Selena duduk di dahan pohon beringin menggunakan mode menghilang, menatap tak fokus pada beberapa wisatawan yang sibuk memotret pohon legendaris berusia tua ini dengan amat antusias. Pikirannya sejak tadi terus saja berkelana pada pria menyebalkan itu. Yang kalau kata murid nakalnya, bangsat.
Dia galau——dan hei, jangan mengejeknya karena hal ini. Bagaimanapun juga Selena wanita. Walau dia terlihat tak tersentuh, kenyataan menunjukkan hal lain. Faktanya, Selena rapuh, bagai kaca berusia ribuan tahun yang lebih mudah hancur dibandingkan wanita lain.
Dan bentakan Tog beberapa hari yang lalu tentu membuat Selena 'berantakan'. Pria itu seolah tak berperasaan menuduhnya macam-macam tanpa tahu kejadian sebenarnya. Kau tau kan bagaimana rasanya?
Lalu, tidakkah Tog belajar sedikitpun dari pengalamannya menjadi Panglima Timur selama bertahun-tahun? Kenapa dia begitu mudah menghakimi, menyimpulkan seenaknya tanpa berpikir jernih?
Tanpa sadar Selena mendengus. Dia menatap ke bawah untuk kesekian kali, dan kekesalannya langsung bertambah ketika malah melihat pasangan kekasih yang sedang bertengkar. Bodohnya, Selena malah membayangkan ia dan Tog yang ada di posisi itu.
Huh. Menyebalkan.
Selena diam sejenak, lantas memutuskan untuk turun saja. Saat hendak melompat, dia ceroboh, tanpa sengaja ia memegang ulat sebesar ibu jari. Selena membelalak, merasakan tangannya mulai terasa gatal. Fokusnya tertuju pada ulat yang sudah gepeng karena tergencet tangannya itu, berusaha melepaskannya karena risih.
Hingga tak sadar, ia kehilangan keseimbangan, terpeleset dari dahan pohon. Tentu saja, karena itu pula, mode menghilangnya tak lagi sempurna. Selena tak menyadari hal itu hingga ....
Beberapa anggota tubuhnya terlihat.
"ASTAGA! APA ITU?!" Salah seorang wisatawan yang tanpa sengaja melihat ada tangan dan kaki yang melayang sontak berteriak dengan lantang, membuat yang lain ikut menatap ke arah yang sama.
Semua membeku, kehilangan tenaga untuk bergerak.
"HAN-TU!" hingga suara itu terdengar, seolah di komando, baru lah yang lain sontak berlari terpontang-panting menjauh dari sana.
Sisanya memekik, menyebutkan urban legend terkenal yang termasuk dalam kelompok han-tu juga, namun lebih spesifik. "Ada Kun-ti!"
Selena merutuki dirinya, langsung memperbaiki mode menghilang dan berusaha fokus. Panik nggak? Iyalah, jarang sekali ia menyalahi aturan yang mengancam pekerjaannya sebagai pengintai.
Hal kedua yang Selena lakukan adalah berusaha berdiri, namun gagal. Pantatnya tadi yang pertama menghantam tanah terasa ngilu sekali. Selena memutuskan mengabaikannya sejenak, beralih pada tangannya yang gatal. Dia mengeluarkan petir dalam skala paling rendah dari jarinya, berharap hal itu bisa berhasil menghentikan gatal.
Untunglah, perkiraannya tidak meleset. Selena menghela napas, agak menyeret tubuhnya untuk mundur dan bersandar pada pohon. Dia menatap tak terbaca pada satu-satunya wisatawan kurang ajar yang sekarang malah berseru riang, tidak ketakutan seperti yang lain.
"Buahaha, dasar penakut. Kun-ti itu tidak ada bodoh!" umpat orang itu mengejek gerombolan yang sudah kocar-kacir menjauh.
Selena mendengus kesal, sayangnya dia hanya bisa menatap untuk sekarang.
Wisatawan itu mendekati pohon tempat Selena bersandar, tiba-tiba membuka begitu saja risleting celananya membuat Selena melotot, segera berteleportasi menjauhi area itu. Benar-benar kurang ajar.
"Dasar bodoh, kalau mau percaya itu dongeng bukan mitos. Mana ada Kun-ti di siang bolong begini, cuih!" Dia masih saja menyombongkan diri.
Selena yang melihat dari jauh seketika melipat tangan di depan dada. Dia merasa orang itu harus diberi pelajaran. Karena dia sekarang sedang dalam mode malas, maka Selena terpaksa menempuh cara lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selena: I'm (Not) Perfect
FanfictionKenyataan pahit yang selalu membuat pikiran Selena berputar. Hatinya selalu tertohok, bibirnya akan terkunci rapat. Hingga hadirlah seseorang yang tak ia sangka ada. Setetes harapan yang bercahaya di lubuk hati Selena. * "Aku mencintaimu." katanya b...