JVD - ENAM

91.9K 4.6K 178
                                    

                "Pah.." panggil Dea.

                "Hmm."

                "Pah!" panggil Dea sekali lagi.

                "Apa sih, sayang?"

Daton masih terfokus pada layar laptop miliknya. Mengechek beberapa email dan laporan. Wajah Dea menekuk, bibirnya maju beberapa centi. Dea mengelitik telapak kaki Daton.

"Hahahaha..., aduh, Dea. Kenapa sih? Papah lagi kerja. Kamu kenapa nggak istirahat? Katanya masih sakit."

Daton melepas kaca matanya, memindahkan laptop yang ada di pangkuannya ke sisinya. Dea beringsut mendekat, duduk di pangkuan Daton sambil memeluk boneka teddy bear warna crem.

                "Anak papah kenapa sih? Apa yang dipikirin, heum."

Daton menyelipkan anak rambut Dea ke telinga Dea.

"Papah kapan jadiin tante Rasti mamah Dea? Dea udah bosen diejek sama temen-temen. Mamah Shinta juga pasti ngerti kok."

                Daton mengerutkan keningnya. "Kamu diejek gimana emang?"

Dea menjewer kedua kuping bonekanya, mengangkat boneka itu ke atas lalu menghempaskannya lagi ke pangkuannya.

                "Ya gitu..." katanya sambil memanyunkan bibirnya.

                "Gitu gimana?" pancing Daton

Dea terdiam jemarinya masih memainkan hidung bonekanya. "Kalau Dea jawab, papah janji ya nikah sama tante Rasti." katanya kemudian.

Kini giliran Daton yang terdiam, menimbang-nimbang keputusan yang tepat. Lagi, lagi, suara Farah yang beberapa hari lalu kembali terngiang di kepalanya.

Gue tau, lo belom siap. Tapi apa salahnya di coba? Lo nggak bisa cuma mikirin satu kebahagian selama ada banyak kebahagian yang sebenernya pengen lo raih.

        Daton menghembuskan napasnya perlahan lalu mengangguk ke arah Dea, menyebabkan Dea tersenyum lebar dengan gigi kecil yang berderet rapi itu terlihat menyilaukan. Keputusannya sudah bulat. Untuk Dea, Shinta. Untuk Dea. Batinya.

                "Dea sering di ejek nggak punya mamah." mulai Dea.

                "Dea juga di bilang anak pembawa sial." katanya lagi. Daton dengan sabar mendengarkan putrinya berbicara.

"Emang sih, Dea sadar, ke matian mamah Shinta juga karena Dea, coba aja kalau waktu itu... Hiks."

        Daton memeluk putrinya sayang, menenangkan Dea yang terisak. "Husss.. Mamah Shinta pergi karena emang tuhan lebih sayang mamah, Dea. Dea nggak salah, Dea juga bukan anak pembawa sial." hati Daton pedih tatkala mengetahui beban apa yang ada di pundak kecil ini. Di ciumnya berkali-kali kepala Dea.

"Tapi... Hiks... Tapi, pah. Mamah Shinta pasti masih hidup kalau aja Dea nggak ngotot minta di beliin balon. Hiks... Salah Dea pah huhu... Maaf.."

Daton mengeratkan pelukannya "Dea, jangan nangis. Nanti mamah sedih. Papah udah bilang, kepergian mamah bukan salah Dea. Jangan nangis ya."

suara tangisan Dea berangsur-angsur reda. Dea menarik ujung T-shirt Daton untuk mengelap air matanya. Tak lupa juga hidung kecilnya.

                "Psrrrttttt."

                "I.. Iya.. Pah.. Sekarang papah harus jadiin mamah Rasti jadi mamah Dea. Awas kalo nggak." ancam Dea.

Daton hanya meringis, melihat T-shirtnya menjadi korban tangisan Dea.

                                                                                        oOo

                "Pah, kapan Dea sembuh? Ini udah tiga hari Dea nggak masuk. Dea kangen tante Rasti."

Daton menyentuhkan telapak tangannya ke kening Dea.

                "Perasaan kamu gimana?"

                "Sedih pah, abis tante Rasti belum jadi mamah Dea."

Daton menghela napasnya.

                "Bukan itu yang papah maksud, Dea."

Dea mengangkat bahunya.

                "Cuma masih pusing pah."

                "Aaa, makan dulu nanti minum obat."

Daton menyuapkan sesendok penuh bubur ke arah putrinya.

                "Pah, itu kebanyakan. Mulut Dea nggak muat."

Daton mengurangi buburnya. Mengarahkan lagi setengah bubur ke arah Dea.

                "Aku nggak mau."

                "Dea, makan. Nanti sakit."

                "Maunya disuapin mamah Rasti."

                "Dea," peringat Daton.

                "Ngggggggggak maaaaau."

                "Papah telponin dokter Hendra nih." ancam Daton.

Dea cemberut menatap Daton. Mau tak mau mulut kecil itu terbuka menerima suapan bubur dari Daton.

                "Papah, mah. Mainannya ngencem." keluh Dea.

                "Kamu, mainannya ngambek." kata Daton sambil menyuapkan bubur ke Dea.

Drrrttt... Drrrttt... Drrrttt...

Janda Vs Duda Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang