☔'3

510 73 4
                                    

Aku nggak tau, ada yang bakal baca apa nggak haha. Tapi terobos lahh.


Happy Reading 🌵

"Nana," Gumam Jenvi. Senyum lebar terbit di bibirnya, membuat matanya turut melengkung indah.

"Apasi!" Jenvi menampar wajahnya sendiri.

"Ngapain senyum senyum njir!" Rutuknya sambil memakai kemejanya sebagai luaran.

Sekali lagi Jenvi mengecek penampilannya di cermin besar di dalam kamarnya. Setelah di rasa perfect, ia menyemprotkan sedikit parfume di beberapa titik agar wangi.

Beres, Jenvi memasukkan dompetnya kedalam saku dan membawa handphonenya di genggaman, memastikan pintu kamarnya terkunci, baru lah ia melanjutkan langkahnya ke lift, untuk turun ke restoran di samping penginapan.

Jam makan malam sudah akan lewat dan perutnya benar benar keroncongan, sejak siang tadi ia belum makan apa apa lagi, selain makanan di pesawat tadi. Apalagi semalam sebelum berangkat ia hanya makan sedikit, kenyang dengan omelan Mommy tersayangnya yang terus menerus menyuruhnya menikah.

Senyum Jenvi semakin melebar, melihat perempuan manis yang sedang makan sendirian di pinggiran restoran dekat balkon, siapa lagi jika bukan Nana. Perempuan cantik yang sempat ia kira perempuan khusus dari penginapan untuk menemaninya liburan.

Jenvi jadi tersenyum sendiri mengingat insident salah kamar tadi.

"Eh si cantik, sendirian aja nih?" Tanpa ragu Jenvi langsung duduk di kursi kosong depan Nana, mengabaikan tatapan tajam Nana yang tidak menyukai kehadirannya.

Nana hendak protes, namun urung. Seorang waitres tiba tiba datang menanyakan pesanannya.

Buru buru Nana menghabiskan makanannya, Baru saja nana hendak berjanak. Tiba tiba lampu restoran padam.

"Hah?" Nana refleks kembali duduk di tempat, akan memalukan jika ia menabrak meja orang, apalagi bonus tumpahan makanan dan cacian. Oh tidak Nana benci keributan.

Jreeng!

Suara petikan gitar mengalun, cahaya restoran mulai sedikit menyala temaram kekuningan.

Nana dan Jenvi menoleh ke asal suara, di sebuah panggung mini di tengah cafe yang tak jauh dari meja mereka.

Seorang laki laki berjas broken white berdiri di tengah panggung, memeluk gitar berwarna hitam dengan perpaduan coklat.

Ia terseyum pada perempuan yang duduk di meja depan panggung, kemudian kembali memainkan gitarnya dengan di iringi satu pemain Piano di belakangnya.

Laki laki itu menyanyikan lagu talking to the moon dengan penuh penghayatan.

Bahkan beberapa pengunjung restoran mengangkat handphonenya dengan flash menyala, seolah menjadikannya lighstick dadakan.

Berbeda dengan Jeno yang justru memilih memakan makan malamnya yang baru saja di antar ke mejanya.

Menurut penglihatan Nana, sepertinya laki laki itu menyanyikannya dengan rasa sakit, penuh penghayatan, seolah mengeluarkan semua perasaan sakitnya.

RayuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang