5 ㅡ The Coinscience

383 68 2
                                    

Cincin bermata biru ditangan Jay terlihat sangat cantik, tapi pergolakan terjadi dalam hatinya. Ia menimbang apakah ia akan tetap menjaga nuraninya atau mengabaikan fakta bahwa si pemilik cincin mungkin saja sedang panik mencari cincin ini.

"Benar, anak itu sepertinya kaya. Dia pasti punya banyak cincin seperti ini bukan?"

Jay melirik pada kulkas kecil yang tak berisi dan tumpukan baju lusuhnya. Lalu pada ruangan yang ia tinggali, atapnya berwarna coklat akibat rembesan air, pemanasnya sudah tidak pantas di sebut pemanas lagi karena tidak panas. Ia juga tidak memiliki uang untuk membayar sewa bulan depan, membayar utang dan yang paling mendesak adalah tentu saja dia harus membayar uang semester kuliah karena semester baru akan segera dimulai, dia bisa dropout kali ini jika tidak bisa membayarnya.

"Baiklah Jay, saatnya untuk memikirkan dirimu sendiri" Jay kemudian beranjak dari duduk dan mengambil bomber jaket yang tergantung didekat pintu.

Jay menuruni anak tangga dengan hati yang mantap, ia melangkahkan kakinya menuju pasar barang bekas untuk menemui satu-satunya kenalan disana. Pria yang akan dia temui adalah pemilik toko perhiasan dan juga pria yang tinggal  di sebelah rumah lama nya.

"Roby"

"Jay? Sudah lama kamu tidak kemari" Dahulu, Roby bisa bertemu Jay setiap Minggu karena Jay menjual satu-persatu perhiasan mendiang ibunya untuk bertahan hidup.

"Roby aku akan langsung saja karena aku sibuk."

Jay mengeluarkan cincin biru yang tertutup kain putih dari sakunya, Roby menatap cincin itu dengan takjub.

"Jay kamu dapat darimana ini? Ini aslikan?" Mata Robby berbinar saat melihatnya, seakan telah mendapatkan harta karun Flying Dutchman yang hilang.

Jay tidak bisa menjawabnya.

"Ini cincin ibumu lagi?"

Jay mengangguk dengan gugup.

"Kau tau? Ini benar-benar mahal dan langka, aku akan memberimu uang muka. Saat ini terjual dengan harga tinggi, aku akan membayar sisanya"

"Berapa? Berapa yang kau berikan?"

"3 juta sebagai uang muka."

"3 juta? Apa semahal itu?"

"Iya ini batu yang sangat langka, kolek..."

"Baiklah-baiklah sekarang berikan uangnya."

Jay kemudian pergi setelah roby mentransfer uangnya ke rekening Jay. Tiga Juta, itu jumlah yang sangat besar, sepuluh kali lipat dari gajinya saat bekerja di restoran. Dia bisa membayar uang sewa, membayar uang kuliah dan membeli makanan dengan semuanya.

Dering ponsel mengagetkannya, nomor tidak dikenal tertulis dilayar. Siapa?

"Halo?" Jay menjawab telpon itu dengan ragu.

"Kak Jay? Ini aku.." Suara familiar terdengar dari balik telpon.

"Siapa? Ah ini Juny?" Jay segera mengenali pemilik suara dibalik telpon.

"Iya."

"Umm, apa kamu butuh bantuan?"

"Tidak kak, aku ingin bertanya apa disana ada cincin dengan permata mata biru?"

"Cincin?" Jay sedikit gugup karena pada akhirnya Juny menanyakan perihal cincin itu.

"Iya."

"Tidak ada." dengan tergesa-gesa ia menjawabnya.

Ada jeda yang canggung setelah kalimat itu.

"Itu..maksudku, aku baru saja membereskan kamar dan tidak ada cincin"

"Baiklah" Juny menutup telponnya begitu saja, suaranya terdengar sedikit lesu, apa dia sakit? Atau terpikir akan cincin itu?

"Aaaaah" Jay berteriak melepaskan pikirannya yang bekecamuk, ia lupa bahwa ia masih berada di pinggir jalan. Orang-orang yang berlalu lalang menatapnya dengan aneh.

"Sudahlah apa yang terjadi sudah terjadi, uangnya sudah ditanganku"

"Aku pulang!" meski tidak ada siapapun lagi dirumahnya, Jay selalu meneriakkan kata itu setiap kali ia membuka pintu. Jay menurunkan barang belanjaan miliknya yang sangat banyak, ia sudah lama tidak memiliki kemampuan untuk menghabiskan banyak uang. Bahan makanan, buku, pakaian, sepatu, apapun itu yang dibutuhkan ia sudah membelinya. Jay merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur lalu meraih ponsel dari dalam saku jaket.

Tidak ada pemberitahuan apapun, bahkan pesan spam penipuanpun enggan untuk mengirim pesan padanya. Hidup yang sebatang kara sepi, tak ada teman atau keluarga. Ia lalu melihat-lihat foto di gallery ponselnya dan tersenyum ketika melihat foto kucing putih yang tadi ia temui di jalan. Entah kenapa rasanya kucing itu mengingatkannya pada seseorang.

Ah, Juny.

Itu Juny.

Kucing itu mengingatkan Jay pada Juny.

"Apa anak itu masih mencari cincinnya? Tidak kan? Sepertinya tidak." Jay meyakinkan diri sendiri.

Jay kemudian menghitung sisa uang yang ia miliki. Setelah ia gunakan untuk membeli kebutuhan, membayar uang kuliah dan membayar uang sewa apartemen uang itu masih tersisa banyak, cukup untuk biaya hidupnya selama satu bulan.

"Baiklah Jay, malam ini kita akan makan enak." Jay sudah lama sekali tidak memakan makanan enak, hanya mie instan, kimbab, atau onigiri yang selama ini mengisi perutnya

Malam ini tidak kalah dinginnya dengan malam-malam kemarin, jalanan juga sama sepinya, tapi hari ini suasana hati Jay sedang cerah. Ia tidak harus mengirit dan bisa lebih leluasa dalam hal uang. Setidaknya untuk beberapa bulan kedepan. Tapi semua itu tak belangsung lama, matanya menangkap sesosok familiar sedang terhuyung-huyung tak berdaya tak jauh dari tempatnya berdiri.

"Juny sedang apa disini?" Jay dengan sigap menangkap tubuh Juny yang hendak rubuh.

Juny tidak menjawab, tubuhnya terlalu lemas untuk berkata.

"Juny, apa kamu sakit?"

"Kak Jay?" Juny hanya mengatakan hal itu sebelum akhirnya pingsan.

"Ya Tuhan, apa kau serius? Lagi?"

Suasana hatinya yang tadi cerah seketika berubah, ia kembali dihantui rasa bersalah setelah melihat Juny. Lagipula apa yang anak ini lakukan disini? Dia sedang tidak mencari cincin itukan?

Karena rasa bersalah, tanpa ragu dia membawa Juny pulang, untuk kedua kalinya.

9 LivesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang