Jay menatap Juny dengan penuh rasa iba, wajah Juny kali ini jauh lebih pucat daripada kemarin, sekujur badannya panas tapi telapak kaki dan tangannya dingin. Jay dengan telaten mengganti kompres di dahi Juny dan memastikan tubuh itu terbalut selimut dengan hangat.
Salju turun dipertengahan Desember, ini bisa jadi salju pertama yang dia lihat di musim dingin tahun ini. Orang bilang, melihat salju pertama dengan orang yang dicintai akan membuat cintanya langgeng, tapi dia tidak pernah sekalipun melakukan itu, alih-alih dengan orang yang dicintai dia kini malah merawat orang asing yang kebetulan muncul didepannya.
Jay menatap setiap kepingan salju dengan seksama, ia mengenang saat-saat ia kecil yang dengan kegirangan menyambut setiap salju turun, lalu membentuk manusia salju dihalaman rumah dengan kakak-kakaknya. Masa kecilnya sangat bahagia dan hangat, 180 derajat berbeda dengan keadaannya saat ini. Sejak kejadian itu, dia tidak pernah memiliki momen-momen sentimental yang bisa menjadi kenangan di masa depan. Masa mudanya ia lalui dengan bekerja dan belajar sekeras mungkin.
Deru nafas Juny terdengar semakin keras, ia terlihat benar-benar kesulitan untuk bernafas. Jay mendudukkan tubuh Juny agar ia bisa bernafas lebih baik. Kini Juny bersandar pada tembok dibelakang tempat tidur.
"Kak Jay?"
"Iya?"
"Maaf aku merepotkanmu lagi." Wajahnya pucat dan lemas, dia terlihat sangat sakit.
"Tidak apa-apa. Sakit?"
Juny menganggukan kepalanya, dia memukul-mukul dadanya dengan pelan "Sesak...."
"... dan dingin" matanya menatap Jay dengan sayu.
"Mau ku antar kerumah sakit?"
"Tidak, Jangan. Jangan pernah membawaku kerumah sakit" Juny menjawabnya dengan panik.
"Iya, tenanglah aku tidak akan membawamu. Sekarang tidurlah, katakan padaku jika kamu butuh sesuatu"
"Dingin"
"Sedingin itu?" Jay merasa heran karena Juny sudah dibalut dengan tumpukan selimut dan penghangat ruangan sudah berada di angka maksimal, ia bahkan tidak merasakan apapun hanya dengan menggunakan jaket biasa.
Jay memeluk Juny untuk menghangatkan tubuhnya.
"Jangan berpikir macam-macam, hanya ini cara terakhir." Jawabnya dengan gugup. Jay memang seperti itu, meski dia terlihat tangguh dari luar, tapi hati dan perasaannya benar-benar lembut. Dia adalah penolong yang tak pernah membedakan siapapun orang yang dia tolong.
"Tidak, aku tidak berpikir macam-macam."
Kemudian hening merayap. Juny tidak berkata apa-apa lagi, mungkin dia sudah merasa aman dan hangat.
"Juny, kamu tertidur?"
Tak ada jawaban.
Juny menyandarkan kepalanya dibahu Jay. Sebenarnya Jay merasakan pegal sejak tadi, tapi ia sama sekali tidak tega untuk membangunkan Juny agar beranjak dari bahunya, bagaimanapun Jay yang menawarkan pelukan itu. Jay memperbaiki posisi selimut dan memastikan tubuh Juny agar benar-benar hangat.
ㅡ
Roy menyambut pagi dengan kicauan khasnya, kini ia bertugas untuk membangunkan dua orang. Roy berkicau semakin keras karena keduanya sama-sama sulit di bangunkan. Kedua kalinya Juny terbangun ditempat dan waktu yang sama, namun kali ini lebih aneh lagi karena Jay memeluknya dengan erat. Dia tidak berkutik, matanya tepat berada di depan dada Jay.
Juny mencoba menggerakkan badannya tapi tidak bisa karena Jay memeluknya terlalu erat. Wajah Juny sedikit memerah karenanya, saat seperti ini dia benar-benar tidak tau apa yang harus dia lakukan. Wajahnya semakin memerah kala ia mengingat kejadian semalam.
"Dingin? Juny apa yang kamu pikirkan??" rutuknya dalam hati.
'Tok-tok' seseorang mengetuk pintu Jay "Jay, keluarlah aku ingin berbicara sesuatu."
"Apa kakak ini hidupnya benar-benar tidak tenang ya? Ada saja yang mengetuk pintu dan memarahinya." kata Juny dalam hati, ia lalu kembali pura-pura tertidur untuk menghindari kecanggungan saat Jay terbangun.
"Emmmm....." Jay terbangun mendengar teriakan dari luar dan perlahan membuka mata.
Ia salah tingkah saat mendapati Juny masih tertidur lelap dipelukannya dan tidak percaya kenyatan bahwa ia tertidur seperti itu dengan orang asing sepanjang malam.
"Jay!" Suara itu kembali memanggil Jay dengan keras.
"Iya...iyaaa." Jay mengenali suara itu, itu adalah suara ibu pemilik gedung, ada apa gerangan pagi-pagi sekali mengunjungi Jay? Bukankah kemarin Jay baru saja melunasi uang sewa?
"Ada apa?" Jay membukakan pintunya dengan malas.
"Ini ku kembalikan." Ibu pemilik gedung memberikan segepok uang yang terbungkus rapi didalam amplop putih.
"Kenapa? Apa sekarang sewanya gratis?"
"Tidak, aku sudah berhasil menjual gedung ini dengan harga tinggi. Uang itu sudah kutambahkan dengan depositonya. Semua penghuni setuju untuk pindah"
"Tidak, ibu tidak bisa seenaknya seperti ini!"
"Sudahlah, kosongkan tempat ini dalam waktu satu minggu"
"Satu minggu? Bagaimana mungkin aku bisa menemukan tempat baru dalam satu minggu?"
"Bukan urusanku."
"Yaaa! Sialan, Bu apa kau tau aku harus mengabaikan hati nuraniku dan membuat diriku sendiri menjadi seorang penjahat untuk uang ini!"
Ibu pemilik gedung pergi meninggalkan Jay yang sedang dongkol, Jay kemudian membanting pintunya dengan keras.
"Aaah, Sialan! Kenapa tidak bisa sehari saja aku menjalani hidupku dengan tenang? Pindah? Aku harus pindah kemana??!"
Jay mendapati Juny sedang menatapnya dari tempat tidur, ia lupa Juny masih ada disana.
"Juny, kamu sudah bangun?" Jay mendekati Juny, saat dia melihat Juny ia seketika lupa akan masalahnya.
"Kamu tidak apa-apa? Apa masih sakit? Masih terasa dingin?" Rentetan pertanyaan buah kekhawatiran Jay menghujani Juny.
"Tidak apa-apa kak."
Juny merasa badannya tidak sesehat biasanya, tetapi ini lebih baik dari semalam. Semalam itu, rasanya ia seperti sedang sekarat, ia bahkan tidak pernah merasakan rasa sakit itu sebelumnya meski ia terjatuh dari atas gunung sekalipun. Rasanya dingin dan sesak, seperti ada yang merenggut paksa isi dari dalam dada.
"Lalu apa?" Jay bertanya sendiri di dalam hati, bukannya saat seperti ini harusnya Jay mengatakan betapa ia senang mendengar Juny baik-baik saja, tapi rasanya terlalu canggung untuk mengatakan itu. Mata keduanya saling beradu dengan perasaan masing-masing.
"Kak Jay...." Juny membuka keheningan.
"Ya?"
"Kak Jay tidak akan menawariku makan?"
"Ooh, kamu lapar." Jay segera mengalihkan pandangannya saat sadar bahwa ia sudah memandangi Juny terlalu lama.
"Telur ceplok."
"Ya?"
"Aku ingin makan telur ceplok buatan kak Jay."
"Baiklah aku akan membuatkanmu yang banyak."
Juny masih duduk ditempatnya, ia memandangi amplop putih yang tergeletak dilantai. Isinya mengintip dari atas amplop itu, segepok uang dengan pecahan 50 ribu.
"Aah, ini... ini uang sewa rumahku" Jay mengambil amplop itu dan menyimpannya di lemari.
"Makanlah." Jay kembali dengan sepiring telur ceplok.
"Kak Jay, tinggalah bersamaku."
"Uhukk." Jay menyemburkan air putih yang sedang ia minum hingga sedikit mengenai Juny.
ㅡ
KAMU SEDANG MEMBACA
9 Lives
Fanfic"Kamu tau? Sebelum kamu muncul dihadapanku, aku sedang berdoa pada tuhan" "Apa" "For give me love or luck, dan kamu muncul dihadapanku atas jawaban keduanya" Juny telah menjalani kehidupannya dengan penuh kesia-siaan. Merasa bersalah atas hal yang t...