Bab 2

117 38 43
                                    

Lucius berjalan menunggangi Warkfin selama berjam-jam di perbukitan, marah, sampai akhirnya ia memilih sebuah bukit dan duduk, lengan disilangkan di atas kakinya, dan mengamati cakrawala. Ia melihat gerobak itu pergi, menyaksikan awan debu yang tertinggal selama berjam-jam setelah itu.

Tidak akan ada kunjungan lagi, ia ditakdirkan untuk berada di sini selama bertahun-tahun, menunggu kesempatan lain − jika mereka datang kembali. Jika ayahnya memperkenankannya. Sekarang hanya ada ia dan ayahnya, bersama saudara-saudaranya di rumah, ayahnya pasti akan mengeluarkan seluruh amarahnya pada dirinya. Ia akan terus menjadi seorang Blacksmith muda dan menjalankan tugas dari ayahnya, tahun demi tahun akan berlalu, dan ia akan berakhir seperti ayahnya, terjebak di sini, kehidupan berkembang − dan mungkin tak ada perkembangan selain menciptakan senjata-senjata baru. Sementara para pemuda yang lain memperoleh kemuliaan dan kemahsyuran. Pembuluh darahnya terbakar oleh peristiwa itu. Ini bukanlah hidup yang ingin ia jalani. Dia sadari itu.

Lucius mendobrak otaknya, dengan cara apapun yang bisa ia lakukan. Dengan cara apapun yang bisa ia lakukan untuk merubahnya. Tetapi tidak ada yang terjadi. Ini adalah lembaran kehidupan yang harus ia jalani.

Setelah berjam-jam duduk, ia mulai bangkit dengan sedih dan mulai melintasi jalan kembali melalui perbukitan yang ia kenal, lebih tinggi lagi. Tak pelak lagi, ia mengarah kembali dengan Warkfin ke bukit yang tinggi. Saat mendaki, matahari pertama jatuh di langit dan kemudian mencapai puncaknya, mencetak warna kehijauan, Lucius menyempatkan diri saat ia melenggang, tanpa sadar melepas selempang dari pinggangnya, sabuk kulitnya masih sangat bagus meski dipakai selama bertahun-tahun. Iya mengelus bungkus pedang yang terikat di pinggulnya dan meraba gagang pedang pemberian ayahnya, masing-masing corak pada gagang perak, pedang itu memiliki garis-garis rubi dengan kelap-kelipan yang indah, dibuat dengan bahan-bahan pilihan oleh tangan ayahnya.

Selain sering ia gunakan bertarung, kadang-kadang ia menghunus dan menebaskan pedang itu pada bekas pohon yang sudah runtuh. Itu kebiasaan yang tertanam dalam dirinya selama bertahun-tahun. Pada awalnya ia merindukan segalanya, sehingga kemudian, sekali waktu ia melemparkan batu, dan mengenai target yang bergerak. Sejak itu, tujuannya adalah benar. Sekarang, melempar sesuatu selain batu adalah bagian dari dirinya − dan hal itu membantu melepaskan sebagian dari kemarahannya. Saudara-saudaranya mungkin bisa mengayunkan palu dan menghantamkannya pada bahan tempaan dengan sempurna, tetapi mereka tidak pernah bisa menebaskan pedang dengan sempurna dan mengenai burung terbang dengan melemparkan bebatuan.

Lucius tanpa pikir panjang mengambil sebuah batang kayu, kemudian ia memahatnya sehingga menyerupai tombak dengan belati yang tersisip di bungkus pedangnya. Ia menempatkan batang kayu yang meyerupai tombak itu di tangannya, mencondongkan punggungnya, dan melempar tombak itu dengan segala kekuatan yang ia miliki, seolah-olah ia melemparkan tombak itu pada ayahnya. Ia mengenai cabang dahan di pohon yang jauh, menjatuhkannya. Begitu ia menyadari bahwa ia bisa membunuh hewan yang bergerak dan pasukan dalam peperangan, ia berhenti membidik mereka, takut akan kekuatan sendiri dan tidak ingin menyakiti apapun dan siapapun. Kecuali tentu saja, rubah datang mengejar kudanya. Seiring waktu, mereka telah belajar untuk tetap menjauh.

Lucius memikirkan saudara-saudaranya, dan yang terlintas di pikirannya adalah Leroy, seseorang yang membelanya pada saat peristiwa itu. Sedang apa mereka sekarang, dan ia mendidih. Setelah berjam-jam yang lalu ia mengalami peristiwa yang membuatnya patah. Ia hanya dapat membayangkan, jika ia saat itu berhasil bergabung dengan Legiun. Ia akan tiba dalam kemeriahan bersama Diego dan yang lainnya, orang-orang mengenakan pakaian terbaik mereka, menyambutnya, kesatria pun menyambutnya. Para anggota Kesatuan Perak. Ia akan dibawa masuk, diberikan sebuah tempat tinggal dalam barak Legiun, tempat untuk berlatih di lapangan raja menggunakan senjata terbaik. Masing-masing akan disebut pengawal − menjadi seorang kesatria yang terkenal. Suatu hari, ia akan menjadi kesatria sendiri, mendapatkan kuda sendiri, baju zirah mereka sendiri, dan mendapatkan pengawal sendiri. Ia akan mengambil bagian dalam semua festival dan jamuan di meja Raja. Itu adalah kehidupan yang mempesona. Dan itu terlepas dari genggamannya.

Soul Awakening : A Quest of Heroes [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang