum itu aku ingin kau memanggil Gendis dan Naratri. Aku pun butuh mereka."
"Baik Gusti."
Umah pun bergegas memanggil Gendis dan Naratri untuk masuk kedalam kediaman Daranindra junjungannya.
Ketika dua orang yang juga dayangnya itu masuk mengikuti Umah. Daranindra pun menanyakan hal yang sama seperti yang ia tanyakan kepada Umah.
Kedua dayang yang juga teman sepermainannya dulu itu pun turut menyatakan bahwa mereka setia kepada Daranindra. Daranindra merasa terharu dengan kesetiaan para dayangnya. Ia pun menyampaikan rencana kepergian dirinya dari istana kepada ketiga dayangnya itu, lusa. Tepat setelah acara pesta perayaan kelahirannya.
.
Daranindra telah rapi berbalut kemben berwarna hitam bersulam batik warna emas yang berkelap kelip. Dengan tapih kain jarit yang dililitkan sebagai rok. Setelah dimandikan dengan air bunga-bunga yang juga ditetesi ekstrak bunga mawar yang harum.
KAMU SEDANG MEMBACA
DARANINDRA
Historical FictionKisah keteguhan hati Putri Dyah Daranindra dari Kerajaan Kalingga memperjuangkan mimpi dan takdirnya. Kebahagiaan yang berada didepan mata sangat jauh tak tergapai setelah calon suaminya Rakai Pikatan putra mahkota Dinasti Syailendra dari Kerajaan M...