4. Nana and Happiness

417 61 4
                                    

Malam hari itu sekitar pukul satu malam, Echan terbangun ketika ponselnya berdering
nyaring. Sepenuh nyawanya belum terkumpul saat ia menatap nama yang tertera dalam layar. Tiga panggilan tak terjawab dan keempat kalinya baru saja ia angkat.

"Halo"

" Pulang!"

"Ini masih tengah malem loh Pa,"

" Tidur dimana lagi sekarang?"

" Rumah Nathan,"

" Udah tau besok ada tes, masih aja ngeluyur kamu! Awas besok ga pulang!"

" Pa aku ga-

Tuttt.

Helaan nafas terdengar bersamaan dengan panggilan yang dimatikan sepihak. Echan bangun dari posisi tidurnya lalu menyandarkan diri pada kursi yang sengaja dipinggirkan. Di sampingnya ada Nana, Rendy juga Jeje yang masih tertidur pulas berkelana bawah sadar. Hanya Echan yang terbangun saat dering terdengar menjuru di ruang tamu beralaskan kasur yang sengaja diletakkan disana.

Matanya enggan untuk menutup kembali. Terlalu banyak beban dalam pikiran hingga kantuk itu tak datang lagi. Ia berjalan gontai memelankan langkah membuka pintu, lantas duduk bersandar pada kursi teras rumah. Dengan dingin yang menjala dan tatapan kosong memandang jalanan beraspal yang kian menyepi

" Kamu itu disekolahin biar bisa kuliah kok malah kayak anak tawuran gitu modelnya. Tau gitu gausah sekolah. Buang-buang duit jadinya,"

" Mau jadi apa kamu kalo ga nurut sama Papa? Pengangguran?? Mau jadi pengamen jalanan??"

Ia memejamkan mata. Merasakan kembali denging suara yang seolah terasa berlalu berbisik di telinga. Kalimat-kalimat tuntutan yang selalu ia dengar bahkan menjadi sarapan tiap harinya.

Sejujurnya Echan lelah.

Terlalu banyak ekspektasi yang harus ia penuhi dengan tuntutan terpaksa. Kalau saja tiap waktu ayahnya tak melontarkan ucapan yang membuatnya murka, tak mungkin ia lebih senang berada di rumah Nana.

Echan terlalu terkekang oleh keinginan orang lain yang bahkan ia tak pernah menyukai itu. Bimbel, belajar, kuliah, dan masuk jurusan yang ayah pilih- , bukan itu yang ia mau.

" Kenapa lagi Chan,"

Lamunannya terhenti saat terdengar bangku sebelah ditarik perlahan. Ia menolehkan kepala ke samping dan mendapati Nana  duduk dengan mata sedikit menyipit.

" Ngga bisa tidur,"

" Bokap lo lagi?"

" Biasalah,"

" Gue bikinin kopi dulu,"

Echan nyaris tak bisa berkata-kata saat Nana benar-benar beranjak berdiri dari duduknya " Kok lo ga tanya sih masalah gue?"

" Gue pikir lo butuh waktu buat cerita,"

" Enggak. Lo duduk aja dengerin gue,"

Setelah Echan berkata demikian barulah Nana kembali duduk. Sengaja pintu rumah ditutup kembali agar Jeje dan Rendy yang masih nyenyak tertidur tidak terbangun.

" Menurut lo gue harus gimana?" tanyanya perlahan, seolah tahu Nana akan memberikan saran.

" Gak gimana-gimana. Jalani aja alurnya,"

Keningnya berkerut, dengan cepat Echan menoleh ke arah Nana, " Jadi gue harus ngikutin apa kata Papa?"

" Nggak juga,"

" Terus?"

"Kadang enggak selamanya apa yang orang tua suruh yang terbaik untuk kita. Tapi bukan berarti orang tua mendoakan yang buruk buat anaknya. Persepsi orang beda-beda, dan mungkin dari sudut pandang ayah lo, lo bisa jadi sukses dengan kuliah," ucap Nana.

DREAM RUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang