"Menungsa nduk, itu hanya raga yang diberi nyawa disertai pilihan untuk menjalankan angkara atau dharma. Dijadikan oleh Sang Hyang Widi sebagai kepanjangan tangan-Nya untuk mengatur bhumantara. Diberi akal serta hati untuk menjadikan bhumantara sentosa, hidup berdampingan, berjalan seimbang serta selaras satu sama lain." Suatu hari seorang resi tengah memberikan wejangan terhadap seorang muridnya. Sosoknya teduh laksana embun pagi hari yang membawa kesejukan dan ketrentaman. Kerutan-kerutan di wajahnya laksana melambangkan sebanyak apa ilmunya. Rambut serta jenggotnya yang panjang keperakan seolah memperlihatkan betapa ilmunya memancar bercahaya.
Membuat murid yang kini bersimpuh dihadapannya merasa tenang sekaligus memandang penuh minat terhadap Sang Resi. Dahinya mengernyit, bibirnya yang tertutup rapat sedikit bergetar. Nampaknya gadis muda itu mencoba sekuat tenaga menahan banyaknya pertanyaan yang muncul dalam benaknya agar tidak keluar, dan memotong wejangan sang resi. Sebab ia tahu Sang Resi belum akan menyelesaikan wejanganya.
"Jadi, bagi orang-orang yang berilmu tidaklah bijaksana jika dalam hidup kita yang singkat ini. dipergunakan untuk berbuat angkara murka, merasa diri paling baik diantara semuanya. Terlebih bagi orang-orang yang terpilih, janganlah kemudian menjadi buta dan serakah. Kelak, jika engkau di beri kesempatan untuk membaur bersama rakyatmu. Ingatlah satu hal, sesulit apapun kondisimu usahakan engkau utamakan budi, berbuatlah kebajikan, utamakan rakyatmu di atas kepentinganmu sendiri, walaupun itu hanyalah sekecil memberi segenggam beras. kita tidak akan tahu kebaikan itu akan berbuah apa kelak, tetapi yang pasti jika kita menanam kebaikan maka yang akan kita dapatkan adalah kebaikan juga" kata Sang Resi melanjutkan.
"Menjadi pemimpin yang ditakuti rakyat bukan suatu hal yang salah, akan membuat rakyat enggan untuk berlaku amoral. Akan tetapi janganlah kemudian kita menjadi buta dan tuli, hingga tanpa sadar menjadi tirani. Menjadi pemimpin yang dicintai rakyat termasuk hal yang utama. Suatu hari anakku, engkau akan mengerti apa yang akan engkau dan rakyatmu dapatkan dari sebuah keseimbangan dan keselarasan. Mengerti nduk?"
"Murid mengerti guru. Kelak murid akan berusaha melihat dan mendengarkan dengan lebih baik lagi."
"Semoga Sang Hyang Widi selalu membimbingmu anakku." Sang Resi tersenyum, tangan kanannya terulur memberikan berkat kepada sang murid, yang kini menunduk penuh takdzim.
Roro pengasih masih mengingat wejangan Resi Giri Laya gurunya, ditahun-tahun pertama dirinya menimba ilmu di Padepokan Giri Luhur.
Saat itu dirinya benar-benar menampilkan sosok keturunan Ratu Shima yang berkuasa, cerdas di atas rata-rata, gigih, angkuh disertai ego setinggi langit. Sosok Daranindra yang naif serta idealis sebab didikan sebagai penerus tahta sejak dini. Dirinya ditempa menjadi calon Ratu Kalingga masa depan meneruskan kepemimpinan nenek buyut serta ayahandanya.
Seorang keturunan ratu yang seharusnya mampu mengolah cipta, rasa dan karsa untuk memimpin negara. Sayangnya Daranindra juga hanyalah seorang manusia yang memiliki batasan dalam kesempurnaan meski ia penerus takhta yang dianggap titisan dewa. Menjadikan bumerang untuk dirinya sendiri.
Ketika suatu hari Padepokan Giri Luhur mengadakan latihan perang, dalam hutan. Masing-masing murid yang memiliki kecakapan di atas rata-rata mendapatkan kesempatan menjadi pemimpin sekelompok pasukan yang berjumlah tujuh orang. Meskipun Daranindra masih muda dan ia murid baru, namun ia memenuhi semua syarat untuk menjadi pemimpin. Hanya saja Resi Giri Laya memerintahkannya hanya menjadi wakil pemimpin kelompok. Hal ini membuat egonya sedikit terluka.
Saat itu ia masih menjadi Daranindra yang naif dan angkuh merasa lebih sanggup memimpin kelompok itu dari pada sang pemimpin, Arya Nalandara. Tidak mengacuhkan saran anak buahnya yang merupakan murid lama, yang mengetahui seluk beluk medan laga yang berupa hutan belantara. Hal itu menyebabkan kegagalan serta petaka karena Daranindra telah lalai. Menyebabkan anggota kelompoknya celaka. Bahkan, Arya Nalandara mendapatkan luka yang cukup parah karena menyelamatkannya. Hal yang membuatnya merasa terpukul.
KAMU SEDANG MEMBACA
DARANINDRA
Historical FictionKisah keteguhan hati Putri Dyah Daranindra dari Kerajaan Kalingga memperjuangkan mimpi dan takdirnya. Kebahagiaan yang berada didepan mata sangat jauh tak tergapai setelah calon suaminya Rakai Pikatan putra mahkota Dinasti Syailendra dari Kerajaan M...