07

975 248 33
                                    

❝ Aku tidak ingin membuat ayah marah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku tidak ingin membuat ayah
marah...

... Dan sedih.❞















Keringat membasahi pelipis, terus turun hingga jatuh membasahi tanah. Nafasnya terengah-engah, efek berlarian hingga kesegala arah. Bagian dadanya terus berdegub kencang kala mendapati tidak ada satupun yang melihat Mirai.

Iwaizumi tidak pernah sekalipun berfikir akan mengalami kejadian ini. Seperti mimpi buruk, rasanya dada Iwaizumi sesak tiap kali mengetahui buah hatinya tidak ada lagi disisi.

Percuma saja memaki Oikawa, tangan Iwaizumi saja sudah memerah sebab memukulnya. Apalagi mengumpati keadaan, Mirai tidak akan ketemu jika Iwaizumi hanya menyalahkan keadaan saja.

Ini salahnya.

Sebagai ayah, harusnya Iwaizumi tidak perlu mempertaruhkan sang anak hanya untuk dapat terus bekerja di pekerjaan yang sangat ia sukai. Iwaizumi tidak pernah tau kalau semuanya akan menjadi seperti ini. Ini baru hari pertama dirinya bekerja, tapi Mirai sudah hilang entah kemana.

Entah sudah berapa kali Iwaizumi memaki diri sendiri. Menyalahkan dirinya atas keteledoran dalam mengurus Mirai. Mengacak surai hitamnya frustasi, Iwaizumi kembali memacu langkah. Tidak ingin mengumpati diri sendiri atau Oikawa yang berkontribusi besar membuat anak semata wayangnya hilang.

Iwaizumi tidak bisa melakukan apapun lagi selain mencari. Mencari sang bayi tidak peduli mentari sudah mulai bergerak menuju perpaduannya. Swastamitha yang begitu cantik memayungi Iwaizumi disetiap pacuan larinya. Awan yang bergerak diangkasa pun seakan mengikuti lari sang pria, seakan berusaha memayungi Iwaizumi agar terhindar dari sang baskara.

"Tuan! Maaf, tolong tunggu sebentar."

Disodorkannya layar ponsel yang menampilkan foto Mirai pada pejalan kaki yang tidak sengaja berpapasan. Foto yang ia ambil tadi pagi saat Mirai mencoba pakaian baru yang sempat Iwaizumi berikan. Bayi manis itu tampak mengulas senyum imut, dengan bingkai foto sang ibu dikedua tangan mungilnya.

"Apa anda melihat bayi seperti ini? Dia memakai pakaian dan kunciran persis seperti yang ada di foto."

"Ah, maaf, aku tidak melihatnya."

Tidak menyerah, Iwaizumi kembali mencoba menanyakan pada pejalan kaki yang lain. Tidak peduli bahwa kakinya terasa sakit atau matahari yang mulai tenggelam, Iwaizumi tetap berusaha mencari. Sekali lagi, ia berikan pertanyaan yang sama pada pejalan kaki yang lain.

"Maaf menganggu, apa anda melihat bayi yang ada difoto ini?"

"Tidak, aku tidak melihatnya."

Iwaizumi terus mencari tanpa henti. Menanyakan pada tiap orang yang ada disana apakah mereka melihat keberadaan bayi berumur 10 bulan seperti yang ada di foto. Namun, mereka terus mengatakan tidak menjumpai bayi serupa.

"Apa anda melihat bayi seperti di foto ini?"

"Tidak."

Kunimi dan Matsukawa juga membantu, sementara itu Oikawa mencari di wilayah lain. Bukan karena tidak serius mencari Mirai, Oikawa hanya merasa tidak enak tiap kali melihat wajah sang sobat.

"Halo? Apa kau bisa membantuku mencari seorang bayi? Dia berumur 10 bulan."

".... Oikawa, aku masih di Argentina."

Wajah Iwaizumi yang kalut dan panik itu membuat Oikawa merasa makin bersalah. Ia sampai meminta bantuan managernya. Tapi Oikawa lupa bahwa managernya masih berada di Argentina.

Kembali mengumpat, Oikawa pun memacu langkah mencari Mirai.

Begitu pula dengan Iwaizumi yang tidak henti-hentinya mencari sembari meneriaki nama sang anak.

"Nona, apa anda melihat bayi seperti difoto ini?"

"Maaf, aku tidak melihatnya."

Dibawah guratan senja, Iwaizumi kembali mencari keberadaan Mirai. Keringat membasahi tubuhnya, membuat kaus putih yang ia kenakan basah. Tapi sekali lagi, Iwaizumi tidak peduli dengan hal itu. Bahkan kakinya pun mulai terasa kebas dan nyeri lantaran berlari hingga berjam-jam.

"Ah! Tunggu, apa anda melihat bayi-"

"Ck! Minggir, aku sangat buru-buru sekarang!"

Menendang salah satu tong sampah, Iwaizumi memaki diri sendiri yang begitu lalai. Matanya mulai memerah sebab rasa panik dalam dada. Sejenak menghela nafas panjang untuk mengurasi rasa sesak yang ada.

Iwaizumi berusaha menenangkan diri, ia mendudukan diri disalah satu bangku taman. Iwaizumi memandangi foto sang anak sekilas, kemudian mencari kesegala arah. Mengirim pesan untuk Matsukawa, Iwaizumi melakukan itu sembari menstabilkan nafasnya.

Rasa haus dan sebuah vending mechine membuat Iwaizumi bergerak mengambil dompet disaku, berniat mengambil beberapa lembar uang pecahan yang ada.

Namun, yang ia dapati justru foto sang istri disana. Tersenyum begitu lembut dengan perut bucitnya. Foto lama yang tidak pernah sekalipun berpindah tempat, Iwaizumi menaruh foto itu didompet agar bisa melihat wajah istrinya setiap waktu.

Rasa sesak itu kembali menjadi-jadi, membuat Iwaizumi menunduk, menaruh keningnya di foto tersebut. Air mata mengalir tanpa bisa Iwaizumi cegah. Rasa menenangkan yang selalu ada tiap kali melihat foto sang istri kini digantikan rasa penyesalan.

"Maaf... maafkan aku...."

Ah, betapa tidak becusnya dirinya dalam mengurus seorang anak.








































Ah, betapa tidak becusnya dirinya dalam mengurus seorang anak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
AYAH | H. IWAIZUMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang