Empat

1.9K 456 42
                                    

Tata sudah merapikan meja kerjanya. Sudah pukul empat lewat lima puluh delapan menit dan dua menit lagi, bosnya itu pasti akan keluar dari ruangannya. Selain gila kerja, Leo Hamizan itu sangat tepat waktu. Entah bagaimana bisa dia setepat itu.

          "Pulang, Ta." ucap Leo sambil lalu.

          Tata bergegas berdiri dan merunduk hormat pada Leo. "Hati-hati di jalan, Pak Leo."

          Jika biasanya pimpinan perusahaan akan selalu dijaga atau ditemani kemanapun dia melangkah, maka hal yang sama tidak terjadi pada Leo. Dia benci hal itu. Berjalan beriringan dengan orang lain di belakangnya membuat Leo tak nyaman. Menambah daftar hal aneh pada dirinya.

          Ketika Leo sudah masuk ke dalam lift khusus untuknya, Tata pun turut beranjak pergi setelah menyambar tas tangannya. Tata masuk ke dalam lift yang berisi karyawan lainnya. Beberapa dari mereka menyapa Tata, namun Tata hanya membalasnya dengan anggukan singkat.

          Tata tidak suka berbasa-basi, apa lagi hanya pada orang yang kebetulan mengenalnya. Bahkan, dia tidak mempunyai teman dekat di kantor. Ah, tidak hanya di kantor, melainkan di kehidupan pribadinya pun, Tata tidak memiliki teman dekat.

          Tapi tak apa, Tata sudah terbiasa seperti itu sejak dia masih berumur tujuh tahun.

          Untuk pulang ke apartemennya, Tata harus naik Bus terlebih dulu. Dia hanya akan pulang menggunakan taksi ketika memang benar-benar merasa lelah. Sebenarnya, tabungannya lebih dari cukup untuk membeli mobil, namun sayangnya Tata merasa tidak memerlukannya. Jarak apartemen dan kantornya lumayan dekat, dan Tata lebih suka menggunakan kendaraan umum dibandingkan harus mengendarai kendaraan sendiri atau taksi.

          Berjalan seorang diri ditengah lalu lalang orang-orang, melihat wajah-wajah kelelahan di dalam bus, mendengar percakapan orang-orang yang tidak dia kenal, semua itu seperti hiburan tersendiri bagi Tata.

          Untuk seseorang yang hanya menghabiskan waktunya dengan bekerja dan berdiam diri di rumah, hal itu merupakan hiburan yang sangat mengasyikan.

          "Baru pulang?"

          "Astaga!" Tata menatap Andi yang entah bagaimana bisa kini sudah berada di sampingnya. Lelaki itu terlihat tampan dengan kemeja putih dimana lengannya di gulung ke atas, dan dasinya yang sudah tidak terpasang dengan benar.

          Andi menyengir kecil, lalu mencolek ujung hidung Tata. "Sori, ngagetin kamu."

          "Ngapain disini?"

          "Jalan kaki."

          "Andi!"

          Satu alis Andi terangkat ke atas, wajahnya tampak sangat polos saat dia mengedarkan tatapannya kesekitarnya. "Kenapa? Ini jalanan umum, kan? Bukan jalan punya kamu."

          Tidak ingin meladeni Andi, Tata melanjutkan langkahnya, kali ini lebih lebar dari sebelumnya dengan Andi yang juga menyamai langkahnya.

          "Tidur di apartemen kamu dia kemarin?"

          Tata tahu siapa yang Andi maksud, namun dia tidak ingin memberikan jawaban.

          "Aku lihat-lihat pacar kamu makin jelek. Kulitnya dekil, mukanya kucel, sering numpang hidup lagi di apartemen kamu. Aku kasih tahu nih ya, sama kamu, hati-hati aja sama cowok pengangguran."

          Tata menipiskan bibirnya malas. Jangan pedulikan dia, Ta. Anggap aja dia cuma setan yang lagi ngerayu lo.

          "Sekretaris pimpinan Barata's Group, mandiri, cantik, seksi. Siapa yang nggak bakalan nolak coba," Andi melirik Tata untuk melihat ekspresinya. Namun bibirnya mencebik kesal karena apa yang dia harapkan sama sekali tidak terjadi. Tata masih setenang dan sediam sebelumnya, membuat Andi merangkul pundaknya, menariknya mendekat dan menyeringai ketika Tata melemparkan tatapan tajamnya. "cuma sampai halte kok."

The WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang