" Maaf sebenernya kita nggak maksud nanya ini, tapi..." Mark menjeda ucapannya sejenak.
" Gimana keadaan kalian semenjak hari itu? Eumm... I mean, gimana kalian yang tinggal cuman berdua??"
Nana menggeleng, menghentikan Mark yang terus meminta maaf. " Seminggu setelah itu mungkin kita cuman di rumah terus, tapi hari-hari selanjutnya kita jalanin seperti biasa meski terpaksa,"
Tama mengernyit, " Terpaksa?"
" Sampai saat ini pun bahkan kita masih ngerasa aneh bang. Karena yaa, mungkin sudah lama kebiasa sama abang Jovi, apa-apa sama abang, semua ngandelin abang. Jadi setelah hari itu, mungkin semua hal yang kita lakuin bakal keinget terus sama abang,"
" Bukannya nggak ikhlas abang pergi, cuman kita belum siap aja,"
" Kalo untuk kebutuhan sehari-hari
gimana?? Biaya sekolah???" tanya David.Kini Jeje yang menjawab, " Di awal bulan kita pakai uang yang orang melayat itu, karena kayaknya saudara-saudara juga nggak peduli juga bahkan seinget Jeje nggak ada yang dateng ke pemakaman. Terus waktu tau uangnya mau habis, abang cari kerja dan untungnya diterima jadi pegawainya toko buku. Itu kerja part time sih, tapi gajinya lumayan kok buat makan sehari-hari. Kalo Jeje dulu pernah ikut abang kerja, karena disitu butuh karyawan lagi. Tapi setelah sebulan kata abang udah nggaboleh, disuruh fokus sekolah aja. Terus lagi kalo malemnya, abang ngadain pertunjukan malam di dekat alun-alun sama Bang Echan Bang Rendy juga, dan uangnya cukup buat bayar listrik sama tagihan air,"
Nafas Jevin tercekat, bibirnya kelu untuk berkata. Hatinya sedikit berdenyut nyeri karena setiap kata-kata yang Jeje lontarkan membuat ia kembali bersalah. Bersalah yang sedalam-dalamnya.
Bagaimana bisa dua anak laki-laki itu bertahan hidup sendirian seolah di dunia ini hanya ada mereka?? Bagaimana bisa mereka tabah menghadapi hari-hari penuh duka? Memikirkan tentang hari esok, tentang apa yang harus dilakukan demi uang, tentang apa yang harus dibayarkan demi sekolah, dan tentang apa yang harus dihemat demi berjuang di kondisi mandiri sebenar-benarnya??
Terlambat untuk menyesal, lagipun waktu tak dapat diulang.
" Oh iyaa, kadang Bang Echan sama Bang Rendy sering bawa makanan. Terus juga ada Papanya Chen tuh orangnya baik banget tiap bulan disini dikirimi uang sama bahan-bahan buat masak di dapur. Baik banget deh pokoknya kapan-kapan kalian harus ketemu,"
sambungnya lagi.Dan meski topik hari itu tak jauh tentang Jovi, mereka masih berusaha untuk tak menunjukkan kesedihannya kembali sebab Jeje, anak itu dengan ceria bercerita tentang hari-harinya selama ini.
Begitupun Nana, sekalipun hatinya sebenarnya menangis mengingat kembali momen-momen itu, sebaik mungkin Nana berusaha terlihat baik-baik saja. Barangkali sekarang ia tersenyum, tak tahu kalau malam nanti ia berdiam di kamar mandi. Menangis disana. Begitulah Nana.
Rencana hari ini mereka akan menginap disini karena sudah terlarut malam. Saking rindunya Jeje ia bahkan memaksa untuk tak tidur malam ini. Masih banyak hal yang perlu untuk dibicarakan, atau mungkin sedikit mengenang masa-masa itu dulu. Nana bahkan menelepon Rendy dan Echan di tengah tidurnya untuk datang kemari. Tentu dua laki-laki itu datang dengan bersemangat.
" Bang Louis nggak dateng ya?" tanya Nana tiba-tiba. Membuat ruang tamu menjadi hening seketika.
" Louis... dia nggak disini Na," jawab Tama.
" Louis belum kembali semenjak kita nganterin dia ke bandara,"
" Dimana??"
" Korea"
Nana menunduk lesu. Bukan maksud ia sedih kembali, namun Nana melihat Mark dan lainnya berkumpul serasa ada yang kurang. Biasanya Louis ikut disana, tertawa terbahak-bahak sebab melucu atau bahkan karena leluconnya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
DREAM RUN
Fanfiction" Kira-kira kita bisa nggak berdiri di depan ratusan orang nanti?" " Kenapa cuman ratusan?? Jutaan aja bisa kok," " Gimana bisa?" " Gimana bisa apanya? Nggak ada sesuatu yang nggak mungkin di dunia ini," SEQUEL OF PAGE OF 365 -it's about our dreams...