14 ㅡ Memories

249 51 0
                                    

Jay kembali dengan lesu, sepulang dari tempat Jean dia langsung mengunjungi makam mendiang ibunya dan duduk seharian disana. Awal Januari, suhu masih cukup dingin, apalagi ditengah pemakaman terbuka. Juny yang sedang makan malam melihat Jay berjalan tanpa energi, kulitnya pucat dan bibirnya membiru, tapi Juny menahan hati untuk tidak memedulikan Jay. Dia hanya langsung menyantap makanannya dengan lahap. Sementara Jay langsung masuk ke kamar tanpa melihat Juny sedikitpun.

"Cih memangnya aku ini tidak terlihat." Juny menggerutu karena Jay sama sekali tidak berbicara sepatah katapun.

"Hahh aku ini kenapa?" Juny menepuk-nepuk pipi agar sadar dan terus mengabaikan Jay, tapi kenapa dia tidak suka diabaikan oleh Jay?

Jay terbangun hampir tengah malam, dia memutuskan untuk keluar untuk mencari udara segar. Dia hanya duduk dengan kosong menatap pintu kamar Juny yang terlihat dari kursi di ruang keluarga.

"Dia pasti sedang tidur kan?" Jay menghawatirkan Juny akan berkeliaran malam-malam seperti ini untuk mencari cincin itu.

Jay merindukan waktu ketika dipenuhi canda tawa, Jay dan Juny akan bercengkrama atau sesederhana menonton tv sampai tengah malam. Beberapa kali bahkan mereka tertidur bersama di sofa dengan televisi yang masih menyala. Jay akan mendapati dirinya terbangun sendirian karena Juny sudah tertidur dikamarnya.

Jay kemudian menyadari bahwa pada hari-hari itu, setelah Jay tertidur, Juny akan menyelinap keluar untuk menyusuri jalan mencari cincin dan kembali pada dini hari lalu tertidur dikamarnya sampai siang. Meski dia tidak mengerti kenapa anak itu harus mencarinya di tengah malam, di musim dingin. Mengingat hal itu membuat Jay semakin merasa bersalah pada Juny.

Pandangan mereka beradu saat Juny tiba-tiba keluar dari kamarnya, Jay mengalihkan pandangan dengan canggung. Juny menghampiri kulkas dan mengambil sebotol air tanpa mengucapkan sepatah katapun.

"Aku sudah menemukan cincin itu." ucap Jay memecah keheningan.

Juny menghentikan langkahnya yang sedang menaiki anak tangga.

"Terus?"

"Pemiliknya sedang berada diluar negeri, aku akan mendapatkannya segera setelah dia pulang."

"Baiklah, lebih cepat lebih baik."

"Iya aku akan berusaha."

"Katakan padaku jika kamu akan mengambilnya, kita ambil sama-sama."

"Iya, jika itu maumu."

"Lalu, jangan pikirkan soal bagaimana membayarnya. Aku yang akan membayarnya."

"Tidak, Juny ini tanggung jawabku."

"Orang ini pasti membeli dengan harga lebih mahal dari uang yang kamu terima bukan?"

"Ah bagaimana anak ini tau?" kata Jay dalam hati, dia hanya bisa mengangguk.

"Kamu punya uang? Aku tidak ingin kamu membelinya dengan uang hasil curian."

"Aku tidak pernah mencuri, setidaknya ini pertama dan terakhir kali. Jadi, Juny sudah kukatakan ini tanggung jawabku."

Juny mengangkat tangannya tanda ia tidak ingin mendengar apapun lagi dari Jay, dia lalu menaiki anak tangga dan menutup pintu kamar dengan keras.

"Jay kamu memang tidak punya malu, orang tidak punya apa-apa sepertimu masih saja membuat masalah." ia tersenyum kecut.

Juny menutup pintu kamar dan bersandar dibalik daun pintu, dia sangat berusaha untuk menyakiti hati Jay, tapi bukankah perkataan tadi terlalu kejam? Terbersit rasa bersalah dan penyesalan didalam hatinya. Dia mengatakan hal itu untuk menjinakkan rasa kecewa tapi malah menumbuhkan rasa bersalah dihatinya.

Dia kemudian meloncat dari atas balkonnya dengan wujud kucing. Setiap dia sulit tertidur, dia akan berjalan-jalan disekitar sana, memandangi setiap sudut kota yang sudah sunyi dari atap bangunan-bangunan tinggi yang tak pernah bisa diraih siapapun.

Saat seperti itu dia mengingat tentang hidupnya yang bahagia dan normal dimasa lalu. Ayah dan Kakak yang baik serta hidup yang serba berkecukupan dan dilayani seperti tuan muda. Tapi kini dia hidup seperti hantu, kucing kecil itu terlalu takut pada dunia.

9 LivesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang