Terkadang mata perlu di jaga agar hati tidak terbawa rasa
~ •✧ • ~
Windu
Dingin. Sore ini terasa dingin untuk ku. Awalnya ku kira karena tubuh ini merindukan pelukan Rea, tapi ternyata langit sedang mengguyur buana dengan membabi buta.
Aku menepi di sebuah halte yang sepi bersama si biru. Dengan susah payah ku tahan dingin yang menghujam tubuh tegap ini. Huh! Dasar payah, begini saja sudah mengeluh.
"Ini untuk kamu." Perempuan berpayung hijau datang dan memberikan segelas kopi yang masih beruap kepadaku.
Aku tertegun. Perempuan manis itu nampaknya berasal dari sekolah menengah yang tak jauh dari halte ini.
"Jangan di tatap. Hangat kopi ini ga akan bertahan lama" Perempuan itu kembali menjulurkan gelas kopi itu di hadapan ku.
"Kopi sianida? Ah, maaf aku ga punya harta yang bisa kamu ambil kalau aku mati" Kata ku sambil setengah bercanda.
Perempuan dengan name tag Silvia Ariani meletakkan gelas kopi di bangku halte dan duduk di sebelah nya. "Ini promosi. Orang tua ku baru buka cabang baru di depan sana"
Jemari lentik nya menunjuk ke seberang jalan tepat ke arah sebuah kedai sederhana bergaya modern. Aku diam. Lebih tepat nya malu.
"Bercanda" Bagaimana pun juga aku harus tetap menjaga harga diri ku.
Aku berbalik dan mengambil kopi yang ada di sebelah perempuan itu "Terima kasih"
"Silvia" Ujar nya yang sontak membuat ku tersedak kopi. Sialan, ini masih panas.
"Maksud nya?"
"Nama ku Silvia. Lebih baik aku kasih tau duluan sebelum kamu nanya" Jawab Silvia dengan percaya diri
Aku menahan tawa karena melihat tingkat percaya diri perempuan di hadapan ku ini. "Jahat kalau aku bilang aku ga niat nanya nama kamu. Tapi gak masalah, nama ku Windu." Aku mengulurkan tangan ku di depan Silvia dan langsung di sambut oleh tangan mungilnya.
Entah apa yang ia lihat dari ku, tapi netra nya terus menatap ku dengan tatapan yang sulit di artikan. Kalau saja wajah Rea marah tidak mengetuk otak ku mungkin aku ikut hanyut dalam manik mata Silvia.
"Bisa bantu aku?" Tanya nya tiba-tiba
"Bantu apa?"
"Aku lupa menaruh handphone ku. Mungkin aja jatuh di sekitar sini, boleh aku pinjam handphone kamu? Aku mau menghubungi nomer ku " Jawab nya
Tak ku sangka Silvia tau cara ini. Haha andai aku bisa bilang kepada nya, kalau cara ini pernah aku pakai dulu untuk mendapatkan nomer handphone Rea.
"Wah, wah. Aku ga punya handphone. Aku tipe laki-laki yang suka surat menyurat" Tolak ku
Silvia tertawa kecil lalu ia mengeluarkan pena dan menarik tangan ku.
Jln. Kaswari, no:23B tulisan itu terukir jelas di telapak tangan ku.
"Kalau begitu, kirimi aku surat ke alamat itu"
Aku kembali tertegun. Ku tatap heran perempuan dengan rambut sebahu di depan ku ini. Aku tidak naif, Ia terlihat cantik, manis, dan unik. "Tinta pena ku habis" Cicit ku seraya mengalihkan pandangan dari nya.
"Kamu berhutang lima ribu untuk pena ini" Dengan lancang Silvia membuka resleting tas yang aku pakai dan memasukan pena nya kedalam tas ku.
Tring. Suara notifikasi gawai menyadarkan ku dari sihir sesaat Silvia. Perempuan itu pun melirik sekilas diri ku. Wah, nampak nya aku sudah di cap pembohong oleh Silvia sekarang. Seakan mendapatkan firasat pesan masuk dari Rea membuatku sedikit kesusahan menegak saliva.
KAMU SEDANG MEMBACA
Distance between WINDU [Hiatus]
Teen FictionJulukan "bucin" disandangnya setelah menjalani hubungan dengan cowok lain sekolah! Kisah ini dimulai kala masa putih biru. Rea panggilan akrabnya, harus mencicipi kerasnya berjuang, pahitnya bertahan, dan sulitnya melepaskan. Sedangkan, Bagi Windu...