21 ㅡ He is special?

229 44 2
                                    

"He is special."

"He is special."

"He is special."

Jay terus mengulang-ulang kalimat itu dikepalanya, dia sama sekali tidak konsentrasi mendengarkan professor yang sedang memberikan kuliah di depan. Apa maksud Sun? Juny spesial? Kenapa? Jay mengernyitkan dahinya, tangannya terus mencoret-coret buku dengan acak. Lalu dia berhenti ditengah-tengah seakan telah mengetahui sesuatu.

"Apa mungkin Sun suka pada Juny? In the first sight?"

"Tidak-tidak, tipe Sun adalah yang seperti Sean anak Fakultas Teknik itu."

"Tapi itu dia...sebenarnya Juny itu tampan kalau dia bisa bergaya sedikit."

Jay terus berdebat dengan dirinya sendiri untuk mengendurkan rasa tidak nyaman atas kesimpulannya bahwa Sun menyukai Juny.

Jay mengalihkan pandangan keluar jendela, dia ada di lantai 6 dan tepat disebrangnya adalah perpustakaan. Seekor kucing putih terlihat diatas kanopi jendela, Jay merasa kucing itu sedang memperhatikan dirinya.

"Apa karena aku sedang memikirkan Juny ya, sampai kucing itu terlihat mirip dengan Juny?"

Jay teringat soal kucing yang dia temui di dekat apartemennya dulu yang mirip dengan Juny dimalam saat Juny pingsan, "Malam itu juga aku melihat kucing yang mirip dengan Juny, entah anak itu yang mirip kucing atau kucing yang mirip Juny aku bingung" Jay tersenyum kecil saat mengingatnya.

Juny mengankat plastik pembungkus Sop Instan dari microwave dengan hati-hati, lalu menuangkannya pada mangkuk putih besar, dia tidak tega jika terus membiarkan Jay memakan Roti. Ayam itu berkilauan serta mengeluarkan aroma khas masakan dan terlihat sangat menggoda. Juny menelan ludahnya, dia tidak bisa menyantap ini dulua. Lagipula berdasarkan firsatnya Jay akan segera sampai.

Firsatnya benar, seseorang membuka pintu. Jay muncul dan berjalan dengan pelan, tangannya sudah membaik jadi perbannya sudah dilepas tinggal kakinya saja yang masih terbalut perban.

"Kak Jay makanlah, aku menyiapkan sup." Juny menarik kursi makan dan mempersilakan Jay duduk.

"Juny memasak ini?" Tanya Jay tidak percaya menatap semangkuk sop ayam.

Juny mengangguk dengan bangga.

"Kamu tidak melukai dirimu sendiri kan?"

Juny menunjukan kedua tangannya, bersih.

"Bagus, anak pintar!" Jay mengelus rambut Juny dengan lembut "Tapi Juny itu apa?" Jay menunjuk bungkus kosong Sop Instan itu.

"Memanaskan Sup Juga dibilang memasak tau." jawabnya cemberut.

"Iya-iya, karena ini dipanaskan sama Juny rasanya jadi enak." ucap Jay dengan menyeruput kuah sop.

"Juny, mau belajar masak?" Tanya Jay.

Juny mengangguk.

"Tentu saja, kamu harus jadi saat Kak Jay pergi dari sini kamu bisa memasak sendiri"

Kenyataan itu menamparnya, benar juga mereka hanya sementara tinggal bersama sampai cincin Juny ditemukan.
Suaranya tersendat, setelah cincin itu kembali Juny tidak memiliki hak dan alasan apa-apa lagi untuk membuat Jay tinggal.

"Iya."

Jay tersenyum, dia menyesal telah salah memilih topik untuk bicara karena suasananya menjadi canggung dan berat. Kalau boleh jujur sebenarnya dia senang tinggal disini, bukan masalah rumahnya yang besar dan dekat dengan kampus, tapi karena ada sosok bernama Juny yang tinggal bersamanya. Tapi dia tidak mungkin tinggal disana selamanya dan bergantung pada Juny apalagi setelah apa yang dia lakukan.

"Juny tau tidak, tadi saat aku dikelas aku melihat ada kucing yang mirip denganmu." Jay mengalihkan pembicaraan untuk mencairkan suasana.

Juny terbatuk saat meneguk air.

"Ahh kucing, iya kucing aku memang sering disebut mirip kucing." jawabnya dengan gugup.

"Iya mirip sekali, apalagi sekarang." Jay tersenyum kecil saat melihat Juny mengelap pakaiannya yang basah karena air minum tadi.

"Juny tadi aku melihat setumpuk kardus makanan kucing didekat garasi, untuk apa? Kamu akan memelihara kucing?"

"Ooh, itu.." Juny sedikit ragu untuk memberitahukan Jay "Karna aku tidak memiliki teman manusia, jadi saat aku berulangtahun aku merayakannya dengan kucing-kucing dan memberikan mereka makanan."

"Oh street feeding?"

"Iya seperti itu."

"Kalau begitu, aku boleh ikut?"

"Tapi kak Jay masih sakit"

"Loh memang ulangtahunmu kapan?"

"Minggu depan."

"Tapi ini masih awal Februari"

"Lalu kenapa?"

"Namamu Juny, jadi aku pikir kamu lahir di bulan Juni."

Juny tersenyum kecil "Juny itu nama dari panggilan dari mendiang ibuku, nama asliku Johnny, tapi karna terlalu sering dipanggil Juny jadi aku merasa asing dengan nama asli."

"Tapi kamu memang lebih cocok dipanggil Juny."

"Benarkan? Aku juga lebih suka nama itu."

Jay tertawa "Tapi kita sama, nama asliku Jasperine, tapi mendiang ibuku memanggilku dengan sebutan Jay, meski banyak orang yang berkomentar karena Jasperine dan Jay tidak terdengar mirip tapi aku jadi lebih terbiasa dengan nama Jay"

"Wah benarkah? Sebenarnya kita memang banyak kemiripan" Juny tertawa kecil.

"Memang apa selain nama?"

"Kita sama-sama sebatang kara."

"Tapi walaupun sebatang kara kamu tidak melakukan hal memalukan sepertiku."

"Tidak, aku melakukan hal yang lebih memalukan dari kak Jay."

"Aahhh..."

"Malam itu kak Jay bertanya apa aku ingin membunuh diriku sendiri? Aku tidak bisa menjawabnya karena benar"

Jay memang sudah menduganya tapi pengakuan ini tetap saja mengejutkan, apa yang sudah anak ini lalui hingga dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya?

"Kenapa?"

"Rasanya berat sekali tapi setelah melihat Kak Jay aku jadi malu. Aku bukan satu-satunya yang menderita di dunia ini tapi kenapa aku sangat lemah sementara Kak Jay menjalani hidupnya dengan baik meski mengalami hal yang serupa dengaku? Aku sangat malu" matanya berkaca-kaca.

"Juny, tidak apa-apa." Jay memeluk Juny "Saat kamu merasa sedih, jangan membandingkan dirimu dengan orang lain, kamu hidup di dunia mu, dunia dimana Juny adalah pusatnya jadi jangan bilang kamu tidak pantas bersedih hanya karna orang lain yang mengalami hal yang sama tidak sesedih kamu." sambungnya.

Jay mengelus rambut Juny dengan lembut.

"Kak Jay bisa seperti ini karna kak Jay punya alasan untuk tetap hidup. Jadi, Juny carilah alasan untukmu bertahan dan hiduplah dengan normal." Jay menunjuk dada Juny "Jangan sembunyi dari dunia tapi hadapilah, Juny punya keberanian dari dalam sini, tapi keberanian itu masih sembunyi karna takut pada Juny yang selalu menyalahkan diri."

"Alasan untuk hidup itu, apa? Apa yang Kak Jay miliki?"

"Keinginan seumur hidup ibuku." Jay tersenyum "Hidup dengan bahagia."

Keinginan terakhir yang Ibunya ucapkan pada Jay adalah keinginan untuk melihat Jay bahagia dan berdiri diatas kakinya sendiri. Sepertinya keinginan itu perlahan mulai terwujud.

9 LivesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang