4. Surat Mira

16 16 4
                                    

Hal yang selalu di benci semua orang adalah menyesal dan kini aku merasakan nya.

°°°°°

Disini Arsya sekarang, rumah seseorang yang telah lama tak pernah ia kunjungi, desain rumah yang tak pernah berubah setelah dua tahun lamanya. Arsya mengedarkan pandangannya menatap setiap sudut di ruang utama ini.

'Sudah lama.' Hatinya berdialog, menyadari jika ia sudah lama tak menginjakkan kakinya di rumah ini.

"Sudah lama Arsya." Seseorang keluar dari arah dapur dengan gelas dan sebuah teko diatas nampan, berjalan mendekati Arsya, dan duduk disamping Arsya. Wanita itu menyimpan nampan di atas meja, lalu menuangkan air yang berada didalam teko ke gelas dan memberikannya kepada Arsya. Arsya tersenyum menerimanya, meneguk air putih tersebut hingga setengah dari gelas. Wanita itu mengambil gelas itu kembali, lalu menyimpannya diatas meja.

"Bagaimana kabar mu?" Wanita itu memegang tangan Arsya.

"Alhamdulillah Arsya sehat, bagaimana kabar ibu?" Saat sampai di rumah ini, Senyum Arsya tak pernah memudar.

"Ibu Alhamdulillah." Wanita itu tersenyum menatap Arsya.

"Ibu baru saja selesai masak, ada ikan etem, sayur asem, sambel, sama yang lainnya. Kamu mau makan sekarang?" Wanita itu masih memperlakukan Arsya seperti dua tahun yang lalu, tak berubah. Arsya menggeleng sebagai jawaban.

"Arsya masih kangen dengan ibu." Ujar Arsya, senyum wanita itu semakin melebar, ia menarik Arsya kedalam pelukkannya.

"Ibu merindukan mu juga Arsya. Setelah Miranda pergi, kamu juga ikut pergi, Ibu merindukan kalian berdua." Arsya dapat merasakan jantung wanita yang memeluknya berdetak kencang. Apa serindu itu ia pada dirinya?

"Arsya minta maaf." Arsya mengangkat tangannya, membalas pelukan wanita itu.

"Lebih seringlah datang kesini." Ujarnya lirik. Arsya melepaskan pelukannya, menatap wanita dihadapannya.

"Pasti." Ujar Arsya.

"Assalamualaikum." Suara bariton seseorang terdengar, dari balik pintu masuk muncul seorang laki-laki bertubuh tinggi.

"Waalaikumsalam." Jawab Arsya dan Dira (Ibu Miranda). Laki-laki itu terkejut dengan kehadiran Arsya, ia berjalan mendekati keduannya, menyalami Dira.

Setelah laki-laki itu duduk di sofa singel diruangan itu, menatap Arsya, Arsya hanya tersenyum membalasnya.

"Bagaimana kabar Bang Tian?" Arsya tersenyum menanyai kabar laki-laki yang memiliki nama asli Sebastian.

"Abang sehat, gimana kabar mu Ar?" Sebastian tersenyum manis hingga lesung di kedua pipinya terlihat.

"Sehat." Sambil berujar, Arsya mengangguk tersenyum.

"Arsya baru saja datang beberapa saat yang lalu, dan katanya dia baru saja dari makam Mira." Jelas Dira.

"Abang juga baru dari sana, Bu." Ujar Sebastian. Dulu Arsya sangat dekat dengan Sebastian, bahkan Sebastian menganggap Arsya sebagai adiknya sendiri, seperti Miranda adik kandungnya. Tapi entahlah, sudah lama tidak bertemu, apa mereka bisa sedekat dulu?

"Ibu kebelakang sebentar, untuk menyiapkan makan siang." Dira berdiri dari duduknya, lalu berjalan kearah dapur.

Sebastian berpindah duduk, ia duduk ditempat Dira tadi, disamping Arsya.

"Sudah dua tahun, apa bang Tian masih bisa menganggap dirimu adik abang hm?" Tanyanya tersenyum.

"Tentu saja." Ujar Arsya, ia memeluk Sebastian. Sebastian membalas pelukan Arsya, ia mengusap kepala Arsya lembut.

Arsya merindukan pelukkan Abang laki-laki nya ini, meski tak kandung, setidaknya karena Sebastianlah Arsya merasakan kasih sayang seorang kakak.

"Jadi kamu sudah tidak takut lagi kerumah ini?" Sebastian menggoda Arsya dengan pertanyaannya, Arsya melepas pelukannya, lalu memukul bahu laki-laki disampingnya.

"Siapa yang bilang gua takut sama rumah ini?" Arsya menatap tak suka dengan pertanyaan Sebastian.

"Gua ga salah kan, Ar? Selama ini lu sama sekali ga pernah datang kerumah ini dan parahnya lu ga pernah ikut sama yang lainnya saat mereka menjenguk ke makam Miranda." Ujar Sebastian, Arsya tak percaya dengan apa yang dikatakan Sebastian. Ia terlalu sensitif membicarakan hal ini, sampai ia tidak menyadari wajah jahil yang tertera di wajah Sebastian.

"Gua ga mau bahas ini." Arsya beralih tak ingin menatap Sebastian. Pecah sudah tawa Sebastian, Arsya menatapnya heran.

"Gua cuma bercanda, dan lu sangat sensitif Arsya." Ujar Sebastian di akhiri dengan tawanya lagi.

"Kaga lucu." Arsya berdiri dari duduknya.

"Itu sangat-sangat lucu." Sebastian terus tertawa, ia ikut berdiri. Sedangkan Arsya ia hanya berdecak sebal, tak habis pikir jika Sebastian menjahilinya. Arsya berjalan kearah dapur.

"Mau kemana lu?" Teriak Sebastian, Arsya mendengarnya namun ia memilih untuk tidak menjawabnya, ia masih terlalu kesal dengan laki-laki itu. Baru lagi bertemu, namun sifat jahilnya langsung muncul.

***

"Tepat saat hari itu, abang nemuin Amplop ini di meja rias Mira, yang tertulis hanya nama kamu di atasnya, dan tepat saat itu, abang dan ibu dapet kabar kematian juga kasus Miranda." Ujat Sebastian

"Setelah semua kasusnya ditutup, karna tak kunjung menunjukkan perkembangan. Abang kembali teringat akan Amplop bertuliskan nama kamu, abang buka, dan abang yakin surat ini Mira tulis khusus buat kamu." Ujar Sebastian lagi, ia menatap Arsya

"Abang sungguh sudah ikhlas dengan semuanya, dan abang tau membukanya akan melukai kalian. Tapi untuk memperbaiki hubungan kalian dengan Meri, abang serahin sama kamu." Sebastian memberikan amplop berbentuk persegi panjang, berwarna coklat, kepada Arsya.

Kamar yang didominasi warna biru muda itu menjadi pemandangan keduannya. Arsya menerima amplop yang di berikan Sebastian, ia menatapnya sesaat.

"Saat pemakaman Mira, abang ga nemuin kamu sama Meri. Hanya ada Emely, Yeri, Elena, Rena, dan Arin. Kemana dirimu dan Meri saat pemakaman Mira?" Sebastian kembali bertanya dan Arsya hanya diam tak berkutip.

"Baca dan perbaiki kesalah pahaman dalam hubungan kalian bertujuh."

Arsya mengingat kejadian beberapa saat yang lalu, ia belum berani membuka amplop tersebut. Sepulang dari rumah Miranda, Arsya memilih untuk langsung pulang kerumahnya. Ia sudah mengabari Emely, jika dirinya tidak ikut berkumpul hari ini dirumah Emely.

Perpaduan warna kuning, oren, jingga, menjadi satu dalam langit sore ini. Arsya duduk dibangku kayu yang berada disamping jendela kamarnya, hingga dirinya bisa dengan jelas menatap langit senja. Surat pemberian Sebastian masih dipegang erat oleh tangannya, ia terlalu takut. Terlalu takut, jika semua yang ia lakukan selama ini salah.

Dan memang itu yang ia harapkan, ia berharap semua yang terlihat oleh dirinya dan kelima sahabat lainnya bukanlah kebenaran. Jika memang semuanya salah, ia juga berharap agar semuanya belum terlambat, dan masih ada waktu untuk memperbaiki semuannya.

Arsya hanya diam dalam posisinya, duduk terdiam dengan tangan yang memegang erat sebuat surat. Hingga suara adzan berkumandang, ia langsung berdiri dari duduknya, menutup jendela, lekas melaksanakan kewajibannya sebagaiman umat Islam.

Disujud akhirnya ia menyelipkan sebuah doa untuk sahabat-sahabat nya. Meminta, memohon kepada ia, pemilik segalanya dan yang menciptakan segalanya.

°°°°°

Blue Gray (SEvEN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang