"Kamu beneran nggak apa-apa?"
Ini sudah entah keberapa kalinya Aura menanyakan hal itu pada Andi. Bahkan sejak pertama kali mereka bertatap muka beberapa waktu lalu, Aura sudah melontarkan pertanyaan itu pada Andi.
Saat ini Andi sedang menyetir untuk mengantar Aura pulang setelah berkencan seharian ini. "Kamu dari tadi nanya begitu terus. Memangnya aku kenapa sih?" balas Andi. Ada senyuman tipis di bibirnya.
"Muka kamu kusut banget dari tadi. Kaya lagi banyak pikiran. Ada masalah di kantor?" tanya Aura.
"Nggak. Cuma lagi capek aja akhir-akhir ini." jawab Andi sekenanya.
Namun jawaban itu sama sekali tidak memuaskan Aura. Dia bahkan masih terus mengamati wajah Andi lekat. Bertahun-tahun dia mengenal Andi, melalui banyak sekali waktu bersama-sama, mustahil jika Aura tidak menyadari gelagat aneh kekasihnya ini. Andi tidak seceria biasanya, tidak banyak bicara seperti biasanya, cenderung diam dan entah berapa kali Aura sudah mendengarnya menghela napas berat.
Namun sepertinya lelaki ini sedang tidak ingin membaginya pada Aura. "Ya udah, kalau kamu memang belum mau cerita sama aku," jemari Aura menyentuh lembut lengan Andi. "tapi kamu tahu kan, aku selalu ada untuk kamu, kapan pun itu."
Melirik Aura, Andi kembali tersenyum dan mengangguk, kemudian menatap lurus ke depan, pada jalanan di hadapannya.
Bercerita pada Aura? Mustahil.
Mana mungkin Andi mengatakan pada kekasihnya jika saat ini kepalanya terasa ingin pecah karena memikirkan Tata yang akan menikah dengan Robi. Berkali-kali pun Andi berusaha mengenyahkan kegusarannya, semua itu tak ada gunanya saat Tata malah semakin memenuhi hati dan pikirannya. Membayangkan Tata menikah dengan Robi, menjadi milik Robi seutuhnya, menjadi istri lelaki sialan itu, hati Andi mendidih panas. Dia bahkan tidak pernah terima setiap kali membayangkan jemari Robi menggenggam jemari Tata.
Tata itu miliknya. Sejak kemarin, Andi masih bersikeras dengan pemikirannya. Dia akan segera menemukan jalan keluar atas sikap keras kepala Tata. Namun, setelah mereka bertengkar kemarin, setelah dia mendengar Tata akan menikah bersama Robi, semuanya sirna begitu saja. Andi tidak lagi bisa memikirkan jalan keluar dari masalah mereka, dia tidak lagi bisa memikirkan bagaimana caranya menjauhkan Tata dari Robi. Semuanya kembali ke jalan buntu.
Bahkan sejak tadi, tak satu pun obrolan Andi bersama Aura yang bisa dia ingat. Dia memang menatap Aura selagi kekasihnya itu berbicara, menganggukan kepalanya setiap Aura bertanya, namun Andi sama sekali tidak mendengar apa yang Aura katakan. Karena isi kepalanya sedang dipenuhi oleh Tata. Begitu pun hatinya.
Mobil Andi berhenti di depan rumah Aura, dia keluar dari mobil, membukakan pintu untuk Aura. Kemudian, mengantarkan Aura hingga ke depan pintu rumah sambil bergenggaman tangan. "Good night, sayang." Ucap Andi setelah mengecup dahi Aura. "aku pulang du–" ucapan Andi terhenti ketika pintu rumah Aura terbuka dan memerlihatkan Raihan, Papa Aura. "malam, Om." Andi menyalami Raihan.
"Loh, udah pulang?" sapa Raihan.
"Udah," jawab Aura sembari mengulum senyum. "kan Papa bilang nggak boleh pulang di atas jam sepuluh. Nanti pintunya dikunciin sama Papa."
Raihan tertawa mendengar sindiran putrinya. "Makanya cepat menikah, biar pacarannya nggak dibatas-batasin lagi." Raihan membalas sindiran putrinya.
Aura melirik Andi penuh arti, sementara Andi yang mengerti kemana arah sindiran itu hanya bisa tersenyum kaku.
Raihan mengobrol sebentar dengan Andi sebelum memutuskan masuk ke dalam rumah, membiarkan mereka berdua menghabiskan waktu berduaan sedikit lebih lama lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way
General FictionAndi dan Tata saling mencintai. Bahkan sejak mereka pertama kali bertemu dan menghabiskan banyak waktu bersama, mereka berdua tahu kalau perasaan cinta tumbuh begitu saja dalam diri mereka. Sayangnya, ketika Tata mengetahui latar belakang Andi, yang...