1. Mendung Berarak

111 10 0
                                    

Rintik hujan membasahi ibu bumi. Seakan sang bapak langit tengah menangisi takdir yang membuatnya tak mampu merengkuh sang kekasih.
Awan kumulus pun ikut menyelimuti sang bumi, menghalanginya dari pandangan langit, bahkan ia seakan menutupi cakrawala dari hangatnya mentari fajar.

Ohh... Begitu dingin.

Sedingin hati Putri Daranindra, mendinginkan airmata yang mengalir dipipi putihnya. Ia merindukan kehangatan mentarinya. Menatap pada kawanan burung beterbangan kian kemari berpasangan. Mencari naungan bagi masing-masing pasangannya. Berarak kian kemari seakan memamerkan pada sang putri.

Lihat kami tak sendiri sepertimu!! Kami selalu bersama bahkan ketika badai akan datang menerjang!!!

Sang putri mengepalkan buku jari-jarinya. Menahan terenyuh serta kepedihan hatinya.

Oh.. Kanda mengapa kau biarkan aku sendiri.

Apa salahku kau meninggalkanku.

Apa aku tak berarti bagimu.

Hingga kau menyerah begitu saja pada takdir yang mampu kau ubah.

Maafkanlah daku yang tak berada disisimu disaat terakhirmu.. Kanda!

Di teras istana sisi lain. Paduka Airlangga dan Prameswari Pitaloka memandang pilu sang putri. Bahkan sebagai raja yang seharusya mampu melakukan apapun, ia tak mampu untuk membuat putri tercintanya tersenyum. Sesudah berbulan-bulan tragedi yang mengakibatkan sang putri tenggelam dalam duka.

"Kanda akankah kita biarkan putri kita seperti itu terus-menerus? Dinda tak sanggup melihatnya." isak Prameswari.

"Ntahlah, Kanda tak mengerti harus berbuat apalagi untuk menyembuhkan sakit dihatinya yang terlampau dalam."

"Rakai Pikatan amat sangat memikat hatinya, hingga sampai saat ini ketika ia telah tiada pun masih mampu membuat putri kita sedemikian tenggelam dalam duka."
"Tenanglah dindaku. Jangan kau ikut terlarut dalam sedih. Cukup putri kita, dan kau harus membantuku menolongnya. Jadi kuatkanlah dirimu, agar putri kita juga kuat."
Paduka Airlangga merapatkan tubuh istrinya ke pelukannya agar istrinya merasa lebih tenang.

"Dayang, panggil Mahapatih Arya Tadah ke kediamanku"

"Sendhika dhawuh gusti." jawab dayang.

0•0~0•0

Di sebuah rumah milik seorang adipati. Tampak duduk seorang pria mengenakan pakaian kebesaran adipati tengah mendengarkan laporan dari pengawalnya.

"kau yakin itu?"

"yakin kanjeng. Hamba sudah menyebarkan seluruh anak buah hamba keseluruh penjuru Pangandaran. Kami hanya menemukan pakaian sobek berlumur darah dan sudah dipastikan dia sudah mati, mungkin mayatnya dimakan binatang, Adipati."

Pria yang disebut adipati itu tersenyum puas. Namun wajah bengisnya malah menampilkan senyum yang mengerikan.

"Baiklah, ini bayaranmu. Seperti yang kujanjikan. 1000 koin Ma." Kata Adipati sambil menyodorkan sekantung uang bayaran sang pengawal. "dan ingat pergilah sejauh mungkin, pastikan kau jaga mulutmu itu atau kepalamu yang jadi taruhannya."

"sendhika dhawuh kanjeng." kata pengawal yang kemudian pamit pergi bersiap meninggalkan Kerajaan Galuh sejauh mungkin. Sambil berkhayal akan ia gunakan untuk apa uang sebanyak itu. Ia tersenyum senang

Sementara itu Sang Adipati memanggil hulubalang kepercayaannya.

"Aku ada tugas untukmu..." sang adipati membisikkan perintah pada hulubalangnya.

"Baik kanjeng, hamba laksanakan"

"pergilah."

Kau milikku!

0•0~0•0

Paduka Airlangga tengah duduk di kursi kerjanya, merenungkan hal terbaik untuk putrinya. Ketika pengawal di depan ruangannya menyerukan kedatangan Mahapatih Arya Tadah. Setelah dipersilahkan masuk, munculah Mahapatih Arya Tadah.

"Hormat saya Gusti."

"Kutrima, aku memiliki tugas untukmu Mahapatih."

"Apa kiranya tugas itu Gusti.?"

"Mahapatih, segera sebar undangan kepada para adipati di seluruh penjuru negri serta pangeran dan raja kerajaan tetangga. Bahwa kita akan mengadakan pesta perayaan ulang tahun putri yang ke 17. "

Ulang tahun kelahiran Putri Daranindra jatuh sekitar dua minggu lagi.

"Gusti, apakah Raden Ayu Putri Daranindra mengingikannya.? Hamba takut Raden ayu menolak dilaksanakan perayaan ini, melihat kondisi dari Raden ayu, Gusti." kata mahapatih.

"Aku hanya berusaha menolong putriku mahapatih. Kau pasti mengerti aku, sebagai orang tua aku tidak sanggup melihat penderitaan putriku Mahapatih."

"Hamba mengerti Gusti."

"Satu lagi beritahukan juga kepada rakyat pedesaan untuk mengikuti perayaan di alun alun ibukota."

"Baik Gusti. Hamba pamit." Mahapatih pun undur diri.

Semoga kau senang putriku...

0•0~0•0

*sendhika dhawuh gusti : iya baiklah yang mulia / tuan

*kanjeng : tuan

*Koin MA (Masa) : mata uang yang digunakan pada zaman Dinasti Syailendra dibuat menggunakan emas atau perak. Berbentuk kotak berukuran 6x6,7mm berukir aksara devanagari "Ta" disatu sisi, dan disisi lain berukir incuse bernama "sesame seed" untuk koin emas.
Sedangkan untuk koin perak berukuran 9x10mm berukir aksara devanagari "Ma" dengan ukiran incuse bunga cendana disisi lain.
1 Masa = 2,4 gram
1 Atak  = 1,2 gram  = 1/2 Masa
1 kupang = 0,6 gram  = 1/2 Atak = 1/4 Masa
1/2 kupang = 0,30 gram
1 Saga = 0,119 gram

#selamat membaca

DARANINDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang