4. Gunung Tugel

57 7 0
                                    

Sang mentari masih malu-malu menampakan sinarnya. Bahkan embun-embun di dedaunan pun asyik menetes ria dari pucuk daunan. Para burung sendiri masih terlalu malas untuk keluar dari sarangnya. Suasana masih sunyi serta temaram. Namun, langkah para dayang istana berirama serentak dan saling bergesekan dengan tanah. Mereka pun sesekali saling berbisik ria memecah keheningan dengan temannya.

Roro pengasih dan ketiga dayangnya berada dibarisan paling akhir untuk memudahkan mereka meninggalkan rombongan. Di depan mereka ada tiga orang dayang lain yang lebih muda berjalan tidak seberapa jauh.

"Hei kalian bertiga.!" Teriak umah.

"Apakah Nyonya memanggil kami?" Tanya salah seorang dari ketiga dayang itu.

"Siapa nama kalian?" Tanya Daranindra ketika sudah dekat dengan ketiga dayang itu. "Apa kalian dayang baru?"

"Iya nyonya kami bertiga dayang baru, baru sepekan di istana untuk mempersiapkan pesta Gusti Putri Daranindra. Saya Wati, dan kedua teman saya Suwitri dan Suwitra." Kata gadis yang lebih berani itu daripada keduanya.

"Oh begitu, Kami adalah dayang putri Daranindra, kami ingat bahwa kami harus menghadap sang putri saat ini. Bisakah kalian membawakan gerabah ini untuk kami?" Kata Umah kepada ketiga dayang tadi.

Wati mengingat wanita paruh baya yang berkata kepadanya tadi memang kemarin ketika pesta selalu membuntuti kemanapun Putri Daranindra pergi ketika pesta kemarin. Sehingga iya mendadak merasa takzim kepada Umah karena dia adalah dayang senior.

"Tentu Nyonya. Dengan senang hati kami membantu dayang dari kediaman Gusti putri. Itu merupakan sebuah kehormatan bagi kami."

Kemudian Umah dan Naratri menyodorkan dua bakul gerbah kepada Suwitri dan Suwitra setelah memberikan sedikit beban mereka kepada Wati. Kemudian mereka bertiga undur diri dari hadapan para datang senior tadi. Roro pengasih dan ketiga dayangnya pura-pura berbalik arah. Setelah ketiga dayang muda tadi berjarak cukup jauh mereka melanjutkan perjalanan menyusul kearah ketiga datang muda tadi.

"Naratri kapan kita akan sampai ditempat tujuan?" tanya Roro pengasih berbisik pada Naratri.

Naratri yang sudah mengerti apa yang dimaksud oleh junjungannya menjawab.

"Sebentar lagi kita akan sampai, tidak jauh lagi dari sini, sebelah kiri diantara gerbang dua beringin."

Roro Pengasih hanya menganggukan kepalanya. Benar kata Naratri tak berlangsung lama setelah itu mereka akan melewati jalan diantara dua pohon beringin yang dahan dan rantingnya saling menyatu seolah-olah berusaha saling mengait satu sama lain membentuk gapura alami.

Roro Pengasih dan para dayangnya berusaha tetap menjaga jarak dari para dayang istana lainnya. Ketika memasuki gerbang beringin, Roro Pengasih pura-pura meletakan bakul kosong berisi pekerjaanya seolah-olah ia lelah hendak membetulkan posisi gendongan bakul yang ia bawa, diikuti oleh emban Umah, Gendis dan Naratri. Melirik ke arah perginya dayang muda istana yang belakang tadi, sudah tidak terlihat. Di belakang mereka pun sedah tidak ada lagi dayang istana yang tertinggal. Segera saja mereka menyelinap di balik pagar tanaman semak yang berjajar di kiri kanan jalan setapak tersebut menuju ke tempat dimana perbekalan mereka telah disembunyikan dengan baik oleh Naratri.

"Dinda, kita sudah sampai." kata Naratri sambil merogoh lubang dari sebuah pohon jati besar yang sudah tua. Lalu ia mengeluarkan buntalan kain sebanyak enam buah untuk diberikan kepada teman-temannya.

"Kantung ini sudah saya isi dengan pakaian bahan makanan dan beberapa belati untuk berjaga-jaga sebagai senjata tambahan. Selain itu belati juga berguna jika nanti kita perlu mengolah makanan." Kata Naratri.

Gendis pun merogoh beberapa senjata lagi dari dalam lubang pohon. Mengambil pedang yang ia serahkan kepada Naratri dan umah, serta satu lagi untuknya, ada busur dan anak panah untuknya juga.

DARANINDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang