°°°°°
Tak tau apa yang terjadi, semua bagai teka-teki. Kini tengah malam, langit hitam menyelimuti bumi, hening, sepi, sekecil apapun suara, kini terdengar sangat jelas, tapi semua suara seakan tak mengganggu seorang perempuan yang sedang di tulikan oleh lamunan.
Flashback On
Arsya memasuki sebuah kamar, kamar yang di dominasi oleh warna cream. Seseorang yang ingin ia temui, sedang duduk disisi ranjang tidur dengan posisi membelakangi Arsya. Arsya mendekatinya, ia duduk di samping wanita tersebut.
"Ibu." Panggil Arsya, beberapa saat tak kunjung mendapat respon Dira. Arsya menghela nafasnya, keributan di lantai bawah masih bisa ia dengar, karena heningnya kamar ini.
"Ibu." Kini Arsya menyentuh tangan Dira, membuat perempuan itu menoleh menatap Arsya.
"Mira." Ujarnya lirik, tatapannya menatap lekat Arsya, tangannya menggenggam kuat tangan Arsya. Arsya terkejut dengan apa yang terjadi, namun ia berusaha menetralkan nya.
"Apa Bang Tian tau kondisi Ibu?" Arsya berujar pelan, Dira menunduk menyadari sesuatu, ketika ia sadar jika dihadapannya kini adalah Arsya.
"Ibu tidak gila Arsya." Ibu melonggarkan pegangannya pada lengan Arsya, namun juga tak melepaskannya.
"Bukan itu yang Arsya maksud." Arsya mengutuk ucapannya sendiri.
"Ibu paham maksud kamu." Dira menepuk-nepuk punggung tangan Arsya.
"Selama satu tahun berlalu, Kepergian Mira, dan ketidakhadiran kamu. Semakin membuat Ibu terpuruk, ibu belum bisa terbiasa dengan ketidakhadiran Mira." Dira menjeda perkataan, ia menarik nafas dalam. Ia kembali menatap Arsya, begitupun dengan Arsya yang memang sejak tadi menatapnya.
"Ibu sangat menyayangi Mira, dan ibu menyayangimu layaknya ibu menyayangi Mira." Dira mengulur tangannya, ia mengusap wajah Arsya. Arsya memejamkan mata, merasakan kehangatan seorang Ibu yang merindu pada anaknya yang telah tiada. Ia memegang tangan Dira yang ada pada pipinya, menurunkan tangan itu, lalu menggenggam.
"Jangan pernah gantikan posisi Mira dihati ibu, oleh siapapun itu, termasuk Arsya." Ujar Arsya, ia tahu tidak baik memberikan harapan palsu pada seseorang. Arsya tak mungkin memberikan harapan kepada Dira-Ibu Miranda, dengan menjadi Mira untuk Dira.
Arsya merasa ia sudah jahat, karena telah menghindar dari segala hal selama setahun kebelakang ini. Kini, ia tak ingin menjadi semakin jahat, dengan menggantikan posisi Mira di hati Ibundanya.
"Biarkan ibu menganggap kamu sebagai Mira." Arsya menggeleng kuat, ia tak ingin dan tak akan pernah sanggup.
Dira tersenyum, namun kedua bola matanya mengeluarkan air mata.
"Ibu mohon, sayang." Dira kembali berujar, kini Arsya hanya diam tak bisa mengatakan apapun.
"Jangan pernah tinggalkan Ibu, Mira." Arsya menarik Dira kedalam pelukannya, ia tak menangis, tapi hatinya tersayat habis. Tak pernah bisa ia menjadi baik-baik saja, ketika seorang perempuan menangis dihadapannya.
"Arsya minta maaf." Hanya kalimat maaf yang berulang kali Arsya ucapkan. Ia meminta maaf atas semua yang terjadi, ia menganggap dirinyalah yang paling bersalah disini.
Flashback off
Tumpah sudah, semua tembok pertahanan, ketangguhan, dan ketegaran. Senyumnya luntur, wajah datarnya kini berubah sendu sepenuhnya. Ia menangis, berusaha menahan semua isakan menyakitkan agar tidak keluar terdengar. Namun malam yang hening-sepi, membuat isakan kecil itu menjadi dominan dikamarnya saat ini. Diatas lantai yang dingin, disamping ranjang tidur nya, ia terduduk lesuh. Arsya mengusap wajahnya gusai, bayang-bayang beberapa jam lalu kini memenuhi pikirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Gray (SEvEN)
ChickLitRabu, 18 Agustus 2021. ~°°°°°°°~ Masa lalu memisahkan kita. Entah siapa yang salah, kamu atau kami? Kini ingin menyatu kembali, berusaha mencari kebenaran yang nyata adanya. Tapi, dikemudian masa kita juga akan kembali berpisah. Satu-persatu, semu...